Berikut kumpulan fikih puasa atau tata cara melaksanakan yang kami dapat dari kiriman pak Lukman di suatu WAG Grup. Tentu saja versi Nahdlatul Ulama';
Daftar Isi Fiqih Puasa
- Keistimewaan/Kekhususan Puasa
- Kapan Puasa Ramadlan diwajibkan?
- Hukum Orang yang Mengingkari Kewajiban Puasa Ramadlan
- Makna Shaum/Shiyaam (puasa)
- Dalil Kewajiban Puasa Ramadlan
- Puasa Ramadlan wajib dilakukan dengan salah satu dari lima hal
- Penentuan Awal Ramadlan
- Penetapan Awal Ramadlan
- Hisab tidak boleh dijadikan pedoman utama dalam menetapkan awal Ramadlan
- Perkataan Para Ulama Empat Madzhab
- Syarat Sah Puasa Ada Empat
- Syarat Wajib Puasa Ada Empat
- Rukun Puasa ada dua
- Hal-hal Penting Seputar Niat Puasa (lanjutan)
- Hal-hal yang Membatalkan Puasa
- Di antara hal yang membatalkan puasa
- Beberapa Permasalahan Seputar Hal yang Membatalkan Puasa
- Beberapa Permasalahan Seputar Hal yang Membatalkan Puasa
- Beberapa Permasalahan Seputar Hal yang Membatalkan Puasa
- Beberapa Permasalahan Seputar Hal yang Membatalkan Puasa
- Beberapa Permasalahan Seputar Hal yang Membatalkan Puasa
- Beberapa Permasalahan Seputar Hal yang Membatalkan Puasa
- Beberapa Permasalahan Seputar Hal yang Membatalkan Puasa
- Beberapa Permasalahan Seputar Hal yang Membatalkan Puasa
- Beberapa Permasalahan Seputar Hal yang Membatalkan Puasa
- Beberapa Permasalahan Seputar Hal yang Membatalkan Puasa
- Kewajiban bagi orang yang membatalkan puasa atau tidak berpuasa di bulan Ramadlan
- Yang hanya wajib qadla’
- Yang wajib qadla’ dan fidyah
- Yang hanya wajib fidyah
- Fidyah
- Yang wajib qadla’ dan kaffarah
- Hal-hal yang Disunnahkan Ketika Puasa
- Menggapai Keutamaan Lailatul Qadr
01 Keistimewaan/Kekhususan Puasa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ، الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعمِائَة ضِعْفٍ، قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلَّا الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
Maknanya: “Setiap amal baik seseorang akan dilipatgandakan, setiap kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kebaikan, Allah ta’ala berfirman (dalam hadits qudsi): “Kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu milik-Ku dan Aku langsung yang akan membalasnya, orang yang berpuasa meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku” (HR Muslim)
Hadits ini menjelaskan tentang keistimewaan ibadah puasa yang tidak dimiliki oleh ibadah-ibadah yang lain:
1️⃣ Puasa itu milik Allah, artinya puasa itu jauh dari niat riya’.
Ketika seseorang sedang berpuasa, tidak ada seorang pun yang mengetahuinya kecuali Allah dan diri orang yang berpuasa itu sendiri.
Berbeda dengan ibadah-ibadah lain yang tampak dan bisa dilihat oleh banyak orang, ibadah puasa tidaklah tampak dan tidak dapat ditampakkan kepada orang lain kecuali dengan ucapan dari pelakunya bahwa ia sedang berpuasa.
Tidak bisa dibedakan antara orang yang tidak makan karena diet dan orang yang tidak makan karena berpuasa.
Orang yang sedang berpuasa, sangat mudah baginya menyelinap ke dapur untuk makan dan minum, misalkan, lalu keluar dari dapur dan menampakkan diri seakan-akan ia masih berpuasa.
Kenapa hal itu tidak ia lakukan?.
Karena tujuannya bukan ingin mendapatkan pujian dari sesama hamba. Yang dia harapkan semata-mata hanyalah ridla Alah ta’ala.
2️⃣Dikatakan dalam hadits qudsi ini bahwa Allah-lah langsung yang akan membalas ibadah puasa.
Kenapa puasa dikhususkan sebagai ibadah yang dibalas langsung oleh Allah padahal hakikatnya Allah-lah yang membalas semua kebaikan?
