BOLARINA
Oleh
Faiq Aminuddin
crita anak ini dulu saya kirim k Lomba Mengarang Cerpen Anak oleh Guru yang dislnggarakan oleh majalah Bobo. Alhamdulillah tidak mnang tapi beberapa bulan kemudian dimuat di majalah Bobo.
ini adalah Cerpen Anakku yang pertama kali dimuat di majalah.
Namaku
Satria. Dwi Satria lengkapnya. Kakakku Rina. Arina Kamal nama
lengkapnya. Aku kelas tiga dan Kak Rina Kelas lima. Kami berdua suka
bola.
Hampir
setiap senja aku dan teman-teman bermain bola. Ada David, Vido, Dodi,
Dika, Kazuma, Mario, Okto, Thomas, Masrozi, Zidan, dan aku sendiri,
Satria. Sebelas jumlahnya. Kami semua kelas tiga SD Nusantara. Kami
bermain bola di halaman SD Nusantara. Tentu saja kami minta ijin dulu
pada Pak Penjaga.
Suatu
senja pada hari Selasa. Seperti biasa, kami bermain bola. Sebelas
orang dibagi dua. Lima lawan lima. Satu orang tersisa. Mario namanya.
Jadi wasit tugasnya. David satu tim dengan Vido, Dodi, Dika, dan
Kazhuma. Sedangkan Okto, Thomas, Masrozi, Zidan, satu tim denganku;
Satria.
Kak
Rina datang dan bertanya “Boleh aku ikut bermain bola?” Aku tidak
menjawabnya. Si David Gundul sedang menggiring bola. Seperti kuda
larinya. Kaki kiri andalannya. Selalu gol tendangannya. Sudah lima
kali gawangku dibobol dia. “GOL!” teriak Dika dan kawan-kawannya.
Mario pun meniup peluitnya.
Kak
Rina kembali bertanya “Hai, bolehkah aku ikut bermain bola?” Aku
segera menjawabnya, “Tidak boleh, Kak Rina.” Menurutku Kak Rina
terlalu tua.
Kak
Rina menganggukkan kepala lalu menuju ke bawah pohon mangga. Dia
sibuk membaca buku sambil menonton kami bermain bola.
David
datang lagi dengan menggiring bola. Kali ini aku harus lebih waspada.
Aku harus dapat membendung serangannya. Telapak tangan
kugosok-gosokan pada kain celana. David menendang bola. Bola melayang
ke arah kepala. Aku berusaha menangkapnya. “GOL!” Sudah lima kali
gwangku dibobolnya. Aku malu tiada terkira. Aku ingin pulang segera,
tapi Okto sungguh keras kepala. Okto ingin membuktikan kehebatannya.
Okto ingin membalas kekalahannya. “Satu gol saja,” katanya.
“Baru
jam lima,” kata Mario sambil menunjukkan jam tangannya.
“Ayo
kita pulang semua,” kata Kak Rina. “Jangan pulang terlalu senja
agar tidak diomeli orang tua.” Akhirnya, kami pulang lebih awal
dari biasanya.
Malam
telah tiba. Di TV ada siaran langsung pertandingan bola. Aku ingin
menontonnya.
“Belajar
dulu, Satria...” kata Kak Rina. Aku malas belajar apalagi ada PR
IPA.“PRnya sangat sulit, Kak Rina.”
“Ayo
kita kerjakan PR bersama,” ajak Kak Rina. “Setelah itu kamu boleh
nonton Bola.”
Kak
Rina sangat suka nonton bola. Tapi kalau malam, Kak Rina tidak mau
menontonnya. “Daripada begadang nonton bola, lebih baik tidur
sehingga stamina tetap prima.” Begitulah semboyan Kak Rina.
Rabo
sore telah tiba. Kedua jarum jam menunjuk angka tiga. Aku segera
memakai kaos dengan gambar garuda di dada. Tapi Kak Rina lebih suka
memakai seragam olahraga SD Nusantara. Tiba-tiba angin datang entah
dari mana. Angin menggiring mendung yang sangat hitam warnanya. Hujan
pun turun dengan segera. Bergemuruh suaranya.
“Satria....
,” terdengar teriakan Dika. Kubuka jendela dan kujulurkan kepala.
