Bagaimana Batasan Nonton Televisi Pada Anak?
Ditulis Oleh: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Founder Komunitas Yuk-Jadi Orangtua Shalih
Fasilitator Pelatihan Orangtua 25 Propinsi, 80 Kota di Indonesia dan Negara
Penulis Buku Best Seller “Sebelum Meminta Anak Shalih, Yuk Jadi Orangtua Shalih”
www.auladi.net
Apakah Anda masih termasuk orangtua yang masih “permisif” dengan televisi? Apakah Anda termasuk orangtua yang masih menganggap wajar anak balita nonton televisi?
Atau pernah mengalami seperti yang orangtua ini alami? “Abah Ihsan, untuk batasan nonton televisi anak, baiknya bagamana ya? Anak saya 9 th, 7th dan 4 th. Di rumah saya menerapkan: hari sekolah boleh nonton 1,5 jam. Batasnya setelah maghrib tv mati walaupun belum 1,5 jam. Sedangkan hari libur 2 jam/hari.
Awalnya tertib. Makin ke sini kacau karena anak saya 4th sakit cacar jadi tidak boleh ke luar rumah terkadang jadwal nontonya jadi berlebih. Sedangkan kakaknya pulang sekolah baru nonton tv, jadinya si 4 tahun ikut nonton lagi. Sekarang juga si 7 dan 9 tahu walaupun sudah 2 jam masih mau nonton dengan alas an pas iklan aku tidak nonton. Aku tutup mata. “
Boleh tak setuju, bagi saya keadaan seperti ini memperlihatkan seolah bagi anak nonton televisi itu “wajib”. Apalagi jika sehari lebih dari 1 jam. Sudah terlalu sering kita mendengar publikasi dengan dampak negatif televisi untuk anak.
“Googling” aja di internet dengan bahasa inggris atau gabungan bahasa manapun, tentang “tv impact” ada ribuan pembahasan tentang ini. Saya hanya ingin menyebutkan beberapa hal:
Televise dapat membuat anak kecanduan. Karena kecanduan, seperti kecanduan apapun (yang berkaitan dengan teknologi) dapat berdampak kepada banyak hal negative yang sebenarnya dapat kita ketahui secara sederhana dengan memperhatikan perilaku anak-anak kita sehari-hari yang sudah kecanduan tv. Lalu bandingkan dengan anak-anak yang hidup tanpa televisi.
Anak-anak yang terpapar tv berlebihan, apalagi gadget, game dan playstation, lihat saja perilakunya: sering tidak tenang, impulsive, agresif, mudah resah dan lain-lain. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/3881727
Rela anak ini jadi begitu?
Meski televisi bermaksud mengajarkan mana yang baik dan buruk dan seringkali menampilkan bahwa yang baik mengalahkan yang jahat, tapi mengacu pada University of Michigan's Health System: televisi juga menyampaikan pesan pada anak bahwa kekerasan itu normal dan boleh! (Even "good guys" beating up "bad guys" gives a message that violence is normal and okay. Many children will try to be like their "good guy" heroes in their play.)
Rela anak kita jadi begitu?
Anak belajar banyak dari tv. Jangan dikira mereka tidak mendapat pelajaran hidup. Apa yang mereka pelajari bergantung apa yang mereka tonton jika berkait dengan televisi (that children learn from watching TV; what they learn depends on what they watch). Sumber: http://www.centreforliteracy.qc.ca/sites/default/files/parents_tv.pdf
Rela anak kita jadi begitu?
Anak-anak yang rutin menonton tv berlebihan memiliki peluang untuk terserang kegemukan (obesitas), gangguan perilaku, gangguan istirahat/tidur, gangguan belajar, rangsangan kekerasan dan yang tak kalah hebat berkurangnya waktu bermain anak. Apa akibat kurang main? Sudah saya bahas panjang lebar dalam tulisan saya yang lain. Sumber: http://www.mayoclinic.org/healthy-lifestyle/childrens-health/in-depth/children-and-tv/art-20047952
Rela anak kita jadi begitu?