Jika kebaikan yang lain disebutkan pelipatgandaan pahalanya menjadi sepuluh hingga tujuh ratus, pahala puasa adalah pengecualian.
Hanya Allah yang tahu seberapa besar pelipatgandaan pahala bagi orang yang berpuasa.
Dengan melakukan puasa, seseorang bisa jadi dibebaskan dari siksa api neraka.
Catatan:
Meskipun ibadah puasa memiliki kekhususan tertentu, perbuatan yang paling utama setelah iman adalah shalat.
02 Kapan Puasa Ramadlan diwajibkan?
Puasa Ramadlan diwajibkan pada tahun kedua hijriah.
Mulai Nabi diwahyukan pertama kali hingga tahun kedua hijriah, umat Islam belum diwajibkan berpuasa.
Itu artinya, selama 15 tahun terhitung mulai Nabi menerima wahyu yang pertama sampai tahun kedua hijriah, umat Islam belum diwajibkan berpuasa.
Nabi berdakwah di Makkah selama kurang lebih 13 tahun, setelah itu beliau diperintah berhijrah ke Madinah.
Jadi pemberlakuan syariat Islam pada waktu itu berjalan secara bertahap dan tidak diberlakukan semuanya dalam satu waktu yang sama.
Rasulullah sebelum wafatnya, berpuasa Ramadlan sebanyak 9 kali Ramadlan.
03 Hukum Orang yang Mengingkari Kewajiban Puasa Ramadlan
Puasa Ramadlan termasuk ma’luum min ad diin bi adl dlaruurah (hukum wajibnya diketahui oleh semua lapisan, baik ulama maupun orang-orang awam).
Karenanya, orang yang mengingkari wajibnya puasa Ramadlan, hukumnya kafir.
Kecuali orang yang baru masuk Islam.
Kecuali juga orang muslim, tapi ia semisal orang yang baru masuk Islam. Seperti seseorang yang tingal di daerah pedalaman yang jauh dari para ulama.
Sedangkan orang yang tidak berpuasa Ramadlan tanpa sabab syar’i (sebab yang dibenarkan oleh syariat), dan ia meyakini bahwa puasa Ramadlan wajib, maka ia tidak kafir, tapi termasuk pelaku dosa besar.
Ia wajib mengqadla’ (mengganti) puasa yang ia tinggakan.
04 Makna Shaum/Shiyaam (puasa)
Ash Shaum/ash Shiyaam (puasa) secara bahasa artinya al Imsaak (menahan diri).
Secara syara’, puasa adalah menahan diri dari seluruh yang membatalkan puasa, yang berupa makan, minum dan lain-lain mulai terbit fajar hingga terbenamnya matahari disertai niat yang dinyatakan dalam hati pada malam hari.
Referensi utama:
Irsyâd al Anâm li Ma’rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil Syarif
05 Dalil atas Kewajiban Puasa Ramadlan
1️⃣ Al Qur’an.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة: 183)
Maknanya: “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa (Ramadlan) sebagaimana diwajibkan atas umat-umat sebelum kalian agar kalian bertakwa” (QS al Baqarah: 183)
2️⃣ Hadits.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
بُنِىَ الإِسْلامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ (رَوَاهُ الْبُخَارِىُّ وَمُسْلِمٌ)
Maknanya: “Islam dibangun atas lima perkara: bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke baitullah dan puasa Ramadlan” (HR al Bukhari dan Muslim)
3️⃣ Ijma’ (kesepakatan para ulama)
06 Puasa Ramadlan wajib dilakukan dengan salah satu dari lima hal:
1️⃣ Menggenapkan hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari.
Pengamatan hilal dilakukan pada malam 30 Sya’ban setelah terbenamnya matahari. Jika hilal tidak terlihat karena mendung, maka besoknya ditetapkan sebagai tgl 30 Sya’ban dan hari berikutnya ditetapkan sebagai tgl 1 Ramadlan.
2️⃣ Bagi seseorang yang berhasil melihat hilal sendiri, bukan mendengar dari orang lain, wajib baginya untuk berpuasa pada keesokan harinya, walaupun ia seorang yang fasiq (pelaku dosa besar).
