Tarawih-tarawih: Kenangan Ramadhan
Di salah satu sisi stadion klub bola Aston Villa, terdapat Islamic Centre, yang sehari-hari berfungsi sebagaimana masjid. Di sini, tarawih dilakukan dalam sebelas rakaat dengan pembacaan pelan, seperti di masjid As Sunnah yang telah saya ceritakan sebelumnya. Bedanya, di masjid ini imamnya bergantian. Paling tidak ada tiga imam.
Tapi bukan perihal tarawih itu sendiri yang ingin saya ceritakan di sini. Suasana malam. Pergi tarawih di masjid ini mengingatkan saya pada suasana malam tarawih di desa saya tiga puluhan tahun lalu. Di malam menjelang larut, di tempat ini saya melihat keramaian, lalu lalang orang di sekitar masjid, dan lampu-lampu jalan. Yang tidak ada, mungkin karena terlalu malam, adalah keceriaan anak-anak. Tapi itu sudah cukup membuat saya melompat ke masa silam.
Dulu, Ramadhan bagi anak-anak semacam saya, adalah saat-saat yang menyenangkan. Sore hari, langgar-langgar atau musholla ramai oleh anak-anak yang menunggu saat berbuka sambil rebutan kolak dan kentongan. Di antara mangkuk-mangkuk seng itu ada satu yang tampak masih bagus dan ukurannya sedikit lebih besar. Mangkuk itulah yang menjadi incaran setiap mata.
Demikian pula kentongan. Ada kenikmatan tersendiri ketika berkesempatan memukulnya sebagai penanda datangnya saat melahap hidangan sederhana, seketika mendengar bunyi bedug masjid dari dua gang sebelah.
Usai maghrib dan makan nasi di rumah masing-masing, saat lebih menyenangkan ditandai dengan munculnya Pak Suwadi, penjual es setrup kelapa muda plus cincau yang biasa kami sebut "janggelan". Anak-anak antri di sekitarnya. Penjual es ini biasa mangkal di depan warung Bik Pik, yang kalau Ramadhan biasa menambah menu khusus pecel sayuran yang disukai oleh anak. Keramaian anak di sekitar langgar tidak berkurang manakala adzan Isya' telah datang. Bahkan ketika tarawih belum selesai, tidak sedikit anak-anak sudah kembali antri di sekitar rengkeknya (semacam gerobak) Pak Suwadi, antri es setrup.
Sayangnya keriangan anak-anak semacam itu tidak saya temukan di sini. Ramadhan sepertinya bukan bulan untuk anak-anak. Mengapa? Meskipun kami tinggal di kawasan komunitas muslim, kami tidak menjumpai seorang anak pun yang berpuasa. Tetangga kami, muslim, meskipun anaknya sudah masuk jenjang SMP tidak berpuasa. Saya belum menanyakan, tapi baru sebatas menduga, anak-anak di sini diharuskan puasa ketika mereka sudah menginjak usia baligh. Bahkan mereka heran ketika mengetahui anak-anak kami sudah belajar puasa dan kuat meskipun masih usia SD.
Seandainya banyak anak yang turut berpuasa.
Di situ kadang-kadang saya merasa kasihan dan cemburu untuk anak-anak saya. Mereka tidak menemukan suasana indah semacam itu. Seandainya ada semacam kegiatan berbuka bersama di masjid buat anak-anak... dan sebagainya. Yang dapat kami lakukan adalah membuat kegiatan sendiri yang agak khusus dalam keluarga.
Demikian juga di kala berbuka, sedapatnya hidangan yang tersaji berbeda dengan hari-hari biasa. Saya berharap hal-hal semacam ini akan membuat anak-anak saya menjalani kesan yang berbeda ketika melewati bulan suci penuh berkah ini. Semoga.
Birmingham, 26.06.15
Al Faqir Ibnu Sabil
Komentar