Pusi Mencuri Ikan
Bukan kancil mencuri timun, tapi Pusi mencuri ikan. Sebenarnya Pusi
kucing yang baik. Dia penurut. Akan tetapi siang ini Pusi
menjengkelkan hati Efa. Efa sebel sekali karena ikannya digondol
Pusi. Efa terpaksa makan siang dengan lauk krupuk. Efa sangat
heran. Mengapa Pusi mencuri ikannya. Pusi kucing kesayangan Efa.
Setahu Efa Pusi tidak pernah mengambil makanan yang ada di meja. Pusi
hanya makan makanan yang diberikan kepadanya. Entah mengapa siang ini
Pusi tega mengambil ikan Efa. Padahal Efa selalu memberinya makan
sehari tiga kali.
Pulang
dari sekolah, Efa langsung memberi makan Pusi. Efa tahu bahwa Pusi
lapar dari meong-meongnya. Setelah itu sholat Dhuhur baru kemudian
makan siang. Baru dapat tiga suapan, pintu depan diketuk. Efa
bergegas ke ruang tamu. Ternyata Lela. Tadi pagi mereka memang sudah
berjanji akan menggambar bersama. Setelah mempersilahkan duduk, Efa
permisi sebentar untuk melanjutkan makan siangnya. Efa terkejut.
Ikanya sudah tidak ada di piring. Tinggal nasi dan sayur. Di bawah
meja Pusi sedang asyik makan ikan.
Sehabis
makan Efa kembali ke ruang tamu dengan membawa kertas gambar dan
pensil warna. Sambil menggambar Efa menceritakan kenakalan Pusi pada
Lela. Menurut Lela, Pusi mencuri ikan mungkin karena masih lapar.
Makanan yang diberikan Efa kurang banyak. "Sekarang Pusi sudah
besar. Jadi makannya tambah banyak." Begitu kata Lela. "Tapi
namanya juga kucing. Pusi pasti tidak tahan mencium bau ikan. Pusi
pasti ingin memakannya." Tambah Lela sambil tersenyum. Efa hanya
mengangguk-angguk. []
Teman sejati
Bejo dan Anton adalah teman sekelas. Mereka duduk sebangku. Berangkat
dan pulang sekolah bersama. Rumah mereka berdekatan. Bejo dan Anton
satu kelompok belajar. Setiap malam senin bersama teman yang lain
mereka belajar bersama. Setiap mala Anton dan Bejo ngaji, belajar
al-Quran di masjid. Setiap sore bermain bersama. Bejo dan Paijo
sama-sama suka main sepak bola. Sore itu Bejo menjemput Anton untuk
berangkat ke lapangan. Di rumah, Anton sedang menyiram bunga. “ Hai
Ton, ayo !” sapa Bejo. “Sebentar. Aku nyiram bunga dulu.
Sebentar lagi selesai.” Jawab Anton. Setelah selesai menyiram bunga
mereka berangkat ke lapangan. Bersepatu hitam, kaos merah dan celana
biru. Anton menggamit bola. Bejo menenteng air minum dalm botol
plastik. Mereka berjalan beriringan sambil ngobrol dengan akrab.
Tiba-tiba terdengar panggilan dari belakang mereka. “ Hai anak yang
baik.!” Anton dan Bejo serentak menoleh. Disana berdiri seorang
asing. Berjubah putih tersenyum kepada mereka. Wajahnya putih
berseri. Kumis dan jenggotnya putih. Kepalanya bersorban hijau. Anton
dan bejo berpandangan. “Siapa dia ?” bisik Bejo. Anton
menggeleng. Orang tua itu melambaikan tangan dan berkata denga suara
lembut “Bejo.... kemari.....” Anton dan Bejo masih terdiam. Orang
tua itu melambaikan tangan lagi. Bejo menarik tangan Anton. Mereka
berjalan pelan-pelan menghampiri orang tua itu. Jantung mereka dag
dig dug. Mereka semakin heran ketika orang tua itu menggeleng.
Serentak dua anak kecil ini menghentikan langkah. Mereka berdua
menunggu dengan ragu apa yang akan terjadi. Kemudian orang tua itu
berkata “ Bejo saja. Sedangkan Anton di sini sebentar.” Kemudian
orang tua itu merangkul Bejo dan menjauh dari tempat Anton berdiri.
Dari kejauhan Anton memperhatikan dengan penasaran. Orang tua itu
merendahkan tubuhnya hingga kepalanya sejajar dengankepala Bejo. Dia
minta bola yang di bawa Bejo. Memegangnya seperti penyihir. Mulutnya
komat kamit. Dari kejauhan Anton mencoba mendengarkan. Tapi sayang
tidak satu katapun yang bisa didengar. Setelah itu bola dikembalikan
dan Bejo bersalaman. Orang tua itu pergi.
Anton segera berlari menghampiri Bejo yang masih berdiri seperti
patung. Bengong. “ Eh...Jo, Dia itu siapa ?” tanya Anton
penasaran. Bejo menggeleng. Anton bertanya lagi “Tadi dia bilang
apa ?” tapi Bejo menggeleng lagi. Anton jadi gemes. Dia nggak tahu
kenapa Bejo tiba-tiba berubah. Biasanya dia selalu terbuka. Tidak
pernah menyembunyikan rahasia di depan Anton. “ Bejo....Tadi orang
tua itu bilang apa sama kamu ?” Bejo masih diam tapi kemudian mulai
membuka mulut. “Orang tua itu aneh.” Anton mengerutkan kening dan
bertanya “ Kok aneh ? Aneh apanya ?”
