Ketika Bulan Puasa Hampir Tiba
Achmad Munjid
Di Gandrungmangu, kampung kami yang sepi dan terpencil, ketika saya masih kecil, bulan puasa selalu datang menyerupai keajaiban. Di tengah kesibukan musim panen atau getirnya masa paceklik, orang-orang selalu menyongsong penuh suka cita begitu bulan istimewa ini tiba di saat senja.
Sejak sore menjelang malam nisfu (pertengahan bulan) Sya’ban, dua pekan sebelum puasa, para pemuda telah sibuk berbenah di masjid dan surau-surau serta lingkungan sekitar. Lantai, pintu, jendela dan segenap sudut masjid dibersihkan. Lumut dan jamur di sekitar sumur dan bak air wudhu dikikis habis. Kulit bedug yang koyak segera diganti. Kitab-kitab dan mushaf al-Qur’an yang berantakan kembali disusun rapi. Begitu matahari terbenam, sinar lampu petromaks pun berpendar terang memantulkan harapan setiap orang. Anak-anak berlarian dalam tawa ria seperti hendak mengutuhkan kegembiraan siapa saja.
Pada malam itu, selepas Maghrib, kami berkumpul untuk membaca surat Yasin dan berdoa, agar kami semua dikarunia kesehatan dan umur panjang dalam ketaatan terhadap Tuhan. Supaya kami mendapatkan cukup rizki yang halal dan baik. Juga agar iman kami tak goyah di tengah badai kehidupan. Jauh selepas ‘Isya, orang-orang dewasa akan kembali datang ke masjid untuk menunaikan shalat sunat Taubat dengan ruku’ dan sujud yang membuat tak seorang anak pun tertarik untuk turut. Dari serambi masjid—rumah kedua bagi umumnya anak-anak laki-laki usia sekolah dan remaja di mana kami terbiasa tidur di lantai tanpa alas dan hanya berselimut selembar sarung saban malam—sebelum akhirnya terpejam, lamat-lamat kami saksikan betapa orang-orang tua itu terpekur dalam diam, dalam wirid dan dzikir yang seperti tanpa akhir.
Memasuki hari-hari setelah nisfu Sya’ban, kami anak-anak pun mulai sibuk membuat petasan. Mula-mula kami berburu bekas-bekas kantong semen dan kertas-kertas koran. Ketika bahan-bahan itu tak bisa lagi kami temukan, buku-buku tulis kami pun turut jadi korban. Kami bukan tidak tahu bahaya main petasan. Setiap puasa, ada saja kami dengar seorang anak yang jarinya terputus atau mukanya terbakar terkena ledakan. Tapi, buat kami, itu semua adalah kecelakaan, nasib yang sial. Meski kerap membuat ibu-ibu yang kebetulan menyaksikan menjerit-jerit dan kami kena damprat berkali-kali, tak jera kami adu keberanian dengan menyulut petasan dalam genggaman tangan. Petasan dengan sumbu berpijar itu baru kami lempar tinggi-tinggi tepat beberapa detik sebelum meledak di udara dan disambut jingkrak anak-anak yang larut dalam kepulan asap dan serpihan-serpihan bertaburan.
Terutama sore menjelang malam Jum’at atau hari-hari terakhir sebelum bulan puasa, orang-orang akan bergantian melakukan ziarah kubur, menyapa sanak-keluarga yang telah mendahului kami ke alam baka. Setelah menyiangi rumput dan membersihkan makam, kami pun duduk melingkar membaca surat Yasin dan tahlil dengan suara pelan. Kadang suara kami yang menggeremang terdengar seperti percakapan kerinduan yang amat mendalam. Di saat-saat batin terluka, percakapan itu berguna sebagai pelipur lara. Di kala hati senang, percakapan itu seperti berfungsi sebagai kendali. Sembari melangkah pulang, tak lupa selalu kami ucapkan salam perpisahan, sekaligus janji yang terucap hati-hati, bahwa kami akan menyusul mereka pada suatu hari. Dalam perjalanan pulang, kami anak-anak selalu mendengar kembali kisah mulia para leluhur yang telah tiada dan betapa kami harus memegang teguh teladan mereka.