Bagiamana jika sebaliknya? Anak-anak tanpa tv wajahnya bisa lebih banyak cerita, lebih sehat, lebih percaya diri (bertentangan dengan prasangka bahwa anak jadi tidak “pede” ketika bergaul dengan teman sebab kurang “update” dengan tayangan tv) dan jauh dari ketakutan-ketakutan yang tidak beralasan (hantu, kekerasan, kejahatan dll yang ditampilkan televise). Sumber disini: http://www.ahaparenting.com/parenting-tools/intelligent-creative-child/tv-compromises-academics
Tidak ingin anak kita begitu?
Atau daripada ribet cari referensi. Tak usah lihat penelitian manapun, buktikan sendiri! Sebab saya sendiri sudah mendapat banyak bukti dari orangtua-orangtua yang mempratikkan PRINSIP 1821, yaitu dari jam 18.00 sampai 21.00 tidak ada tv, laptop, gadget, dan segala peralatan elektronik lain.
Buktikkan, keluarga-keluarga yang jarang nonton tv, mematikan gadget dan laptop pada saat prime time 1821 seperti yang pernah saya bahas, lebih akrab, lebih hangat, lebih dekat, lebih ceria dan lebih banyak menyebabkan saling pengertian, empati antaranggota keluarga.
Jadi ini rekomedasi saya soal batasan tv untuk anak: Pertama, sebaik-baiknya keluarga adalah tanpa televisi. Mustahil? Ini masalah kemauan orangtua sendiri. Yang saya tahu, bukan hanya saya yang belasan tahun menikah dengan 5 orang anak tanpa tv, sudah banyak orang yang mempraktikkannya. Tidur jadi lebih teratur. Interaksi antaranggota keluarga lebih intens. Akibatnya hubungan antaranggota keluarga pun jadi hangat.
Bagaimana soal hiburan? Lah emangnya bermain bukan hiburan? Bagaimana dengan berita? Ketinggalan dong nanti? Anda periksa, berita di tv lebih banyak yang membuat damai atau berantem? Lebih banyak yang membuat tenang atau resah? Berita lho! Tak usahlah kita ngomong sinetron lebay bin alay! Saya langganan Koran juga belum tentu kebaca semua halaman. Pegang gadget? Apalagi! Jutaan halaman berita bisa dibaca. Tapi jangan sampai malah dialihkan semua ke gadget lho!
Kedua, jika tidak bisa juga lepas sama sekali dari nonton, sedapat mungkin nonton sepekan sekali. Terserah di rumah Anda, tapi di rumah saya memang dari dulu anak boleh nonton kok. Hanya saja saya sudah beli dan persiapkan ratusan video, film yang sudah saya pilih, yang saya anggap aman untuk nonton.
Ketiga, jika tidak bisa juga, nontonlah sehari paling banyak 1 jam. Ini paling amin. Merujuk AAP (American Academy of Pedriatrics) paling banyak 2 jam sehari. Tidak lebih! https://www.aap.org/en-us/advocacy-and-policy/aap-health-initiatives/pages/media-and-children.aspx. Itu pun hanya berlaku jika tanpa iklan dan tayangan yang sudah terseleksi.
Keempat, untuk anak-anak balita saya sama sekali tidak merekomendasikan untuk bermain layar (istilah saya untuk kesenangan megang gadget dan nonton tv). Ini paling aman. Karena dengan meniadakan bermain layar untuk anak balita akan memberi peluang anak balita bermain nyata lebih banyak yang akan lebih banyak merangsang tumbuh kembangnya. Balita boleh nonton sesekali, tapi tidak untuk dirutinkan.
Anak-anak usia balita tidak berhak ikut nonton. Jadi saat anak yang lain nonton, anak-anak balita harus diajak melakukan aktivitas lain yang membuat dia tetap “sibuk” tanpa nonton.
