Puasa, Anak, dan Sekolah
Miqdad, anak saya yang kelas enam, kemarin marah-marah. Ia minta hari ini tidak masuk sekolah. Saya katakan, "Nanti kalau sekolah telepon, ayah pakai alasanapa? Kamu nggak sakit... Satu, ayah tidak mungkin berbohong; kedua, apalagi ini bulan puasa..." Ia menggerundel.
Sebenarnya saya mengerti masalahnya. Kemarin dan hari ini, di sekolahnya ada Enterprising Days. Kelasnya dia kebagian berjualan. Di sepanjang hari, ia harus menjaga meja yang di atasnya berisi barang jualan yang serba sweet. Coklat-coklat, minuman botol ataupun kaleng, dan kawan-kawannya. Menahan lapar karena puasa, sambil di depannya berjajar aneka rupa makanan coklat, bukan sesuatu yang mudah baginya.
Itulah mengapa ia memilih, kalau boleh, untuk tidak masuk sekolah. Tapi saya mengatakan tidak ada jalan lain, sambil menyemangati bahwa pahala puasa lebih besar lagi karena godaannya lebih berat. Maka, ketika pagi ini ibunya menawarkan, "Gimana, mau gak masuk sekolah aja?" Ia menjawab, "No, Mum..., I have to..."
Mungkin masih merasa terpaksa, tapi saya yakin ia kuat seperti kemarin.
Soal puasa, ini memang sempat menjadi isu antara kami dan sekolah. Tiga tahun lalu, kepala sekolah, padahal beliaunya muslim, jelas-jelas melarang murid-murid yang muslim untuk berpuasa. Alasannya adalah kesehatan. Dikatakan sekolah tidak mau bertanggung jawab jika terjadi apa-apa dengan murid terkait puasa. Untuk hal ini kami harus menandatangani concern form. Dan, di siang hari, ketika jam makan, kami harus menjemput si anak yang berpuasa untuk pulang ke rumah dan kemudian mengantarnya lagi ke sekolah saat jam istirahat telah usai.
Kami pun mengerti. Kami mencoba berprasangka baik. Mungkin sebagai muslim, kepala sekolah tentu dihadapkan pada situasi sulit mengingat sebagian besar murid berasal dari keluarga muslim juga.
Saya jadi tahu, mengapa anak-anak di sini tidak berpuasa. Di kelas Miqdad, hanya dirinya dan dua temannya yang berpuasa. Di secondary school atau SMP, banyak anak muslim juga tidak berpuasa, setidaknya itu menurut anak saya. Termasuk tetangga saya. Anak mereka yang SMP pun mengaku tidak kuat berpuasa. Bahkan mereka heran, mengetahui anak-anak kami dapat melewati hari tanpa makan dan minum.
Sebagai orang tua, kami tidak ingin melewatkan kesempatan seperti ini. Ini bisa menjadi poin bagi anak. Mereka layak diapresiasi. Mereka kuat dan membanggakan. Dan mereka harus menyadari itu. Dengan dengan itu pula mereka menjadi sangat percaya diri. Memang tidak mudah, tetapi bisa.
Birmingham, 03.07.15
Al Faqir Ibnu Sabil
Komentar