Langsung ke konten utama

Kesalahpahaman Islam Nusantara


Kesalahpahaman Islam Nusantara
(Selasa, 14/07/2015 07:01)
Oleh Syaiful Arif

Secara resmi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj memberikan klarifikasi tentang kesalahpahaman atas istilah Islam Nusantara (IN). Menurutnya, IN bukanlah sinkretisme yang memadukan Islam dengan "agama Jawa", melainkan kesadaran budaya dalam berdakwah (Kompas, 4/7).
Klarifikasi ini menjadi penting, tidak hanya demi gagasan dan penggagasnya, yakni NU, melainkan bagi masa depan Islam di Indonesia secara umum. Hal ini memang dilematis, sebab baik para kritikus maupun pendukung belum benar memahami hakikat IN itu sendiri, akibat sifat gagasan ini yang cepat populer melampaui kematangan ilmiahnya.

Setidaknya terdapat beberapa kesalahpahaman atas IN tersebut. Pertama, dari sebagian besar warga nahdliyin sendiri yang menyamakan IN dengan "lokalisasi" atau Jawanisasi Islam. Pembacaan al-Qur'an langgam Jawa di Istana Negara pada peringatan Isra' Mi'raj (15/5) yang digagas oleh Menteri Agama, menguatkan pemahaman ini. Dus, menjadi muslim Nusantara berarti menjadi muslim Jawa yang menolak kearaban.

Kedua, turunan dari pemahaman di atas; Islam Nusantara dianggap anti-tesa dari Islam Arab. Ini tentu menyulut kritikan kaum puritan yang menggangap IN merupakan aliran menyimpang sebab menolak kearaban, padahal Islam lahir di Arab.

Ketiga, pesimisme dari pandangan modernis yang menempatkan INbersifat anti-kemajuan. Maka lahirlah kecurigaan bahwa IN mengajak muslim Indonesia kembali ke zaman Mataram, layaknya Sanusi Pane yang menolak ajakan Sutan Takdir Alisjahbana (STA) untuk menjadikan Eropa sebagai kiblat bagi renaissans Indonesia pada Polemik Kebudayaan 1935. Ini yang membuat IN dianggap sebagai langkah mundur, terutama karena Islam di Indonesia telah lama melaju bersama kemodernan.

Kewajaran Konteks

Berbagai kesalahpahaman ini akan mengantar kita pada "kewajaran kontekstualisasi"yang melatari IN, baik sebagai realitas historis-kultural, maupun sebagai gagasan. Penyebab kesalahpamahan ini disebabkan pengetahuan IN sebagai produk, dan bukan sebagai metodologi. Inilah yang membuat IN dianggap sebagai kesalahan serius, padahal ia merupakan kewajaran yang hadir tidak hanya di negeri ini, tetapi di belahan dunia manapun.

Ini terjadi karena sebagai realitas historis, IN merupakan produk dari kontekstualisasi Islam. Meminjam istilah Taufik Abdullah, ia merupakan hasil dari "proses kimiawi" antara Islam dengan kultur lokal. Hanya saja bentuknya bukan sinkrestisme, pun juga Jawanisasi, melainkan perwujudan kultural Islam akibat penggunaan tradisi ('urf) sebagai salah satu dalil perumusan hukum Islam. Inilah titik krusial dari IN itu.

Artinya, NU yang kini mewacanakan gagasan IN, berangkat dari metodologi yang wajar dalam perumusan hukum Islam. Sebab di dalam setiap perumusan ini, terdapat dalil sekunder -selain al-Qur'an dan hadist- yang merujuk pada; ijma' (kesepakatan ulama), qiyas (analogi), istihsan (kebijaksanaan), saddu al-dzari'ah (menutup keburukan), dan 'urf (tradisi). Dalil terakhir inilah yang menjadi landasan bagi pembentukan IN, berbasis pada kaidah fikih al-'adah al-muhakkamah (adat bisa menjadi landasan hukum).