Bagaimana jika anak banyak, kan harus dibagi tuh supaya tidak rebutan? Pembagian jangan sampai justru menambah banyak jam nonton tv anak. Anak pertama milih tayangan 1 jam, anak kedua 1 jam. Lah pas anak pertama nonton, anak kedua ikut nonton dan sebaliknya maka yang terjadi masing-masing anak akhirnya nonton 2 jam. Lah pas anaknya 5 ? Berarti total jendral 5 jam dong?! Ya tidak seharusnya begitu bukan?
Di rumah saya, semua anak yang berhak nonton rutin sepekan sekali harus sudah usia 7 tahun. Nonton film yang sudah dipilihkan atau kalau tidak nonton video dari youtube dengan pendampingan orangtuanya. Saat usia 7 Ini sekaligus dijadikan salah satu keistimewaan karena memang sudah terkena kewajiban belajar sholat. Karena terbiasa “syuro”, maka mereka sendiri yang menentukan pekan ini, pekan siapa, pekan besok pekan siapa.
Hasil syuro anak saya, pekan 1 milik Salma, pekan 2 milik Syahid, pekan 3 milik Syarifah. Pekan 4 libur! Saat pekan 1 Salma tidak mau nonton atau tidak bisa nonton, maka anak yang lain tidak boleh nonton juga. Jadi tidak ada istilah dobel nonton.
Setiap 1x nonton maksimum 1,5 jam. Sudah termasuk semuanya dari nyala hingga mati tv. Tidak ada istilah jeda iklan tidak dihitung, saat iklan nutup mata. Tidak ada juga istilah sewaktu ke toilet tidak dihitung. Bernegosiasi dengan wilayah “abu-abu” itu membuat orangtua makin lemah otoritas dihadapan anak.
Keadaan sakit anak justru harus dimanfaatkan untuk membangun kedekatan lebih dengan anak dengan cara mengambil perhatian dan kasih sayang lebih pada anak yang sakit, bukan malah mengendorkan ketegasan orangtua dengan bermain layar lebih banyak lagi. Jangan-jangan saat tubuhnya sembuh, pikirannya malah tambah sakit! Naudzubillah.
Meski bermain layar di rumah saya hanya boleh 3 jam per pekan, (asusmi 1,5 jam sehari, karena Sabtu-Ahad yang diperbolehkan) itu pun sudah membuat saya tidak happy. Bayangkan saja berarti dalam sebulan berarti sebanyak 9 jam dihabiskan bermain layar. Berarti dalam 1 tahun berarti 98 jam. Itu pun sudah sangat banyak bukan menurut saya.
Tak terbayang jika orangtua yang memberika batasan 2 jam dalam 1 hari. Berarti sepekan 14 jam anaknya bermain layar. Sebulan rata-rata 56 jam bermain layar. Setahun berarti anak dicekoki berbagai tayangan sebanyak 672 jam! Bagi saya ini mengerikan!
Bayangkan 672 waktu bermain anak terpotong untuk nonton. Padahal masa kecil adalah masa yang tidak berulan. Bayangkan 672 jam itu jika dipakai untuk merojaah, bercerita, mendongen, menginstall dan memprogram pikiran anak sebelum anak kita pikirannya diprogram orang lain atau pihak lain. Sayang sekali! Saya sih tidak ridlo 672 jam waktu anak saya dalam 1 tahun hilang begitu saja. Jika dalam 10 tahun anak diperbolehkan nonton? 6720 jam terbuang sia-sia!
Padahal saya sering mengatakan yang 100% anak saya jadi anak saya itu hanya 12 tahun. Setelah 12 tahun anak saya tetap anak saya secara hokum 100% tapi secara kejiwaan anak mulai tumbuh menjadi dirinya sendiri, dengan demikian tidak bisa lagi 100% mendapat intervensi dari orangtua. Bagaimana dengan Anda?
Komentar