Hujan belum reda. Rambut di kepalaku jadi basah semua. Melihatku,
Dika malah tertawa dan melempar bola. “Tangkap bolanya,” teriak
Dika sambil memamerkan giginya. Sepertinya memang asyik hujan-hujanan
sambil main bola. “Kak Rina, Ayo main bola!” teriakku gembira.
“Nanti
saja, kalau hujan sudah reda,” jawab Kak Rina sambil menutup
jendela. Maaf, Kak Rina, aku lupa menutupnya. Kak Rina memanggil
Dika. “Kita main bola di rumah saja,” ajak Kak Rina. “Buat apa
olah raga tapi malah masuk angin badan kita?”
Sambil
menunggu hujan Reda, Kak Rina mengajari kami bermain bola di atas
meja. Selembar kertas dibentangkan di atas meja. Lapangan bola
digambar dengan pena. “Ini Satria,” kata Kak Rina sambil
menggambar lingkaran kecil dengan pensil warna. Merah warnanya. Di
depan gambar gawang posisinya. “Ini Dika.” Kak Rina menggambar
lingkaran lagi di depan gawang satunya. Hijau warnanya.
Selanjutnya
Dika diminta membuat empat lingkaran sebagai gambar posisi
teman-temannya. Satu persatu lingkaran diberi nama; David, Vido,
Dodi, dan Kazhuma. Hijau warnanya.
Dan aku membuat empat lingkaran juga. Merah warnanya. Kak Rina
tertawa “Jangan digambar di tengah semua.” Kak Rina usul agar
Okto, Thomas, Masrozi, dan Zidan posisinya disebar merata.
“Tapi,
biasanya mereka memang selalu bersama. Mereka selalu mengejar bola
bersama-sama. Bahkan kadang berebutan dengan teman satu timnya,”
kata Dika.
“Mungkin
itu yang membuat mereka selalu kalah setiap main bola.”
“Bolanya
mana?” tanya Dika.
“Ini
bolanya,” jawab Kak Rina sambil meleatkkan ujung pensil pada
Kazuma. Jari telunjuk kiri diletakkan di atas pangkal pensil warna.
Jari telunjuk kanan dijentikkan untuk menendang ujung pensil ke arah
David yang berada di depannya. Dari David, ujung pensil ditendang
sekeras-kerasnya. Menuju gawangku arahnya. Sungguh lega rasanya
karena gol gagal tercipta. Ujung pensil menabrak Zidan yang di
sebelah depan-kanan gawang posisinya.
Sekarang
giliranku untuk memainkan bola. Dari lingkaran Zidan, ujung pensil
kutendang sekeras-kerasnya. Menuju Masrozi arahnya. Kepada Thomas,
Masrozi mengoper bola. Kepada Okto, Thomas mengoper bola. Dan
akhirnya .... Okto menendang bola sekuat tenaga. Menuju gawang Dika
arahnya. Hampir saja gol tercipta. Sayang sekali, ujung pensil malah
menabrak lingkaran Dika. Mungkin kurang ke kanan arahnya.
“Hujan
sudah reda,” kata Kak Rina.
Kami
pun berangkat bersama. Ternyata di halaman SD Nusantara belum ada
siapa-siapa.
“Satria,
coba tangkap tendanganku,” ajak Kak Rina. “Biasanya David
menendang bola dengan kaki kirinya, ke arah sebelah kiri kepala.”
Berkali-kali
Kak Rina menendang bola. Meniru tendangan David gayanya. Aku berlatih
menangkapnya. Dan akhirnya aku dapat menangkapnya. Tiga kali lagi Kak
Rina menendang bola. Dan aku selalu dapat menangkapnya.
Akhirnya
teman-teman datang juga. Hanya Mario yang tidak ada. Maka Kak Rina
yang jadi wasitnya. Tapi Kak Rina lebih cocok jadi pelatih bola.
“Ah.... terlalu banyak teori dan komentarnya,” keluh David dan
Kazuma.
“Kalau
begitu aku minta maaf pada kalian semua. Tapi permainan sepak bola
memang ada banyak teorinya,” sahut kak Rina.
Jam
lima tepat. Kak Rina mengajak pulang kami semua. “Jangan pulang
terlalu senja agar kita tidak diomeli orang tua.”
Komentar