Di bawah kerisik daun-daun bambu dan pohon jati yang dibuai angina sore, sebagai anak yatim yang tak pernah bisa utuh mengenang sosok Ayah, pengalaman ziarah sungguh kuat melekat dalam ingatan dan kesadaran saya hingga hari ini.
Tentu saja, menjalani siang tanpa minum dan makan, terlebih di musim kemarau panjang, sungguh cukup mencemaskan buat anak-anak seperti kami. Tapi bunyi letusan rentengan petasan dan sobekan kertas yang berhamburan memenuhi halaman, apalagi bayangan tentang meriahnya hari lebaran dengan baju-baju baru, uang saku, dan aneka makanan yang selalu kami tunggu-tunggu, segara membuat kekhawatiran itu lenyap terlupakan.
Sepanjang sore sehabis mengaji, bahkan juga sebelum saat makan sahur nanti, kegiatan kami tak pernah sepi. Biar punya waktu bermain yang cukup, di malam hari, kerap kami sengaja mencari surau atau mushalla yang jamaah shalat tarawihnya paling cepat bubar. Sementara mereka yang tergolong remaja dan dewasa tekun menyimak pengajian lanjutan dari Pak Kiyai, kami para anak-anak pun segera berhamburan setelah menerima bagian makanan ringan berupa getuk pisang atau singkong rebus dan langsung menghilang di balik malam tanpa takut ada hantu gentayangan. Bukankah selama bulan puasa setan-setan itu telah dibelenggu dan tak akan bisa berbuat sesuatu hingga nanti setelah lebaran? Dini hari, kami bergantian menabuh bedug di masjid atau bergerombol keliling kampung sembari memukul-mukul ember dan panci bekas buat membangunkan orang-orang yang masih tertidur untuk memasak dan makan sahur.
Di kampung kami, ketika bulan puasa tiba, dari perkara dapur hingga hubungan dengan para arwah leluhur di alam kubur, sekali lagi kami hampiri dengan kesadaran makna yang selama ini kerap terlupa.
“Puasa bukanlah semata soal lapar dan dahaga,” begitu kata Kiyai kami. Bagi kami, para petani miskin dan pedagang kecil, lapar dan dahaga memang perkara biasa. “Melalui puasa, kita diajak untuk menghayati kembali bahwa raga ini bersifat fana, bahwa hidup di dunia ini, betapapun nikmat atau sengsaranya, ia amat sementara. Ia hanyalah sarana. Ia wajib dijaga dan dirawat sebagai amanat, tapi kita tidak boleh lupa bahwa ia bukanlah tujuan, bukan segala-galanya.”
Maka, seperti siraman air hujan setelah musim kemarau panjang, bulan puasa pun menyatukan kembali hubungan sesama diantara kami yang retak di sana-sini akibat kerasnya hidup sehari-hari. Tetangga yang lama tak lagi saling bertegur sapa, kerabat dekat yang tak mau saling lihat, bahkan hubungan kakak beradik yang sekain lama beku dan sengaja saling menghindar untuk bertemu. Datangnya bulan puasa selalu menggugah kembali tunas-tunas batin kami yang layu, bahkan hampir mati.
Memang tidak semua orang memandang bulan puasa dengan cara yang sama. Tidak pula setiap orang, bahkan yang tampak menjalankan ibadah sehari-hari dengan teliti, memang benar-benar mampu menangkap maksud ucapan Kiyai kami.
“Tapi, kita tidak perlu menilai amal ibadah, apalagi isi hati, orang lain,” kata Kiyai kami lagi. “Hikmah utama ibadah puasa adalah ikhlas. Dan ikhlas itu tidak bisa diukur. Ia tak mengenal berhitung.”
Sepanjang tahun, akibat belitan berbagai masalah, entah perseteruan antar-kelompok politik, sentakan gelombang harga-harga kebutuhan pokok yang menjulang tinggi seperti yang terjadi akibat kenaikan harga BBM hari-hari ini, orientasi hidup memang kerap merucut dari pelukan kami. Maka, datangnya bulan puasa selalu kami sambut sepenuh hati, sebab itulah kesempatan buat menanam harapan dan janji hidup yang kami yakini, sekali lagi.
Selamat menyambut Ramadan. Semoga kita semua mendapat limpahan berkahnya.
Komentar