3️⃣ Berdasarkan kesaksian satu orang saksi yang adil (bukan fasiq) atau tidak diketahui sifat adilnya, yang bersaksi di hadapan hakim bahwa ia melihat hilal.
4️⃣ Berdasarkan berita dari orang yang adil ataupun fasiq, laki-laki ataupun perempuan, yang mengaku telah melihat hilal meskipun tidak bersaksi di hadapan hakim, bagi orang yang mempercayainya.
5️⃣ Dengan cara berijtihad bagi orang yang ditawan di ruangan tertutup, misalkan, yang tidak bisa mengetahui pergantian bulan karena terus menerus berlangsung baginya kegelapan sehingga ia tidak dapat membedakan antara siang dan malam.
Referensi:
- Irsyâd al Anâm li Ma'rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil asy Syarif
- Syarh Aujaz al Mukhtasharât karya Syekh Samir al Qadli
Dan lain-lain
Bersambung
07. Penentuan Awal Ramadlan
Abu Dawud meriwayatkan dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban bahwa sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radliyallahu ‘anhuma berkata:
أَخْبَرْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنِّى رَأَيْتُ الْهِلالَ فَصَامَ وَأَمَرَ النَّاسَ بِالصَّوْمِ (رواه أبو داود وصححه ابن حبان)
“Aku memberitahukan kepada Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa aku telah melihat hilal, lalu beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa” (HR Abu Dawud dan dishahihkan Ibnu Hibban)
Berdasarkan hadits ini, para ulama mengatakan bahwa dalam menentukan awal Ramadlan cukup didasarkan pada kesaksian satu orang yang adil bahwa ia melihat hilal.
Berbeda dengan penentuan awal bulan hijriah yang lain yang harus didasarkan pada kesaksian dua orang yang adil.
Referensi:
- Irsyâd al Anâm li Ma'rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil asy Syarif
- Syarh Aujaz al Mukhtasharât karya Syekh Samir al Qadli
Dan lain-lain
Bersambung
8. Penetapan Awal Ramadlan
Jika Qadli (Hakim/Penguasa) menetapkan awal Ramadlan berdasarkan SALAH SATU dari dua hal:
1️⃣ Kesaksian satu orang yang adil bahwa ia melihat hilal pada malam 30 Sya’ban.
2️⃣Menggenapkan hitungan bulan Sya’ban menjadi 30 hari karena mendung dan hilal tidak berhasil dilihat.
Maka wajib bagi penduduk daerah itsbat (penetapan awal Ramadlan) untuk berpuasa, begitu pula daerah-daerah di sekitar daerah itsbat yang sama mathla’ (terbit dan terbenamnya matahari).
Ini adalah pendapat Imam Syafi’i.
Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, jika telah tetap penetapan awal Ramadlan di satu daerah, maka wajib bagi seluruh penduduk daerah di semua belahan dunia yang mengetahui penetapan tersebut untuk berpuasa.
⚠️Jadi jangan kaget dan heran, jika ada seseorang di Indonesia yang berpuasa awal Ramadlan berdasarkan hasil rukyatul hilal di Makkah. Karena bisa jadi dia mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah.
Namun pada umumnya masyarakat Indonesia menganut madzhab Imam Syafi'i sehingga pemerintah menyelenggarakan sidang itsbat pada malam 30 Sya'ban bersama ormas-ormas Islam.
Dalam sidang itsbat tersebut akan menerima laporan hasil pengamatan hilal dari berbagai titik lokasi rukyatul hilal di Indonesia.
Referensi:
- Irsyâd al Anâm li Ma'rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil asy Syarif
- Syarh Aujaz al Mukhtasharât karya Syekh Samir al Qadli
Dan lain-lain.
