"Masih Berapa Jam Lagi...??"
Ini adalah pertanyaan khas anak saya. Tapi ini terjadi pada Ramadhan dua dan tiga tahun lalu. Saat itu adalah Ramadhan pertama kami di Birmingham. Puasa Ramadhan di negeri orang, tentu merupakan pengalaman pertama. Setahun sebelumnya, ketika masih di Indonesia, si nomor dua, mulai belajar puasa penuh ketika baru kelas 2. Alhamdulillah, ia berhasil melewati sebulan puasa dengan baik, minus hari pertama dengan keluhan.
Di Birmingham, yang puasanya lebih lama, rupanya ia tidak berhasil melewati hari-hari pertama Ramadhan dengan baik. Di siang hari, ia mulai merasakan lapar. Tetapi karena sudah tahu puasa bakal berlangsung hingga setengah sepuluh malam, ia mulai bertanya, "Masih berapa jam lagi?". Saya pun menjawab dengan menghitung bilangan jam terlebih dahulu.
Masalah mulai agak terasa ketika menjelang sore hari. Kalau di Indonesia, ia harusnya sudah menyantap hidangan es buah dan nata de coco. Tapi karena bukan di Indonesia, ia mulai memutar file empitri yang bersemayam di otaknya: "Masih berapa jam lagi?"
Setiap kali itu pula saya berusaha menjawab dengan sabar. Namun ketika pertanyaan itu diulang setiap dua puluh menit, lima belas menit, sepuluh menit, tanda-tanda runtuhnya kesabaran mulai mengubun. Maka saya jawab: "Ya kalau sudah tidak kuat, berbuka saja."
Rupanya ia tidak mau berbuka. Tangan dan kakinya mulai memakan korban kanan kiri di penjuru ruang. Saya dan istri antara sabar tidak sabar sudah berusaha sekuat tenaga meredam amarah. Kata-kata persuasi sudah tidak berguna. Beberapa letupan kata tidak terbendung. Dan begitulah hingga di detik-detik terakhir menjelang berbuka.
Begitulah, menjalani Ramadhan jauh dari kampung halaman, kesiapan mental sebenarnya lebih dibutuhkan dari sekadar mempersiapkan diri secara fisik. Bagaimana menghadapi anak dalam gejolak perasaan antara menahan rasa lapar dalam rentang lebih lama dan mempertahankan tetap berpuasa. Satu hal yang cukup membanggakan datang sesudah itu, yaitu ketika di hari kedua dan seterusnya yang berlangsung tanpa keluhan.
Saya hanya bisa berharap pengalaman ini menjadi tanda telah tertanamnya bibit iman di hati anak saya. Kiranya benih itu yang membuatnya rela marah dan menangis untuk tidak rela bibirnya meneguk sekadar air segar dan tetap menunggunya hingga waktu berbuka.
Selamat berbuka..
Birmingham, 23.06.15
Al Faqir ibnu Sabil
Komentar