“Dia itu tadi cuma bilang BOLA ITU BENTUKNYA BULAT cuma itu yang
dia bilang berulang-ulang.” Jawab Bejo. Mendengan jawaban itu Anton
geleng-geleng. “Aku nggak percaya.”
Setelah kejadian itu mereka seperti musuhan. Berangkat sekolah dan
ngaji tidak lagi bersama. Anton bahkan tidak main bola beberapa hari.
Tapi lama-lama mereka berdua berpikir kenapa persahabatan mereka
tiba-tiba rusak hanya gara-gara orang aneh yang tidak jelas ???[]
Ingin ngetril
Waktu itu paman membeli pasir. Pasir diangkut dengan truk dan
ditumpahkan di halam rumah. Gundukan pasir itu seperti gunung kecil.
Melihat gundukan pasir aku teringat pembalap di TV. Ku lihat mereka
mengendarai sepeda dengan cepat sekali. Melewati jalan berliku dan
naik turun. Kadang ngetril dan melayang di udara. Aku ingin
mencobanya. Kuambil sepeda. Kukayuh pedal sepeda kuat-kuat. Sepeda
melaju ke arah gundukan pasir. Ah gagal. Sepedaku tidak kuat melewati
gundukan itu. Kucoba lagi. Gagal lagi. Kucoba lagi dengan
ancang-ancang yang lebih jauh. Ku kayuh sepeda dengan sekuat tenaga.
Sepeda melaju kencang menuju gundukan pasir. Hore..... sepedaku
melayang. Aku terbang di udara. Dan...BUK. Aduh....aku terjatuh
karena tidak bisa mengendalikan sepeda. Lengan dan kakiku lecet.
Perih sekali. Tetapi adikku malah tertawa. Hahahaha.[]
Nyadran
Teman-teman tentu sudah tidak asing lagi dengan mbah Maulana. Sudah
kenal kan ?! Namanya Syekh Maulana Abdur Rohman al-Bar atau
AL-Hadromi. Makamnya di tengah sawah di antara tiga desa. Desa Mutih
(mantren), Tedunan dan Kendalasem. Setiap tahun sekali penduduk
ketiga desa tersebut mengadakan upacara Nyadran. Nyadaran adalah
ziarah kemakam mbah maulana dalam rangka haul dan syukuran. Nyadran
biasanya dilaksanakan sesudah panen raya. Pada akhir acara dibagikan
berkat. Isinya ada ketan salak, pisang hijau, nasi, dan lauk pauk.
Konon mbah Maulana adalah leluhur ketiga desa tersebut. Beliaulah
yang mbabat alas di daerah itu. Sebelumnya mbah Maulana bertempat
tinggal dan berdakwah di desa Betah walang, Demak. Akan tetapi karena
diganggu oleh Sadipo, beliau pindah ke daerah pesisir utara (mutih
dan sekitarnya). Beliau berdakwah di daerah ini hingga ahir hayatnya
dan dimakamkan di sana. Adapun istrinya dimakamkan di daerah
Pecangaan, Jepara. Sedangkan Sadipo akhirnya dikalahkan oleh sunan
Kali jogo.[]
Air Ajaib
Mbah
Sastro adalah seorang petani desa. Desanya sangat pelosok, jauh dari
kota. Berkat ketekunannya, Mbah Sastro bisa menyekolahkan anaknya
sampai ke perguruan tinggi di kota. Entah apa nama kota itu. Yang
pasti jauh sekali dari desa ini.
Suatu
hari Mbah Sastro diajak oleh anaknya pergi ke kota. Dia menginap di
kota selama tiga hari. Mbah Sastro sangat senang. Dia melihat
kehidupan yang lain; gedung-gedung bertingkat tinggi, mobil dan motor
banyak sekali, lampu warna warni gemerlapan di malam hari. Tapi ada
juga pengemis, anak-anak kecil ngamen di tengah jalan yang panas, dan
orang-orang gelandangan tidur di bawah jembatan. Yang paling
mengherankannya adalah air. Air ? ya !
Di
kota Mbah Sastro tidak melihat orang ngangsu. Tidak ada yang
mengangkat ember berisi air untuk mandi. Mbah Sastro tidak melihat
orang yang menarik tali untuk menimba air dari sumur. Orang kota
mandi di dalam kamar mandi. Air keluar dari kran. Sebenarnya Mbah
Sastro tidak heran dengan air. Tapi heran dengan barang yang namanya
kran. Sebuah pipa besi yang melengkung dan menempel di tembok kamar
mandi. Kalau di putar, benda itu akan mengeluarkan air seperti orang
pipis di pagi hari.
Ketika
pulang ke desa, Mbah Sastro minta dibelikan sebuah kran sebagai
oleh-oleh. Beberapa hari kemudian simbah yang rambutnya sudah putih
itu sibuk membuat sebuah tembok kecil di depan rumah. Tak lupa Mbah
Sastro memasang kran-nya; oleh-oleh dari kota. Tapi sayang sekali,
kran itu tidak bisa mengeluarkan air walaupun sudah diputar-puter.
