Rumus Keseimbangan
Bagi kawan-kawan Sastra Arab, nama sastrawan ini tentu tidak asing lagi. Musthafa Lutfi Al-Manfaluti. Saya sendiri mengenalnya lewat karyanya yang cukup terkenal "Majdulin", yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul "Magdalena". Membaca karyanya membuat saya mulai mencintai karya sastra.
Ada yang lain yang menarik hati saya dalam novel Magdalena. Ialah beberapa nukilan yang muncul dalam Kata Pengantar. Ditulis, Al Manfaluthi pernah bercerita dalam karyanya yang berjudul Orang Kaya dan Orang Miskin.
Ia menuturkan, “Kemarin malam saya berpapasan dengan seorang laki-laki sengsara. Saya melihat ia sedang meletakkan tangan di atas perutnya seolah-olah ia menderita sakit. Saya kasihan padanya dan menanyakan apa yang dirasakannya. Ia mengeluh bahwa ia menderita sakit lapar. Saya berikan padanya apa yang dapat saya berikan, sesudah itu saya tinggalkan ia.”
Kemudian, kata al-Manfaluthi melanjutkan, “Saya pergi untuk mengunjungi seorang teman yang kaya dan senang. Saya kaget melihatnya sedang meletakkan tangan di atas perutnya, seolah-olah ia menderita penyakit seperti orang sengsara dan miskin tadi. Saya tanyakan apa yang sedang dirasakannya. Ia mengeluh bahwa ia sedang sakit kekenyangan.”
Melihat dua kejadian yang ironis ini, Al-Manfaluthi berkata, “Heran sekali! Jika si kaya ini memberi kepada si miskin kelebihan dari makanan yang diperlukannya, tentulah seorang pun dari mereka tidak akan mengeluh kesakitan yang berlebihan.”
Sesederhana ini rumus keseimbangan hidup. Orang berkelebihan mengeluarkan kelebihannya dan memberikannya kepada orang yang kekurangan. Maka tidak ada lagi kelebihan dan kekurangan.
Yang menjadi soal, manusia mudah berlepas dari rumus-rumus. Manusia mempunyai akal dan nafsu syahwat. Dan yang disebut terakhir ini begitu mudah mendominasi yang lainnya. Sehingga, meskipun hidup sudah berkelebihan, nampun ketamakan mengajak manusia untuk mendapat yang lebih lagi, lebih lagi, dan lebih lagi.
Dan itulah yang terjadi di sekitar kita, di mana-mana masih banyak orang mengalami kesulitan. Di saat yang sama, orang yang berkelebihan masih merasa kurang karena nafsu tamaknya. Sakit yang terjadi bukan lagi perut yang kosong dan perut yang menggembung, tetapi penyakit sosial. Aneka macam kejahatan tampaknya bersumber dari sini. Na'uzhubillahi min zhalik.
Semoga kita menjadi orang-orang yang selalu merasa cukup dan penuh syukur, sehingga tidak ada kesulitan dalam hati kita untuk membantu saudara yang sangat membutuhkan.
Birmingham, 08.07.15
Al Faqir Ibnu Sabil
Komentar