Bersambung
09 Hisab tidak boleh dijadikan pedoman utama dalam menetapkan awal Ramadlan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَصُومُوا ثَلَاثِينَ يَوْمًا (رواه أحمد ومسلم والنسائي وابن ماجه)
Maknanya: “Jika kalian melihat hilal Ramadlan maka berpuasalah, dan jika kalian melihat hilal Syawal maka berhari rayalah, dan jika hilal terhalang mendung maka berpuasalah 30 hari” (HR Ahmad, Muslim, an Nasa’i dan Ibnu Majah)
Dalam riwayat al Bukhari, beliau bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُبي عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلاَثِينَ (رواه البخاري)
Maknanya: “Berpuasalah kalian karena melihat hilal, dan berhari rayalah karena melihat hilal, jika hilal tidak terlihat maka sempurnakan hitungan Sya’ban menjadi 30 hari” (HR al Bukhari)
Dalam riwayat lain dalam Shahih Muslim, beliau bersabda:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمِّيَ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلَاثِينَ (رواه مسلم)
Maknanya: “Berpuasalah karena melihat hilal dan berhari rayalah karena melihat hilal, jika hilal terhalang mendung, maka sempurnakanlah bulan menjadi 30 hari” (HR Muslim)
Berdasarkan hadits-hadits tersebut, maka penentuan dan penetapan awal Ramadlan hanya boleh dilakukan dengan salah satu dari dua metode:
1️⃣Rukyatul Hilal (Melihat Hilal)
2️⃣Menggenapkan Sya’ban menjadi 30 hari jika hilal tidak terlihat pada malam 30 Sya’ban
Catatan Penting:
⛔Hisab (hitung-hitungan) tidak boleh dijadikan pedoman utama.
Referensi:
- Irsyâd al Anâm li Ma'rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil asy Syarif
- Syarh Aujaz al Mukhtasharât karya Syekh Samir al Qadli
- Anwâr al Îmân fî Syahr al Ihsân Ramadân karya Syekh Salim Alwan
Dan lain-lain.
Bersambung
10. Perkataan Para Ulama Empat Madzhab
Bahwa Hitungan Hisab/Falak Tidak Boleh Dipedomani Dalam Penentuan Awal Ramadlan
1️⃣ Madzhab Hanafi
Dalam kitab Radd al Muhtar ‘ala ad Durr al Mukhtar karya Ibnu ‘Abidin (w. 1252 H), 3/354:
لَا عِبْرَةَ بِقَوْلِ الْمُؤَقِّتِينَ فِي الصَّوْمِ أَيْ فِي وُجُوبِ الصَّوْمِ عَلَى النَّاسِ بَلْ فِي الْمِعْرَاجِ لَا يُعْتَبَرُ قَوْلُهُمْ بِالْإِجْمَاعِ، وَلَا يَجُوزُ لِلْمُنَجِّمِ أَنْ يَعْمَلَ بِحِسَابِ نَفْسِهِ (حاشية رد المحتار على الدر المختار للفقيه الحنفي ابن عابدين المتوفى سنة 1252 هـ، ج 3\354)
“Tidak diperhitungkan perkataan para ahli hisab (ahli falak) dalam kewajiban berpuasa atas umat Islam, bahkan dalam kitab al Mi’raj dinyatakan bahwa perkataan mereka tidak diperhitungkan sama sekali berdasarkan kesepakatan para ulama. Dan tidak boleh bagi seorang ahli falak untuk mengamalkan hasil hisab (hitungan)nya sendiri”
2️⃣ Madzhab Maliki
Dalam kitab ad Durr ats Tsamin wa al Maurid al Ma’in karya Syekh Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad Mayyarah al Maliki (w. 1072 H), hlm. 327:
(فرع) قال الشهاب القرافي (المتوفى سنة 684 هـ) عن سند (المتوفى 541 هـ): ولو كان إمام يرى الحساب فأثبت به الهلال لم يتبع لإجماع السلف على خلافه (الدر الثمين والمورد المعين للشيخ أبي عبد الله محمد بن أحمد ميارة المالكي المتوفى سنة 1072 هـ، ص 327)