Mbah Sastro jadi jengkel. Dia berteriak memangggil anaknya. Setelah
anaknya datang mendekat, Mbah Sastro bertanya “Nang….kok
kran-ne or gelem mancur ?”
Anak
itu tertawa terpingkal-pingkal. “ Oalah pak…pak! Njenengan niku
pripun ?” Dia tertawa lagi dan kemudian menjelaskan kepada
bapaknya yang sudah tua.
“
Begini pak…Tembok itu tidak bisa menghasilkan air.”
“Lho…tapi neng
kota kok iso, nang…..?”
“Sebab
ada pipanya yang nyambung dengan pompa. Pompa itu menyedot air dari
sumur. Begitu pak…”
Mbah
sastro manggut-manggut.
KUPU dan ULAT
Pagi
itu mentari bersinar cerah. Awan putih menghias hamparan langit biru.
Angin bertiup perlahan. Sepoi-sepoi…... Di bawah sana, di sebuah
desa yang subur. Seekor kupu-kupu terbang di atas taman. Dia
menikmati keindahan bunga-bunga. Kuncup-kuncup melati putih
bersembulan di antara daun-daunnya yang hijau. Sekuntum mawar merah
merekah di samping bunga sepatu yang bergoyang-goyang tertiup angin.
Bunga matahari tersenyum dan mengembangkan rok kuningnya, tersenyum
pada sang surya. Kupu-kupu sangat senang. Dia menyanyi riang sambil
terbang. Hinggap di atas melati, menari-nari, kemudian terbang lagi.
Pindah ke bunga sepatu, matahari, mawar, dan ……
“Oh
betapa indahnya pagi ini.”
Di
bawah bunga-bunga, rerumputan hijau segar sedang menjemur diri
menguapkan embun pagi. Menunggu sang kelinci sarapan dengan daun-daun
mereka. Mereka senang bisa saling membantu. Rumput dan kelinci saling
bantu. Rumput memberi makan kelinci hingga kenyang. Dan kelinci
memberikan kotorannya sebagai pupuk yang menyuburkan tanah dan
menggemukkan rumput.
Kupu-kupu
terus terbang berputar-putar, mengelilingi taman, mengitari
kembang-kembang. Tapi tiba-tiba dia hinggap di bunga melati. Wajahnya
berkerut. Dia gerak-gerakkan sayapnya seperti orang mau berkacak
pinggang dan menuding-nuding. Matanya melotot memperhatikan seekor
ulat yang sedang makan daun melati. Daun hijau itu tak berbentuk
seperti daun lagi. Robek di sana sini seperti pakaian yang compang
camping. Sesaat kemudian kupu berteriak lantang, “Hai….mahluk
jelek kenapa kau rusak keindahan taman ini ?”
“Aku
tidak merusaknya,” jawab si ulat sambil terus mengrigiti daun
melati. “Aku hanya cari makan.”
“Iya.
Tapi tidak kau lihat. Kau merusak daun-daun itu. Keindahan hilang
karena kedatanganmu.”
Si
ulat hanya diam. Dia terus makan.Mendengarkan kupu-kupu sambil
memamah daun. Kupu-kupu terus nerocos.
“Alangkah
bedanya aku dan kamu. Aku kupu-kupu. Aku punya sayap indah.
Kehadirankan menambah keindahan taman. Anak-anak suka kepadaku,
mereka mengejar-ngejarku. Tapi kamu…. Lihat dirimu. Kamu seekor
ulat yang menjijikkan. Anak-anak langsung menjerit jika melihatmu.
Bulu-bulumu bikin gatal. Kerjamu hanya melata, mengrigiti duan-daun.
Ya. Kehadiranmu di sini merusak keindahan taman.”
Selesai
bicara panjang, kupu-kupu terbang mengitari si ulat. Tatapan matanya
sinis.
Dengan
ramah ulat berkata, “ Hai kupu…Pantaskah kau membanggakan
kecantikan tubuhmu dan menghina keburukanku ? Tidakkah kau ingat dari
mana asalmu ? Siapa ibumu ? Tidakkah kau ingat bahwa kupu-kupu
terlahir dari seekor ulat yang bertapa dan kemudian berubah menjadi
kepompong ? Ingat !! Dulu kau juga seekor ulat yang menjijikkan
sepertiku. Janganlah kau sombong seperti itu. Beberapa hari lagi
akupun akan berubah jadi kepompong dan kemudian menjelma jadi
kupu-kupu sepertimu. Tapi aku tak akan sombong sepertimu. Aku mau
jadi kupu-kupu yang baik hati.”
Tukang Perahu
Pak
Kumbang adalah tukang perahu yang rajin. Setiap hari Pak Kumbang
mengangkut penumpang dengan perahunya. Perahunya sebelah kulit kerahi
yang sudah dijemur. Para penumpang duduk di tengah. Penumpangnya
banyak sekali; Ada anak-anak semut, Pak Angkrang, Bu Laba-laba, dan
mbah Ulat. Pak Kumbang duduk di ujung belakang. Tanganya memegang
kemudi. Kakinya berpegangan kuat-kuat pada perahu. Bila semua
penumpang sudah siap, Pak Kumbang segera menggerakkan sayapnya dengan
kuat. Gerakan sayap itulah yang menjalankan perahu. Perahu melaju
menuju seberang sungai.
Semua
penumpang sampai di seberang dengan selamat. Mereka segera
melanjutkan perjalanan. Anak-anak semut berlari-lari menuju sekolah.
