Selamat tinggal, Pak Guru.
Cerita anak oleh Faiq Aminuddin
Kulihat Amin sendirian di tepi perempatan jalan. Dia duduk di atas
batu, di bawah pohon Prayudan. Diam seperti patung. Seharusnya jam
sekian, dia sudah mandi, memakai seragam dan berangkat sekolah
seperti aku. Dia temanku di kelas lima. Aku tidak tahu mengapa dia
tidak berangkat sekolah. Waktu aku melewatinya aku ingin bertanya
tapi tidak berani.
Sepertinya dia sedih sekali. Mungkin dia tidak mau berangkat sekolah
karena tidak diberi uang saku. Ah tidak mungkin. Setahuku Amin tetap
berangkat sekolah walaupun tidak diberi uang saku. Dia pernah cerita
bahwa dia memang jarang sekali diberi uang saku. Makanya waktu
istirahat dia lebih sering di dalam kelas, tidak jajan seperti
teman-teman yang lain. Biasanya, dia mencatat buku pelajaran. Dia
sebenarnya punya buku IPS dan IPA, bekas kakaknya dulu. Tapi buku itu
sudah tidak dipakai lagi. Kata pak guru, kurikulumnya sudah ganti.
Buku itu sudah tidak cocok lagi. “Silahkan beli buku baru yang
seperti ini,” kata pak guru sambil menunjukkan buku yang dimaksud.
“Kalau tidak mau beli, boleh fotokopi. Kalau tidak mau fotokopi, ya
harus mencatat,” lanjutnya.
Dulu, Amin sering meminjam bukuku. Dia mencatat di waktu istirahat
atau di rumah. Ya, mungkin Amin tidak berangkat sekolah karena belum
mencatat bab yang akan diajarkan hari ini. Kalau semua buku pelajaran
dicatat, tentu tangan Amin capek sekali.
Mungkin, Amin tidak berangkat sekolah karena takut dimarahi bendahara
sekolah lagi. Dua hari yang lalu Amin dipanggil bendahara sekolah.
Kata Amin, Dia belum bayar SPP tiga bulan. Amin sudah berkali-kali
minta pada ibunya. Ibunya bilang tidak punya uang. Amin tidak berani
minta pada bapaknya. Bapaknya suka marah-marah. Amin pernah dihajar
dengan cambuk.
Sore itu Amin sedang asyik bermain layang-layang. Dari kejauhan
bapaknya berteriak “Sudah tahu waktunya menggembala, kok malah
main-main.” Bapaknya membawa cambuk. Amin takut. Amin lari.
Layang-layang ditinggal sehingga tersangkut di pohon randu. Bapaknya
mengejar dan mencambuk kakinya. Amin menangis. “Hush. Anak
laki-laki kok cengeng. Sana! urus kambingmu!” bentak bapaknya
sambil melemparkan cambuk ke arah Amin lalu pergi.
Kasihan Amin, tapi dia memang jadi anak yang tidak cengeng dan
penakut. Amin jarang sekali menangis. Tapi pagi ini Amin terlihat
sangat sedih.
Mungkin Amin tidak berangkat sekolah karena pagi ini dia harus
menggembala kambing. Biasanya setelah pulang dari laut dan istirahat
sebentar, bapaklah yang mengembala kambing. Tapi sekarang bapaknya
sakit. Tadi malam, ibuku menjenguknya. Kata ibu, bapak Amin keracunan
ikan.
Aku hanya bisa berdoa; semoga lekas sembuh walaupun hanya diobati air
kelapa hijau. Bapak Amin tidak mau dibawa ke dokter. Bapak Amin tidak
punya uang dan dia tidak mau merepotkan orang lain.
Aku merasa kasihan pada Amin. Tapi…. Apa yang bisa kulakukan?
Kuhentikan langkahku. Aku merasa harus menghibur Amin. Aku akan
berusaha membuatnya tersenyum.
Hari ini ibu memberiku bekal; ketela rebus. Mungkin Amin belum
sarapan. Mungkin dia mau memakan ketela ini bersamaku.
***
“Mengapa kamu terlambat?” tanya pak guru ketika melihatku akan
masuk kelas.
“Em… Tadi saya bertemu Amin, Pak. Lalu kami makan ketela bersama.
Kasihan, Pak. Dia belum sarapan,” jawabku agak takut.
“Mana, Amin? Kok tidak masuk?”
“Mungkin menggembala kambing di lapangan, Pak.”
“Mengapa kamu tidak ikut saja. Tidak usah sekolah, jadi penggembala
kambing saja….”
Aku tidak suka pak guru berkata seperti itu. “Ya, Pak. Saya mau
ikut Amin ke lapangan,” kataku kesal. Aku keluar kelas. Dan
ternyata teman-temanku juga ikut keluar semua. Kami beramai-ramai
pergi ke lapangan. Kami tingalkan pak guru di kelas sendirian. Kami
bermain di lapangan, bersama teman-teman, bersama Amin dan
kambing-kambingnya.[]
Komentar