Hari masih pagi. Siti bangun tidur. Dia masih ingat cerita ibu tadi malam. Cerita tentang penyihir dan sapu terbang. Ya, sapu yang bisa terbang. Siti ingin naik sapu terbang. Melayang-melayang di langit. Berputar-putar di atas atap rumah.
Siti
berjalan ke luar kamar. Di ruang tengah, ayah sedang menyapu. Siti
melihat sapu itu bergerak maju mundur. Di lantai ada kertas, bungkus
permen, batang korek api, dan debu. Sampah-ampah itu dikumpulkan
dengan sapu lalu didorong ke dalam sekop. Selesai menyapu, Ayah pergi
ke dapur. Siti bertanya dalam hati, “Mengapa ayah tidak terbang
dengan sapu itu?”
Siti
mengambil sapu itu. Menyeretnya ke halaman. Tangannya memegang
tangkai sapu. Dia berdiri di atas rambut sapu. “Ayo terbang.”
Siti berpengangan pada tangkai sapu. Kuat sekali. Dia takut jatuh.
“Enak juga naik sapu”. Siti melihat langit. Dia ingin terbang ke
atas sana. Tangkai sapu ditarik ke atas. “Mengapa sapu ini tidak
bisa terbang tinggi? Mungkin aku harus terbang ke atas atap rumah.
Istirahat di atas atap sebentar kemudian terbang lagi ke langit.
Siti
melihat burung terbang di langit. Ada yang putih ada yang hitam.
Burung-burung terbang melayang-layang dan berputar. Di atas pohon
nangka itu ada burung. Siti mendengar kicaunya.”Selamat pagi,
Burung. Boleh Aku bertamu ke rumahmu? Kamu sudah sarapan?” Burung
itu berkicau sambil melompat-lompat. Siti memutar tangkai sapu.
Sekarang sapu menghadap ke pohon nangka. “Ayo kita terbang ke rumah
burung itu.” Burung masih berkicau.
Siti
melihat sapu terbangnya. “Mengapa kamu tidak bisa terbang cepat?
Ayo tolong aku. Antarkan aku ke rumah burung itu. Dia sedang sarapan
bersama keluarganya.” Siti menarik tangkai sapu keras sekali.
Klak
! Tangkai sapu patah. “Kau kenapa, Sapu? Oo. Kalau begini, Kau
harus dibawa ke bengkel. Tapi dimana bengkel sapu terbang?”
Budi
lewat di jalan. Dia sedang lari pagi bersama
bapaknya. Siti berteriak “Budi!” Budi menoleh. Bapaknya juga.
Mereka menghampiri Siti. Bapak Budi masuk ke rumah. Budi menemui
Siti. Siti menunjukkan sapunya kepada Budi. Sapu itu patah menjadi
dua. “Ayo kita perbaiki.”
Budi
mencari tali. Siti memegangi sapu. Budi mengikatnya dengan tali.
Jadi. Sapu tersambung tembali. Siti senang sekali. “Sekarang bisa
terbang lagi. Ayo, Budi kita naik sapu ini. Kita terbang ke rumah
burung itu.” Siti menunjuk ke atas pohon nangka. “Kau berdiri di
belakangku. Aku yang jadi pilotnya.” Mereka berdua berdiri di atas
rambut sapu. Siti memegang tangkai sapu. “Awas pegangan!” Budi
pegangan pada pundak Siti.
“Siti...
Sapu ini tidak bisa terbang.”
“Rusak
sih.”
“Sapu
memang tidak bisa terbang. Yang bisa terbang itu burung. Lihat itu!”
Budi menunjuk burung merpati. Burung merpati terbang dari atas atap.
Dia hinggap di tanah lalu terbang lagi.
“Siti,
kalau mau terbang, jadi burung saja.”
“Mengapa
?”
“Burung
bisa terbang. Sapu tidak bisa.”
“Kalau
sapu terbang? Sapu terbangnya penyihir bisa terbang lho.”
“Siti
mau jadi penyihir?”
Siti
geleng-geleng.
“Ayo
kita jadi burung.”
Siti
dan Budi mencari daun. Daun untuk sayap. Daun bunga matahari ? Ah
terlalu kecil. Kurang besar untuk sayap. Daun nangka? Kurang besar.
Daun..... daun pisang. Ya daun pisang. Siti lari ke dalam rumah. Budi
ikut.
“Bu,
tolong ambilkan daun pisang?”
“Untuk
sayap.”
“Sayap?
“ mata ibu terbelalak.
“Siti
mau terbang seperti burung.”
Ibu
mengangguk-angguk.
“Daun
pisang tidak kuat untuk terbang. Mudah sobek.”
“Lalu
pakai daun apa, Bu?”
“Kalau
mau terbang, ya naik pesawat terbang?”
“Kalau
naik sapu, bisa?”
“Sapunya
bisa terbang?”
Mereka
diam. Budi menggaruk-garuk kepala. “Bisa.” Jawab Budi sambil
berlari ke halaman. Siti ikut. Ibu ikut juga.
Budi
mengambil sapu. “Sapu ini bisa terbang. Lihat....” Budi melempar
sapu ke atas. Sapu melayang tapi hanya sebentar. “Bisa terbang
kan?”[]
Cerita anak ini saya awalnya saya buat untuk diikutsertakan dalam lomba menulis cerita anak yang diselenggarakan oleh sebuah pre school di Solo. Saat itu ada ketentuan pada nama tokohnya (bukan Budi dan Siti). Alhamdulillah menang sebagai juara I dan dapat hadiah tabungan 2 juta. Mungkin ini sebuah keberuntungan yang sedang berpihak padaku saat itu.
Komentar