Pak Angkrang menunggu mobil angkutan. Dia kerja di kota. Bu Laba-laba
berjalan pelan-pelan ke pasar. Bu Laba-laba mau membeli dagangan.
Mbah Ulat bertunuk-tunuk menuju Puskesmas.
Pak
Kumbang kembali mengangkut penumpang yang lain. Bolak-balik
menyebrangi sungai. Pak Kumbang sangat senang karena bisa menolong
orang lain. Para penumpang juga berterima kasih. Mereka memberi uang
kepada Pak Kumbang sebagai ongkos menyebrang.
POCONG
Setiap
malam Aku mengaji di masjid. Biasanya aku pulang bersama teman-teman.
Malam itu aku pulang sendirian. Teman-teman sudah pulang lebih dulu.
Keluar dari masjid aku segera berlari kencang. Kakiku tersandung
beberapa kali. Nafasku ngos-ngosan. Duk duk duk duk duk .Akhirnya aku
sampai di perempatan. Aku lega karena sebentar lagi sampai.
Tapi……..Tiba-tiba
samar-samar kulihat sesuatu berdiri. Warnanya putih. Dia
bergoyang-goyang tapi tetap saja di sana, menghadang jalanku. Aku
berhenti. Melangkah ragu. Kurasakan hawa dingin meniup tubuhku. Bulu
kudukku berdiri semua. Hi…..merinding. Ya, aku takut sekali.
Keringat dingin bercucuran. Kaki gemetar. Aduh bagaimana ini. Mengapa
sepi sekali. Kok tidak ada orang lewat. Aduh…… putih-outih itu
apa sih ? Apakah itu hantu pocong ? Hi……….aku takut.
Aku
tidak tahu mengapa tiba-tiba aku jadi berani. Kukepalkan tanganku
kuat-kuat. Kutarik nafas panjang. Satu…..dua……tiga ! Aku
berlari, dan……ciaaaaat! Kutendang hantu itu. Krosak !
Ealah…
Ternyata hanya sebuah plastik. Sialan, mengapa tadi aku takut sekali.
Hihihi, Aku jadi malu. Hi hi.
Belang makan bakso
Belang
kucing putih kecil. Dia sedang tiduran di depan pintu. Tiba-tiba
telinganya bergerak-gerak. Belang mendengar denting sendok dan
piring.
Klunting.
klunting.
Belang
segera melompat, berlari ke dapur.
“Meong…..,meong…..minta
dong…” Belang merengek. Dia gosok-gosokan kepalanya ke kaki Ani.
“Belang,
mau bakso ?” Tanya Ani.
“Meong.”
Tenyata
makan bakso sukar sekali. Sebutir pentol bakso menggelinding ke sana
kemari. Belang tidak menyerah. Dia terus berusaha. Ya, belang seperti
main sepak bola. Berlari, melompat, menyepak-nyepak bola bakso.
Belang terus berusaha. Hore…Akhirnya tertangkap juga.
“GOL
!” seru Ani yang sejak tadi memperhatikan. Dia senyam-senyum
menahan geli.
Ya.
Bola bakso berhasil masuk gawang.
“Enyak
sekayi yasanya.” Kata belang sambil menguyah. Mulutnya penuh
suaranya jadi lucu. Hihihi.
Si jangkung
Kuncung
sebuah pensil yang jangkung. Dia tampan. Topinya merah, manis sekali.
Topi itu sangat berguna. Dia melindungi kepala kuncung dari panas dan
hujan. Bila Kuncung salah-tulis, topi inilah yang mengingatkan dan
menghapusnya. Si Kuncung pandai menari. Setiap kali menari,di lantai
selalu ada lukisan indah. Ternyata Kuncung menari sambil melukis.'
Sekali berarti sesudah itu mati
Panggil saja mbak Ana. Namanya Banana. Mbak Ana pisang yang baik
hati. Hidupnya sederhana. Mbak Ana punya cita-cita yang sederhana.
Mbak Ana hanya ingin berbuah sekali seumur hidup. Ya hanya sekali
saja. Cita-cita yang sederhana ini ternyata butuh perjuangan.
Bulan
kemarin mbak Ana sudah mau berbuah. Eh….ada Pak kerbau lewat dengan
kasar. Tubuh Mbak Ana tertendang hingga jatuh. Mabak Ana sakit
berminggu-minggu. Mabak Ana tidak putus asa. Dia tidak mau mati
sebelum berbuah. Akhirnya Mbak Ana bisa berdiri lagi.
Sekarang
Mbak sudah berbuah. Sebentar lagi buahnya masak. Senang sekali,
menjadi mahluk yang bermanfaat. “Sekali berarti. Sesudah itu mati.”
Itulah
prinsip Mbak Banana. Setelah berbuah dia rela mati.
Tangisan sang pintu
Hari ini Rio piket. Dia berangkat pagi-pagi. Sekolah masih sepi.
Ketika akan masuk kelas, Rio menghentikan langkahnya. Dia menelengkan
kepalanya. Telinganya bergerak-gerak. Dia tajamkan pendengarannya.
Sst...ada suara tangis. Tapi siapa yang menangis ? Rio masuk kelas.
Di dalam tidak ada orang. Di luar juga tidak ada. Lalu di mana yang
menangis itu ? Jangan-jangan…. Hantu ! Hi….. Rio segara berlari.