“(Cabang) asy Syihab al Qarafi (w. 684 H) mengutip dari Sanad (w. 541 H): Seandainya seorang penguasa berpegang pada hisab (ilmu hitung bulan hijriah) lalu menetapkan awal bulan hijriah dengan dasar hisab, maka tidak boleh diikuti karena kesepakatan para ulama salaf bertentangan dengannya”
Dalam kitab asy Syarh al Kabir karya Syekh ad Dardir al Maliki al Azhari (w. 1201 H), jilid 1, hlm. 462:
(لَا) يَثْبُتُ رَمَضَانُ (بِمُنَجِّمٍ) أَيْ بِقَوْلِهِ لَا فِي حَقِّ غَيْرِهِ وَلَا فِي حَقِّ نَفْسِهِ (الشرح الكبير للشيخ أحمد الدردير المالكي الأزهري المتوفى سنة 1201 هـ، ج 1\462)
“Tidaklah tetap awal Ramadlan dengan perkataan ahli falak, tidak pada orang lain dan tidak juga pada dirinya sendiri”
3️⃣ Madzhab Syafi’i
Dalam kitab Asna al Mathalib Syarh Raudl ath Thalib karya Syekh Zakariyya al Anshari (925 H), 1/410:
(وَلَا عِبْرَةَ بِالْمُنَجِّمِ) أَيْ بِقَوْلِهِ فَلَا يَجِبُ بِهِ الصَّوْمُ وَلَا يَجُوزُ وَالْمُرَادُ بِآيَةِ {وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ} [النحل: 16] الِاهْتِدَاءُ فِي أَدِلَّةِ الْقِبْلَةِ وَفِي السَّفَرِ (أسنى المطالب شرح روض الطالب للشيخ زكريا الأنصاري المتوفى سنة 925 هـ، ج 1\410)
“Tidak diperhitungkan perkataan ahli falak, maka tidak wajib dan tidak boleh berpuasa didasarkan padanya. Dan yang dimaksud ayat وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ adalah mengambil petunjuk dalam penentuan arah kiblat dan dalam perjalanan”
4️⃣ Madzhab Hanbali
Dalam kitab Kasysyaf al Qina’karya al Buhuti al Hanbali (w. 1051 H), 2/302:
(وَإِنْ نَوَاهُ احْتِيَاطًا) أَيْ صَوْمَ يَوْمِ الثَّلَاثِينَ مِنْ شَعْبَانَ (بِلَا مُسْتَنَدٍ شَرْعِيٍّ) مِنْ رُؤْيَةِ هِلَالِهِ، أَوْ إكْمَالِ شَعْبَانَ، أَوْ حَيْلُولَةِ غَيْمٍ أَوْ قَتَرٍ وَنَحْوِهِ (كَ) أَنْ صَامَهُ لِ (حِسَابٍ وَنُجُوم) وَلَوْ كَثُرَتْ إصَابَتُهُمَا ...... لَمْ يُجْزِئْهُ) صَوْمُهُ، لِعَدَمِ اسْتِنَادِهِ لِمَا يُعَوَّلُ عَلَيْهِ شَرْعًا (كشاف القناع للبهوتي الحنبلي المتوفى سنة 1051 هـ، ج 2\302)
“Jika seseorang berpuasa pada hari ke-30 Sya’ban dengan niat hati-hati tanpa dasar yang dibenarkan oleh syari’at seperti melihat hilal, menggenapkan Sya’ban menjadi 30 atau terhalang mendung atau semacamnya, yakni seperti apabila dia berpuasa dengan dasar hisab dan falak walaupun keduanya banyak benarnya......., maka tidak sah puasanya, karena dilakukan tanpa sandaran yang dapat dipedomani secara syari’at”
Intinya, hitungan hisab/ilmu falak tidak dapat dijadikan pedoman dalam menentukan awal Ramadlan.
Referensi:
- Irsyâd al Anâm li Ma'rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil asy Syarif
- Syarh Aujaz al Mukhtasharât karya Syekh Samir al Qadli
- Anwâr al Îmân fî Syahr al Ihsân Ramadân karya Syekh Salim Alwan
Dan lain-lain.
11. Syarat Sah Puasa Ada Empat:
- Islam,
Maka puasa tidak sah dilakukan oleh orang yang kafir. - Berakal,
Maka puasa tidak sah dilakukan oleh orang yang gila. - Suci dari haidl dan nifas.
Maka puasa tidak sah dilakukan oleh seorang perempuan yang sedang keluar darah haidl dan nifas. - Mengetahui waktu yang sah dilakukan puasa di dalamnya.
Maka puasa tidak sah dilakukan pada hari yang diragukan apakah ia termasuk bulan Sya’ban ataukah Ramadlan. Yaitu hari ketiga puluh Sya’ban, apabila terjadi sesuatu yang meniscayakan keraguan. Yakni apabila tersiar desas-desus bahwa hilal terlihat tapi tidak ada satu pun saksi yang menyatakan melihat hilal.
