Tarawih-tarawih: Orang Malaysia, Orang Indonesia
Sengaja dalam judul saya mendahulukan "Orang Malaysia", kemudian "Orang Indonesia". Bukan apa-apa, tidak lain karena saya ingin menggambarkan sedikit yang tahu tentang bagaimana komunitas negeri jiran itu memakmurkan Ramadhan di perantuan.
Di Birmingham, kawan-kawan Malaysia ini berlipat-lipat kali jumlahnya dibandingkan dengan orang Indonesia. Yang saya singgung di sini, hanyalah satu komunitas saja yang orang-orangnya sebagian saya kenal. Kalau pada tulisan sebelumnya saya sebutkan bahwa Ramadhan bukan bulannya anak-anak, ternyata itu tidak berlaku bagi komunitas Malaysia.
Para perantau Melayu ini menciptakan tradisi sendiri dalam menyambut bulan suci. Soal berbuka, misalnya. Mereka membagi diri dalam kelompok-kelompok keluarga menurut kedekatan tempat tinggal. Dari kedekatan tempat tinggal ini, mereka setiap hari mengadakan buka bersama. Tempatnya bergilir dan mereka masak bersama-sama.
Jadi bisa dibayangkan, setiap menjelang berbuka mereka selalu bertemu. Yang tentu ikut senang adalah anak-anak mereka, karena setiap hari bisa bertemu dengan kawan-kawan bermainnya. Jangan ditanya lagi, berapa biaya yang mereka keluarkan, karena itu bisa soal selera. Di samping, urusan yang satu ini sepertinya tidak ada persoalan bagi mereka. Aktivitas berbuka ini kemudian biasanya dilanjutkan shalat Isya' dan tarawih bersama.
Satu hal yang menjadi catatan saya adalah bagaimana upaya mereka membangun pengalaman dan kesan dalam memaknai bulan puasa. Bukan saja bagi mereka sendiri, tetapi juga anak-anak. Kebersamaan setiap hari menjelang makan bersama di kala berbuka,tarawih, pasti akan memberi kesan tersendiri bagi anak-anak. Kelak, apakah masa-masa di luar Ramadhan, ataupun ketika kembali ke kampung halaman, mereka akan merindukan saat-saat itu. Bahkan ketika dewasa.
Bagaimana dengan komunitas Indonesia?
Saya tidak tahu pasti, mengapa tradisi seperti tidak bisa berlangsung pada orang-orang Indonesia. Bagi saya sendiri, ada setidaknya empat keluarga yang paling rumahnya berdekatan. Yang menjadi soal, meskipun dikatakan di sini dekat, jarak rumah masing-masing kami, rata-rata lebih dari satu kilometer. Dan memang rasanya agak berat membayangkan setiap hari mengajak anak-anak yang berpuasa untuk melakukan jalan satu kilometer berpindah-pindah.
Ini sebatas dugaan saya. Di Birmingham, tradisi gathering orang Malaysia memang lebih kuat dibandingkan dengan orang Indonesia. Ada petunjuk yang menguatkan dugaan saya. Di luar Ramadhan, hampir setiap minggu kawan-kawan Malaysia melakukan gathering. Setidaknya ada dua aktivitas rutin yang mereka lakukan di setiap weekend. Majelis taklim dan carboot shopping. Jadi, selain mengecharge spirit kebersamaan dalam majelis ilmu, mereka tidak melupakan belanja barang bekas di pasar kaget yang menawarkan barang-barang bagus dan terkadang masih layak untuk dibawa pulang kampung dengan harga sangat murah.
Saya sendiri sering takjub, bagaimana mereka bisa melakukan itu. Sepertinya isi kantong mereka tak pernah habis untuk melakukan itu semua. Apakah faktor "isi dompet" turut berpengaruh? Mungkin. Salah satunya adalah dukungan beasiswa pemerintah Malaysia yang mereka terima memang jauh lebih besar dari yang biasanya diterima oleh kawan-kawan Indonesia. Hampir semua kawan Malaysia, terutama yang berkeluarga, memang memiliki mobil. Sangat mudah bagi mereka untuk bepergian ke mana-mana. Baik belanja ataupun traveling, mereka biasa mereka lakukan dengan cara convoy.
Jadi, soal kebersamaan, apa lagi Ramadhan di negeri orang, Malaysia jagonya.
Birmingham, 28.06.15
Al Faqir Ibnu Sabil
Komentar