Der ! Pintu ditutupnya. Dia bersandar di belakang pintu. Suara tangis
semakin keras. Suara itu dari belakang Rio. Rio membalikkan badan,
mau ngintip dari lubang kunci.
Ha !!!
ternyata yang menangis si Pintu.
“Mengapa
menangis ?” Tanya Rio
“HUAA...…HUAA...….Kepalaku
masih pusing. Hari sudah pagi, sebentar lagi teman-temanmu datang.
Aku akan tersiksa lagi. Teman-temanmu suka mendorongku, menarik,
menutup dan membukaku dengan keras. Tubuhku terombang-ambing, kepala
jadi pusing sekali. Sekarang aku masih pusing. Aku takut nanti
teman-temanmu membuatku mainan lagi……HUAA... HUAA...….Aku tidak
mau tambah pusing lagi….HUAA...….. HUAA...… kepalaku mau pecah…
HUAA...…. HUAA...…..”
“Cup.
Cup. Cup. Jangan menangis lagi. Aku nanti akan beritahu
teman-temanku.” Kata Rio.[]
Aku suka hujan
Dia
sangat suka pada hujan. Mungkin karena namanya Mega. Musim penghujan
telah tiba. Senang sekali hati Mega. Sore ini hujan turun lagi. Mega
berteriak girang “ Hore …Hujan.” Mega suka menadah air yang
menetes dari atas genting di depan rumah. “ Ayo hujan….hujanlah
yang lama. Jangan berhenti…”
“Mega…”
terdengar suara Bapak dari dalam rumah. Mega bergeas lari measuk
rumah. Dia melihat Bapak dan ibunya bersedih. “Mengapa bersedih ?”
Kalau
hujan turun terus ibu sedih karena tidak bisa menjemur krupuk. Kalau
hujan terus menerus, Bapak sedih karena takut sawahnya kebanjiran.
“Tapi
Mega senang, Pak…Mega senang, Bu…. Karena sekarang kita tidak
perlu membeli air minum. Kita tidak perlu beli sayur, karena di
belakang rumah banyak bayam segar-segar…”
“Kita
semua sedih, Mega….karena rumah kita bocor.”
“Mega
senang mendengar tik tok tik tok air di atas ember penadah itu. Ya
seperti musik….”
“Ya
sudah Bapak mau berangkat menjala.”
“Mega
senang hujan. ……….Semoga dapat ikan banyak, Pak.”
BEJO
Diceritakan
oleh : Amin
Bejo
bukan murid pintar, apalagi pelajaran Matematika. Setiap kali
mengerjakan latihan Bejo hampir selalu mendapat nilai 5. Kadang malah
4 atau 3. Tidak pernah mendapat nilai 6 apalagi 7.
Hari
ini sungguh aneh tapi nyata. Bejo bisa menjawab pertanyaan pak guru
dengan cepat.
2.700 :
3 =….. ?
Bejo
langsung angkat tangan. “ Tujuh ratus. Pak guru.”
900 : 3
=…..?
Bejo
angkat tangan. Teman-teman yang lain geleng-geleng. Si Amin, anak
terpintar masih masih berpikir.
“Berapa
bejo ?”
“Tiga
ratus, Pak guru.”
Apa ya
rahasianya ? Padahal Bejo sering tidak masuk. Kadang malah bolos
kalau ada pelajaran matematika.
Begini
ceritanya. Kemarin bejo tidak masuk. Dia mencari keong di sawah. Dia
bersama dua orang teman. Mereka bertiga mengumpulkan keong. Setelah
dapat satu ember, mereka jual ke warung. Dapat uang 2.700. Mereka
bingung membaginya. Mereka bertanya kepada pedagang. “Bu . 2.700
kalau dibagi orang tiga berapa ?”
“Ya
900.”
Setelah
itu mereka beli tape satu bungkus. Harganya 900. Mereka harus
patungan. Mereka bingung lagi. Akhirnya bertanya kepda pedagangnya.
“Jadi satu orang bayar berapa ?”
“Ya
tiga ratus nang”
Pak Jago Tertipu
Pak
jago bangun pagi-pagi benar. Senam sebentar dengan lari-lari dan
mengepak-kepakan sayapnya. Kukuruyuk……Uk uuk uuuuuk
bersahut-sahutan.
Pak jago tengak-tengak mencari sarapan. Dia mengais-ngais tanah
dengan cakarnya. Pak Jago mematuk karet gelang dikira cacing.
Cicak Minum Kopi
Hari
sudah malam. Semua sudah tidur. Cicak belum tidur. Dia jalan-jalan.
merayap-rayap di dinding. Cicak melihat ada gelas di atas meja. Oh
kopi. Masih ada sedikit. Cicak ingin mencoba merasakan kopi.
Pelan-pelan Cicak merayap turun menuju meja itu. Hup ! Cicak melompat
ke bibir gelas kemudian meluncur ke dalam dan….Pluk. Cicak jatuh ke
dalam. Tubuhnya hitam semua. Oh enak sekali minum kopi sambil
berndam.
Wanita
Pendayung
Di
sebuah meja ada semangkuk es sirup rasa jeruk. Itulah danau bagi efa.
Efa seekor semut yang suka mendayung. Perahunya kulit kacang.
Dayungnya buatan Pak Rayap. Pak Rayap membuat dayung itu dari bekas
batang korek api. Efa naik perahu bersama dua anaknya. Mereka
mengelilingi danau. Air danau berwaena kuning. Rasanya manis.
