Dudu
Panggilannya Dudu. Nama sebenarnya Muhammadu. Orang Gambia. Istrinya bernama Ameena. Anaknya yang paling bernama Ibrahima. Dari nama-nama ini saya konfirmasikan apakah memang begitu orang Gambia membuat nama, yaitu menambahi huruf vokal pada nama yang semestinya berakhiran konsonan. Ternyata betul.
Sudah lebih dari enam tahun ia tinggal di Inggris. Menurut ceritanya ia dulu mengambil studi master. Saya lupa jurusan apa. Namun setelah selesai ia memilih tinggal lebih lama. Entah bagaimana ceritanya, ia berhasil membawa anak dan istrinya. Sesuatu yang masih sulit saya mengerti. Tidak mudah beroleh izin tinggal, apalagi membawa keluarga, sementara tidak ada pekerjaan mapan di tangan.
Di negaranya sendiri, ia adalah seorang pegawai pemerintah atau PNS. Pekerjaan yang bagus sebenarnya. Namun ia memilih untuk meninggalkan. Ia beralasan, situasi politik di negaranya berubah, dan itu membuatnya tidak nyaman untuk kembali bekerja di kampung halamannya.
Ia sendiri tampak seorang pemikir. Paling tidak itu terlihat dari buku bacaannya. Ketika sama-sama bekerja di kantor pos, ia selalu membawa dan membaca buku. Kebetulan saat itu ia membawa buku karangan Edward W Said, intelektual asal Palestina, saya jadi ada pintu masuk untuk mengajak ngobrol.
Setelah sama-sama keluar dari kantor pos, kami sering bertemu. Sekali waktu ia mengunjungi rumah kami. Kebetulan saya membuat kue lupis ketan. Saya hidangkan makanan khas itu Indonesia itu, dan ia menyukainya.
Lain waktu, gantian saya kunjungi rumahnya, yang ternyata hanya setengah kilometer dari rumah. Saya bawakan tempe buatan sendiri. Ia juga tampak senang dan keliatan bisa menikmati makanan asing tersebut, padahal saya sempat khawatir ia merasa aneh, karena baru pertama kali memakannya.
Yang selalu membuat saya senang setiap bertemu dengannya adalah senyumnya. Ia seperti tak pernah kehabisan senyum. Saya tahu dari berpindah-pindah pekerjaannya, ia sebenarnya sedang berada dalam perjuangan hidup lebih layak di negeri orang. Dan ia tak pernah mengeluh. Hanya senyum yang ia umbar kepada setiap orang yang ia temui.
Bagi saya itu sudah cukup. Ia telah mengajarkan kepada saya bagaimana mengadapi beratnya ujian dalam hidup.
Birmingham, 14.07.15
Al Faqir Ibnu Sabil
Komentar