Hal ini terjadi karena perumusan hukum Islam selalu memiliki tujuan, yang oleh para fakih ditetapkan pada nilai kemaslahatan (mashlahat). Inilah yang menjadi tujuan syariah (maqashid al-syari'ah). Oleh NU, maqashid al-syari'ah ini diwujudkan melalui prinsip-prinsip syariah (mabadi' al-syari'ah), salah satunya moderasi (wasathiyyah) sebagaimana firman Allah dalam al-Baqarah:143. Dalam praktiknya, prinsip moderat diterapkan melalui suatu realisme (al-waqi'iyyah), yang menempatkan realitas sebagai pijakan bagi pemikiran, perumusan hukum dan medan dakwah (Muhajir, 2015). Realisme ini yang membuat Walisongo menerima realitas masyarakat Nusantara, dan dari sana membangun Islam secara perlahan.

Oleh karenanya, IN bukan sinkretisme sebab dasar dan metodologinya berbasis pada syariah Islam. Ini dilakukan Walisongo ketika menggunakan wayang dalam berdakwah, yang dilakukan melalui "islamisasi nilai" di dalam bentuk budaya berepos Hindu tersebut.

Misalnya, dengan menambah tokoh Sang Hyang Tunggal sebagai pencipta para dewa, Sunan Kalijaga telah menegaskan monoteisme atas politeisme. Ini dilakukan tanpa perusakan artistik dan konflik teologis, sebab pembaruannya sangat halus dan substantif. Atau ketika Dewi Drupadi, yang dalam epos Mahabarata asli melakukan poliandri:isteri Pandawa lima, menjadi monogami: hanya menjadi isteri Yudistira (Sunyoto, 2012:358). Pembaruan kebudayaan ini dilakukan melalui transformasi struktur dalam (nilai), tanpa merubah sama sekali struktur luar (bentuk) kebudayaan. Ini yang membuat Islam diterima secara luas, karena ia datang dengan damai.

Dialektika Budaya

Dari sini, pelurusan atas kesalahpahaman terhadap IN perlu dilakukan dalam beberapa hal. Pertama, konteks persoalan IN bukan oposisi antara kearaban dan keindonesiaan, melainkan antara agama dan budaya. Ini terjadi tidak hanya di Indonesia (Nusantara) melainkan juga di Arab dan belahan bumi manapun, ketika agama diamalkan.

Dalam konteks ini, kita perlu menengok kembali prinsip pribumisasi Islam yang merupakan proses alamiah, sosialisasi nilai-nilai agama. Artinya, bahkan di Arab-pun, pribumisasi Islam ke dalam budaya pra-Islam dilakukan oleh Muhammad SAW. Ini terkait dengan sifat dasar sosialisasi, dan sifat dasar dialektika agama dan budaya, yang saling independen dalam hubungan tumpang-tindih. Layaknya hubungan filsafat dan ilmu pengetahuan, maka agama membutuhkan budaya sebagai media sosialisasi, meski agama bukan budaya.

Kedua, dengan demikian anti-tesa IN bukan Islam Arab, akan tetapi purifikasi agama dari budaya. Purifikasi ini oleh gerakan Wahabi akhirnya digerakkan demi imperialisme budaya Arab. Inilah yang ditolak IN, tanpa menolak sama sekali "Arabisme Islam". Ini dibuktikan dengan al-Qur'an langgam Jawa, yang tetap dibaca dalam Bahasa Arab. Perawatan aspek Arab dalam rukun Islam menunjukkan bahwa IN, hanyalah pengamalan Islam dalam habitus masyarakat tanpa merusak sendiagama.

Ketiga, IN bukan langkah mundur. Ia justru langkah maju melalui pemijakan pada akar budaya Islam. Sebab jika gagasan Islam Indonesia memuat keharmonisan Islam dan negara-bangsa (nation-state), maka IN memuat keharmonisan Islam dengan budaya Nusantara. Karena sifat nasionalisme Indonesia yang perenialis (kesinambungan kultur-historis dan bangsa modern), maka IN menjadi dasar bagi nasionalisme Islam yang melandasi kebangsaan Indonesia. Ini membuat IN menjadi dasar bagi gagasan Islam Indonesia.

