Pada zaman dahulu, hiduplah seorang yang 'alim di daerah Sibam. Beliau diangkat menjadi seorang qodhi / hakim. Sejak hari pertama bekerja, sang hakim ini merasa aneh. Selama sehari tidak ada seorang pun yang datang untuk mengadukan permasalahanya.
Hari demi hari terus berganti. Kantor sang hakim tetap sepi. Tidak ada seorang pun yang datang untuk mengadukan permasalahannya. Minggu demi minggu juga telah berlalu. Sang hakim masih menunggu.
Bulan baru telah datang. Bahkan telah berbulan-bulan sang hakim bertugas tapi tidak ada satu sengketa pun yang terjadi. Tahun demi tahun pun berlalu. Tetap saja tidak ada satu pun penduduk yang datang mengadu.
Sang hakim merasa tida bisa menjalankan tugasnya sebagai hakim. Sang hakim merasa bersalah karena telah digaji tapi belum pernah mengerjakan tugas sebagai hakim kecuali menunggu dan hanya menunggu di kantor.
Setelah minta petunjuk kepada para tokoh setempat, sang hakim setiap hari berangkat ke kantor tidak membawa KUHP atau kitab sejenusnya. Sang Hakim malah membawa sajadah dan tasbih. Di kantor, setiap hari Sang hakim selalu sholat dan wiridan.
Sudah empat belas tahun. Akhirnya ada dua orang warga yang datang menemui Sang Hakim untuk mengadukan suatu sengketa. Mereka berdua bersengketa dalam suatu transaksi jual beli tanah.
Sang Hakim pun mulai mendengarkan keterangan dari kedua pengadu tersebut.
Pembeli: Begini ceritanya pak Hakim. Saya beli tanah dari bapak ini. Kami sudah sepakat harganya dan sudah kami bayar lunas.
Tapi ternyata di dalam tanah tersebut ada emasnya, banyak sekali. Karena saya hanya membeli tanah maka emas tersebut saya serahkan kepada Bapak ini. Eee.. Beliau malah tidak mau. Bagaimana ini Pak Hakim.
Penjual: Maaf Pak Hakim. Tanah tersebut sudah dibeli oleh Bapak ini. Jadi, tanah tersebut beserta isinya sudah bukan milik saya. Salahkah saya bila menolak emas tersebut? Itu bukan milik saya, melainkan mili Bapak ini.
Pembeli: Maaf. Menurut saya emas tersebut jelas bukan milik saya. Saya kan hanya membeli tanah. Ternyata di dalamnya ada emasnya. Ini kan tidak wajar, tidak umum. Maka emas tersebut bukanlah hak saya. Maaf, sekali lagi saya tegaskan bahwa saya hanya membeli tanah.
Hakim: Jadi milik siapa emasnya?
Pembeli dan penjual: bukan milik saya. Tolong jangan beri saya barang yang bukan hak saya.
Hakim: maaf saya belum bisa memutuskan. Tapi yang pasti 1/10 dari emas tersebut harus diberikan orang lain yang berhak menerima zakat.
Penjual dan Pembeli: Saya setuju. Tapi sisanya diberikan siapa?
Hakim: Saya belum bisa memutuskan.
Penjual: Maaf, pak Hakim, karena Bapak telah menunjukkan kami tentang hukum zakat. Maka sudilah kiranya Bapak menerima emas yang kami sengketakan.
Hakim: Bapak ini bagaimana? Koq malah mau menjerumuskan saya ke neraka. Tolong jangan beri kami barang yang bukan hak kami.
Penjual: Kami berdua ini sudah memperdebatkan hak milik emas ini selama dua hari. Kami harap Pak Hakim bisa segera memberi keputusan.
Hakim: kalau Bapak berdua tidak ada yang bersedia memiliki emas tersebut, mungkin lebih baik bila diserahkan pada baitul mal saja.
Penjual dan pembeli: Setuju!
Menurut ulama setempat, penduduk Sibam sangat tahu dan percaya serta mengamalkan denga sepenuh hati sabda nabi yang menyatakan bahwa pahala dari saling memaafkan tidak terhitung.
Cerita di atas saya tulis berdasarkan ingatan saya pada Mauidhoh Romo Kyai Mujazi Pasir Mijen.
Pada penghujung mauidhoh, beliau menyampaikan bahwa dunia ini tinja (menurut orang kuno)
Uang juga tinja (menurut orang kuno)
Tapi mungkin orang sekarang bilang tinja yo wis. Gomene kabeh.
Komentar