12. Syarat Wajib Puasa Ada Empat:
1️⃣ Islam
Maka puasa tidak diwajibkan atas orang kafir. Artinya ia tidak diperintah melakukan puasa di dunia, karena ia kafir. Meskipun di akhirat ia akan disiksa dan dimintai pertanggungjawaban kenapa ia tidak masuk Islam lalu berpuasa.
2️⃣ Taklif (baligh dan berakal)
Maka puasa tidak wajib atas anak kecil yang belum baligh dan orang gila. Akan tetapi jika anak kecil yang belum baligh telah genap berusia 7 tahun hijriah dan mumayyiz (dapat memahami pembicaraan dan menjawab pertanyaan) serta mampu untuk berpuasa, maka wajib atas walinya untuk memerintahkannya berpuasa.
3️⃣ Mampu berpuasa
Maka puasa tidak wajib atas orang yang tidak mampu berpuasa karena sakit atau tua renta.
4️⃣ Muqim
Maka puasa tidak wajib atas seorang musafir yang memulai perjalanan jauhnya sebelum terbit fajar (masuknya waktu shalat shubuh).
⛔ Sedangkan seseorang yang memulai perjalanan safarnya setelah terbit fajar, maka tidak boleh baginya untuk tidak berpuasa. Alias wajib baginya berpuasa.
Referensi:
- Irsyâd al Anâm li Ma'rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil asy Syarif
- Syarh Aujaz al Mukhtasharât karya Syekh Samir al Qadli
- Anwâr al Îmân fî Syahr al Ihsân Ramadân karya Syekh Salim Alwan
Dan lain-lain.
Bersambung.
13. Rukun Puasa ada dua:
1️⃣ Niat
2️⃣ Menahan diri dari seluruh yang membatalkan puasa.
Hal-hal Penting Seputar Niat Puasa:
1️⃣ Yang wajib adalah menyatakan niat dalam hati.
2️⃣ Melafalkan niat dengan lisan tidaklah wajib, hukumnya sunnah.
3️⃣ Jika yang dikerjakan adalah puasa wajib seperti puasa Ramadlan, qadla’ Ramadlan, nadzar atau kaffarah, maka seseorang wajib menjatuhkan (menyatakan) niat dalam hati pada waktu malam untuk setiap harinya.
Malam adalah mulai terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. Berbeda dengan puasa sunnah, maka boleh seseorang berniat pada pagi hari hingga tergelincirnya matahari (masuk waktu zhuhur) asalkan belum melakukan salah satu dari hal-hal yang membatalkan puasa.
4️⃣ Jika telah terbenam matahari, lalu seseorang berniat puasa untuk esok harinya sebelum membatalkan puasa, maka niatnya sah dan tidak perlu mengulangi niat setelah makan.
5️⃣ Ketika niat, diwajibkan ta’yin (menentukan) puasa apa yang dikerjakan, apakah puasa Ramadlan, nadzar, kaffarah ataukah yang lain.
Referensi:
- Irsyâd al Anâm li Ma'rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil asy Syarif
- Syarh Aujaz al Mukhtasharât karya Syekh Samir al Qadli
- Anwâr al Îmân fî Syahr al Ihsân Ramadân karya Syekh Salim Alwan
Dan lain-lain.
Bersambung
14. Hal-hal Penting Seputar Niat Puasa (lanjutan)
6️⃣ Menurut Imam Syafi’i, niat puasa wajib dinyatakan dalam hati setiap malam . Tidak cukup seseorang berniat di awal Ramadlan untuk sebulan penuh.
7️⃣ Sempurnanya niat puasa Ramadlan adalah:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا للهِ تَعَالَى
“Aku berniat puasa esok hari untuk menunaikan kewajiban bulan Ramadlan tahun ini dengan dilandasi keimanan dan mengharap pahala dari Allah ta’ala”
8️⃣ Sebagian ulama (dipertegas menurut imam maliki) berpendapat bahwa cukup berniat di awal bulan untuk puasa sebulan penuh dengan menyatakan dalam hatinya:
نَوَيْتُ صَوْمَ ثَلاثِينَ يَوْمًا عَنْ أداء فرض شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَة إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا للهِ تَعَالَى
“Aku berniat puasa 30 hari untuk menunaikan kewajiban bulan Ramadlan tahun ini dengan dilandasi keimanan dan mengharap pahala dari Allah ta’ala”
9️⃣ Seorang perempuan yang sedang keluar darah haidl atau nifas, jika darahnya berhenti pada malam hari sebelum masuknya waktu shubuh wajib baginya berniat puasa untuk esok hari meskipun belum mandi.