Anak-anaknya senang sekali. Hawanya juga sejuk. Kalau lelah Efa
tiduran di perahu.
Sepatu dan Pipit
Ada
bunga sepatu di tepi sungai. Di amemakai topi merah. Di atas topi ada
rumbai-rumbai kuning. Bunga Sepatu sangat suka melihat buruang pipit.
Setiap pagi, Pipit mencari makan di sawah. Sawah itu di seberang
sungai. Bunga sepatu selalu menyapa.
“Selamat
Pagi….Bagaimana kabarmu ?”
“Sugeng
enjang, Bunga Sepatu yang cantik.” Sahut pipit sambil
menari-nari.
Setelah
itu mereka tertawa bersama.
Pak Curut
Pak
Curut Pemulung yang rajin. Sarangnya di bawah lemari. Setiap malam
dia berlari-lari mengumpulkan sampah-sampah yang tercecer di rumah.
Bekas bungkus permen, duri ikan, kertas, kulit kacang, biji jambu,
dan sebagainya. Malam ini Pak Curut mendapat barang yang antik.
Bentuknya seperti karung. Baunya seperti ikan asin yang sudah basi.
Warnanya……sepertinya warna aslinya putih, tapi barang ini sudah
tidak putih lagi, bahkan hampir hitam. Barang apakah ini ?
Pagi
harinya Ani mencari-cari kaos kakinya. Kaos kakinya hilang entah
kemana.
Si Telon dan Hantu
Malam
sudah larut. Jalan-jalan sepi. Orang-oarang sudah tidur. Lampu-lampu
dipadamkan, hanya sebagian yang masih menyala. Si Telon belum tidur.
Dia sedang membaca buku cerita. Hanya dia yang belum tidur di rumah
itu. Ibu, bapak, dan adiknya sudah tidur. Dia sendirian. Sepi sekali
rasanya.
Tok tok
tok. Tiba-tiba terdengar ketukan. Sepertinya ada yang mengtuk pintu.
Siapa bertamu malam-malam begini. Si Telon ragu-ragu. Mungkin dia
salah dengar.
Tok tok
tok tok tok suara itu terdengar lagi.
Tok tok
tok tok tok tok
Walaupun
agak takut Si telon berlari ke ruang tamu. Lho kok tidak ada
siapa-siapa. Siapa tadi yang mengetuk pintu. Atau mungkin aku asalah
dengar. Si Telon kembali ke ruan tengah.
Tok tok
tok tok tok suara itu terdengar lagi.
Aduh
siapa sih. Jangan-jangan hantu…hi……takut. Walaupun agak takut
si Telon berjalan pelan-pelan melihat siapa yang mengetuk pintu.
Tidak ada siapa-siapa.
“Hai
Telon.”
Si
telon terkejut. Oh Kaper. “Ah kamu bikin kaget saja. Hai Kaper,
Siapa sih yang mengetuk-ngetuk pintu ?”
“Tidak
ada.”
“Kau
tidak mendengarnya”
“Oh
tadi itu suara si Cicak ini.” Kata kaper sambil menunjuk ke balik
kaca pintu. “Dia mau memakanku. Dia mematuk-matukan kepalanya ke
arahku. Dia lupa kalau aku berada di balik kaca.”
“oh
Cicak tho. Saya kira hantu.
Kalau tidak bisa naik sepeda
Tidak bisa lulus MI
Kalau
tidak bisa naik sepeda kamu tidak bisa ikut Ebtanas. Kalau tidak ikut
Enbatanas, tentu saja tidak akan lulus. Jadi kalau mau lulus harus
bisa naik sepeda. Kok bisa begitu ? Begini ceritanya.
Dulu
aku sekolah di MI Tedunan..Waktu itu Ebtanasnya tidak diadakan di
Tedunan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Ebtanas MI Tedunan bergabung
dengan MI Mutih Kulon. Jadi pada waktu Ebtanas, setiap pagi Kami
harus bersepeda ke Mutih Kulon. Asyik juga bersepeda bersama,
melewati dukuh Godang dan Kemantren dan akhirnya sampai di Mutih
kulon.
Begitulah
ceritanya. Jadi semua murid kelas 6 saat itu jauh-jauh sebelum
Ebtanas sudah berlatih naik sepeda. Kalau tidak bisa naik sepeda…..ya
repot. Mau jalan kaki dari Tedunan sampai Mutih ? Mau mbonceng ?
kasihan yang mengayuh. Itu dulu……..sekarang tidak lagi.
Meluncur dari atas tanggul
Namanya
mahesa. Teman-teman memanggilnya Sang Pembalap. Mahesa memang suka
naik sepeda. Seringkali dia mengayuh cepat sekali seperti pembalap.
Dia tidak peduli orang lain. Kemarin dia menabrak anak ayam. Mati.
Pernah juga hampir menabrak nenek-nenek yang mau menyebrang jalan.
Bahkan Mahesa sudah dua kali tercebur ke sungai bersama sepedanya,
tapi dia belum juga kapok.
Seperti
biasanya, Sore ini Mahesa keluar rumah dengan sepedanya. Dia langung
menggayuhnya keras-keras. Sepeda naik ke atas tangggul. Mahesa akan
meluncur dengan sepedanya dari atas tanggul melewati jalan menurun
yang terjal itu. Mahesa Ambil nafas. Satu….., Dua….., Tiga.!