Syaiful Arif, Dosen Pascasarjana Islam Nusantara STAINU Jakarta

 
Sumber: nu online

Lihat Komentar

Artikel terkait:
Metodologi Islam Nusantara (Ahad, 12/07/2015 12:01)
Islam Nusantara dan Sociological Jurisprudence (Sabtu, 11/07/2015 09:03)
Tadarus Warna-Warni Pemikiran Islam Nusantara (Jum'at, 10/07/2015 08:03)
Membumikan al-Kulliyat al-Khams sebagai Paradigma Islam Nusantara (Rabu, 08/07/2015 08:05)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKOKOHLAH BAHTERAMU

🌹Ramadhan ke-7 PERKOKOHLAH BAHTERAMU, KARENA SAMUDRA ITU DALAM 🍃🌾Rasulullah pernah berpesan pada Abu Dzar tentang tiga hal. Kata Rasul, “Wahai Abu Dzar, perkokohlah bahteramu, karena samudra itu dalam. Perbanyaklah bekalmu karena perjalanan itu panjang. Ikhlaskanlah amalmu, karena pengintaimu sangat jeli.” ⛵️⛵️Pertama, perkokohlah bahteramu karena samudra itu dalam. Dalamnya samudra itu mengandung resiko. Jika tenggelam, kita bisa mati. Samudra yang dalam itu juga penuh rahasia. Kita tidak pernah tahu ada apa saja di dalamnya. Karang yang besar atau ikan yang buas, sewaktu-waktu bisa mencelakai kita. Karena itu, pengarung samudra yang dalam memerlukan bahtera yang kuat, yang bisa melindungi penumpangnya dari resiko tersebut. ⛵️⛵️Inilah analogi hidup manusia. Hidup manusia di dunia ibarat hidup di tengah samudra yang dalam tersebut. Mempersiapkan bahtera yang kuat berarti mempersiapkan segala hal yang bisa membuatnya bertahan dan mudah mencapai tujuan hidupnya, yaitu akhirat. Tan

Jangan Marah, Ya!

Jangan Marah, Ya! Sebuah Naskah Pidato Singkat untuk siswa MI Assalamu’alaikum Wr. Wb. Bapak-Ibu Guru yang saya hormati, Adik, Kakak, dan teman-teman semua yang saya sayangi. Pertama, Marilah kita berterima kasih kepada Allah Yaitu dengan membaca Hamdalah. Alhamdu.....lillah. Terima kasih Ya. A....llah. Telah kau beri kami A....kal. Sehingga kami dapat bela...jar. Bukan kurang a... jar. Alhamdu....lillah. Kedua, Mari kita membaca sholawat. Allahumma Sholli Ala Muhammad! Bapak-Ibu Guru yang saya hormati, Adik, Kakak, dan teman-teman semua yang saya sayangi. Siapakah yang ingin masuk surga? Ya. Kita semua, pasti, ingin masuk surga. LA TAGHDHOB WALAKAL JANNAH Janganlah marah, maka kamu akan masuk sur...ga. Orang yang ingin masuk surga, maka dia tidak boleh ma..... rah. Walaupun tidak naik kelas, tidak boleh ma.... rah Walaupun tidak dibelikan seragam baru tidak boleh ma.... rah Walaupu

Doa Mohon Belas Kasihan Allah

رَبِّ إِنِّىٓ أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْـَٔلَكَ مَا لَيْسَ لِى بِهِۦ عِلْمٌ ۖ وَإِلَّا تَغْفِرْ لِى وَتَرْحَمْنِىٓ أَكُن مِّنَ ٱلْخَٰسِرِينَ Rabbi innii a'uudzu bika an as-alaka maa laysa lii bihi 'ilmun wa-illaa taghfir lii watarhamnii akun mina alkhaasiriin Ya Tuhanku, sungguh aku berlindung kepada-Mu untuk memohon kepada-Mu sesuatu yang aku tidak mengetahui hakikatnya. Kalau Engkau tidak mengampuniku, dan tidak menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi (Hud 47) Aamiin