Mahesa mengayuh sekuat tenaga. Speda meluncur cepat sekali turun ke
jalan, dan……Mahesa terus mengayuhnya……Awas !!! Mahesa
terkejut. Tiba-tiab ada dua ekor kambing menyebrang jalan. Mehesa
gugup. Karena takut Sang kambing berlari-lari di tengah jalan. Mahesa
semakin panik dia mencoba menghindari kambing tapi …..Bruk !!
Mahesa menabrak pagar.
Mbek…..
kambing itu terus berlari. Mahesa merintih kesakitan. Kaki dan
tanganya terluka. Giginya copot satu. Sepedanya rusak. Rodanya
bengkok.
MERCON
Entah siapa namanya. Teman-temannya memanggil dia “Singa”. Dia
memang pemberani. Tidak pernah takut seperti singa. Singa tidak
takut petasan. Setiap bulan puasa Singa membuat petasan banyak
sekali. Petasannya besar-besar. Kalau membunyikan petsana, Singa
tidak mau meletakkan di tanah. “tidak puas” katanya. Tanpa takut
Singa memegang petasan dengan tangan kanan. Tangan kirinya menyulut
sumbunya dengan bara. Ketika nyala sumbu hampir masuk ke dalam
petasan barulah petasan itu di lempar ke udara, dan………..DOR !!!
Petasan meledak di atas. Serpihan-serpihan kertas berhamburan. Turun
dengan indah seperti semburat kembang api. Asyik sekali. Singa
membunyikan petsan lagi. Satu lagi. Dan satu lagi.
Sayanng
sekali. Sungguh sayang sekali. Ketika Singa menyulut sumbu petasan
yang kesekian kali, petasan itu meledak sebelum sempat dilempar ke
udara. Singa terkejut. Telinganya berdenging. Jari-kari tangan
kanannya sobek-sobek. Baju barunya juga sobek-sobek di bagian dada.
Dadanya sendiri terluka. Tidak banyak darahnya tapi kulit itu seperti
habis terbakar. Nafas Singa terengah-engah. Mulutnya merintih pelan.
Untung
sekali. Sungguh untung sekali. Adiknya segera menolong. Singa
dituntun masuk rumah dan dibaringnkan di bale. “Minum dulu. Biar
tenang.” Kata ibunya. Adikany mengipasi luka itu. Aduh kasihan
sekali.
Lima bersaudara dalam satu sepeda
Catur
punya empat orang saudara. Kak Eko, Kak Dwi, Mbak Tri, dan Dik Panca.
Mereka mempunyai sepeda bagus. Semua suka bersepeda. Waktu itu
kebetulan Mereka ingin bersepeda semua padahal sepeda Mereka hanya
satu. Sepeda Mereka tidak ada tempat membonceng. Akhirnya Mereka
rebutan. Tidak ada yang mau mengalah. Tapi akhirnya Mereka sepakat
untuk bersepeda bersama.
Ya.
Mereka berlima akan menaiki sebuah sepeda. Satu sepeda dinaiki orang
lima. Kak Eko duduk di sadel. Dia yang akan mengayuh dan mengemudi.
Mbak Tri duduk di sadel juga. Di belakang Kak Eko. Dia berpegangan
erat pada badannya. Kak Dwi berdiri di atas as roda belakang.
Tangannya berpegangan pada punggung Mbak Tri. Catur berada di paling
depan. Ya. Catur duduk di atas stang. Dik Panca duduk di atas pipa di
belakang Catur. Tangannya berpegangan pinggang Catur.
Semua
sudah siap. Kak Eko mulai mengayuh pidal. “Berat sekali.”
Katanya. Baru jalan sedikit sepeda roboh. Mereka tertawa. Ha ha ha
ha. Mereka coba lagi. Jatuh lagi. Coba lagi.
“Semua
harus tenang.” Kata Mbak Tri.
“Tidak
boleh bergerak.” Tambah Kak Dwi.
“Satu…..,
Dua……, Ti….ga ! “ Catur memberi aba-aba.
Kak Eko
mengayuh sekuat tenaga. Tangannya mengendalikan stang agar sepeda
tidak roboh.
“Hore…!!”
teriak Dik Panca.
Sepeda
berjalan satu meter. Dua meter. Tiga meter. Dan…..akhirnya roboh
lagi ke tanah. Mereka tertawa gembira. Gembira sekali bias bersepeda
berlima. Ya lima bersaudara.
Sepeda Roda Tiga
Siapa
sih yang tidak bisa naik sepeda. Apalagi sepeda roda tiga yang kecil.
Aku yakin teman-teman semua bisa. Sekarang aku mau terus terang.
Sebenarnya dulu aku tidak bisa.Aku sudah tidak ingat kejadian itu.
Ini cerita dari bibiku. Katanya dulu ketika masih kecil aku tidak
bisa naik sepeda roda tiga yang keci itu padahal tema-teman sebayaku
sudah bisa. Aku tidak bisa mengayuh atau mengontel. Kalau mau
mengayuh kedua kakiku maju semua sehingga roda tidak mau berputar.
Memang lucu. Ngontel sepeda roda tiga saja tidak bisa. Yah itulah aku
saat kecil. Sekarang aku sudah bisa naik sepeda besar. Ayo siapa
berani balapan denganku.
Katak Sungai
Aku
katak sungai
atau
kodok kali.
Waktu
hujan aku senang sekali.
Berenang
kesana kemari.
Menari-nari.
Asyik
sekali.
Tapi…….
Mengapa
tiba-tiba angin bertiup kencang. Udara menjadi sangat dingin. Aku
menggigil. Aku berlindung di bawah jembatan. Terlihat petir
menyambar. Terdengar guntur menggelegar. Aku takut sekali. Oh kemana
ayah dan ibu pergi. Eh aku katak sungai. Aku kodok kali. Tidak perlu
takut angin ribut, suara guntur, dan kilat petir.
Minta apa sayang…..?
Si Beo menangis keras sekali.
- Hua hua hua
- Ada apa sayang ?
- Mengapa Ani dibelikan baju baru ?
- Sebentar lagi kan Lebaran…sayang.
- Mengapa si meja di belikan taplak baru ?
- Untuk menyambut tamu, sayang.
- Mengapa aku tidak……
- Jangan kuwatir, sayang . Ini kalung baru untuk si Beo sayang.
- Aku tidak mau Hua hua
- Lalu…..Beo ingin apa ?
- Aku ingin rumah lama
- Rumah lama ?
- Ya. Rumahku yang dulu.
Ooooo
BAL !!
Sepak
bola
Bola
melambung
Bolabolabolabo
Oper
bola
Bola
menggilinding
Bolabalo
lobalabo
Tendang
bola
Bola
melayang
Booooooooola
Tangkap
bola
Bola
lepas
GOOOOOOOL
ADIKKU PINTAR
aku bodoh
Adikku
pintar.
Kadang
membuatku bingung.
Adikku
suka bertanya.
“Kak,
ini apa?”
Ini
buku.
Buku
terbuat dari apa ?
Dari
kertas.
Kertas
dari apa ?
Dari
kayu.
Kayu
dari apa ?
Dari
pohon.
Pohon
dari apa ?
“Kakak
tidak tahu, Dik.”
Ayo
siapa yang tahu.
Pohon
terbuat dari apa ?
Flamboyan.
Flamboyan
Bungamu
indah
Memerah
di antara hijau muda
Angin
dingin menabur titik-titik air
Gerimis
Desember
Flamboyan
Batangmu
gagah
Memayung
megah
Dedaun
mungil bergerak-gerak
Menaungin
gadis kecil mengigil
Berteduh
di bawahmu
Waktu
Jarum
jam terus bergerak
Matahari
tak pernah berhenti
Waktu
berlalu
Tak mau
menunggu
Tiada
jeda.
Tida
terlena
Mengapa
kau tak mau
Menungguku
sebentar saja.
Lebaran
Ini
hari
Hari
suci
Kuminta
dari dalam hati
Sudilah
kawan
Maafkan
kesalahan
Pagiku
Bangun
pagi
Mandi
Gosok
gigi
Sarapan
nasi
Berangkat
sekolah
Pamit
ayah
Pamit
ibu
‘tuk
cari ilmu
Kemarau
Angin
bertiup
Debu
berterbangan
Rerumputan
menguning,
Kering,
mati.
Sungai
kering,
Tiada
air mandi.
Begitulah............
Kemarau
Di
desaku
KERING
Kambingku
menangis merengek minta minum
Tak ada
air. Sabarlah…….
Mari berjalan ke timur sana
Siap
tahu masih ada seteguk air untukmu
Kambingku
mengembik serak
Mbek……..mbek…….
Rindu
rumput hijau
Rerumputan
menangis
Kurus
kering kuning
Sekarat
Tapi ia rela dimakan kambing
Rumput
bangga;
Walau
dalam sekarat, masih bisa mengganjal perut kambing
Kambingku
menangis
Rerumputan
menangis
MELATI
Melati.
Namamu sebuah puisi
Tubuhmu
harum, semerbak mewangi
Dalam
kelopakmu, aku ingin menari
Berbaring
berguling-guling
di atas
pemadanimu
Putih
bersih memantulkan sinar mentari
Melati….
Bolehkah
pagi ini kucium wangimu ?
IJINKAN
AKU SEKOLAH
Bapak
bilang
Kau tak
usah melanjutkan ke MTs
Adikmu
juga besok masuk MI
Adikmu
yang satu lagi besok masuk TK
Semua
butuh duit
Kau
sudah besar
Bantu
Bapak cari ikan
Cari
makan untukmu dan adik-adikmu
Jangan
iri pada yang kaya
Bapak…..
Ijinkan
aku sekolah lagi
Kan ku
Bantu cari ikan
Cari
nasi
Cari
makan
Tapi…..
Ijinkan
aku sekolah
Semangka
Mengunyah
semangka merah
Hilangkan
dahaga dan lelah
Semangka
merah
Renyah
murah meriah
Pantun
Kembang
melati di taman asri
Angin
semribit semakin nyaman
Makan roti jangan sendiri
Bagi sedikit sesama teman
Pagi-pagi
mencuri pisang
Tapi
sial kena perangkap
Maksud hati mencari senang
Hati menyesal karena tertangkap
Kalau
rumah abang jauh di sana
Beri
saya kabar berita
Kalau sudah pegang pena
Mari kita tulis cerita
Kalau
tuan beli tahu
Jangan
campur buah kedondong
Kalu tuan belum tahu
Jangan malu bertanya, dong !
Komentar