🔟 Tidak mengapa makan, minum dan berhubungan suami istri setelah niat dan sebelum terbit fajar.
1️⃣1️⃣ Jika seseorang tidur di malam hari dan belum berniat puasa hingga terbangun setelah terbit fajar, maka wajib baginya menahan diri dari semua yang membatalkan puasa sampai dengan terbenamnya matahari, dan dia wajib mengqadla’ hari tersebut di kemudian hari.
Referensi:
- Irsyâd al Anâm li Ma'rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil asy Syarif
- Syarh Aujaz al Mukhtasharât karya Syekh Samir al Qadli
- Anwâr al Îmân fî Syahr al Ihsân Ramadân karya Syekh Salim Alwan
Dan lain-lain.
Bersambung
15. Hal-hal yang Membatalkan Puasa:
Di antara hal yang membatalkan puasa:
1️⃣ Sampainya benda ke jauf melalui lubang yang terbuka.
Yang dimaksud benda adalah sesuatu yang memiliki bentuk walaupun sangat kecil, baik benda padat maupun benda cair. Bau dan rasa tidak termasuk. Terkait rasa, ada yang disertai benda walaupun sangat kecil seperti rokok, hal ini membatalkan puasa. Dan ada rasa yang tidak disertai benda sedikit pun, dan inilah yang tidak membatalkan puasa.
Jauf secara bahasa artinya rongga. Yang dimaksud jauf dalam pembahasan ini adalah rongga tengkorak/rongga kepala, yaitu otak dan rongga perut, yaitu lambung. Termasuk jauf adalah bagian setelah pangkal hidung dan pangkal tenggorokan (tempat keluarnya huruf هـ dan ء)
Yang dimaksud lubang yang terbuka adalah lubang mulut, hidung, telinga, qubul dan dubur.
Lubang Mata tidak termasuk.
Referensi:
▪️ Irsyâd al Anâm li Ma'rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil asy Syarif
▪️ Syarh Aujaz al Mukhtasharât karya Syekh Samir al Qadli
▪️ Anwâr al Îmân fî Syahr al Ihsân Ramadân karya Syekh Salim Alwan
▪️ Tuhfah ath Thullâb karya Syekh Zakariyya al Anshâri
▪️ Fath al Qarîb al Mujîb karya Syekh Muhammad bin Qâsim al Ghazzi
Dan lainnya
Bersambung
16. Di antara hal yang membatalkan puasa:
2️⃣ Muntah dengan sengaja. Artinya memasukkan jari atau semacamnya ke dalam mulut agar muntah, meskipun tidak ada sedikit pun muntahan itu yang kembali ke dalam jauf (lambung). Adapun orang yang muntah tidak dengan disengaja dan tidak menelan sedikit pun dari muntahannya, maka puasanya tidak batal dengan syarat ia sucikan mulutnya sebelum menelan air ludahnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ ذَرَعَهُ الْقَىْءُ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَمَنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ (رَوَاهُ الْحَاكِمُ وَالأَرْبَعَةُ)
Maknanya: “Barangsiapa yang muntah dengan tidak disengaja dalam keadaan ia sedang berpuasa, maka tidak wajib baginya mengqadla’. Dan barangsiapa muntah dengan disengaja, maka wajib baginya mengqadla’” (HR al Hakim dan al Arba’ah)
3️⃣ Jima’ (berhubungan badan) walaupun tidak mengeluarkan mani.
4️⃣ Mengeluarkan mani dengan cara onani.
5️⃣ Mengeluarkan mani dengan sebab bersentuhan kulit dengan kulit (mubasyarah).
6️⃣ Haidl.
7️⃣ Nifas.
8️⃣ Gila walaupun hanya sebentar
9️⃣ Pingsan sepanjang hari mulai terbit fajar sampai terbenam matahari.
🔟 Riddah (kufur)
Referensi:
▪️ Irsyâd al Anâm li Ma'rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil asy Syarif
▪️ Syarh Aujaz al Mukhtasharât karya Syekh Samir al Qadli
▪️ Anwâr al Îmân fî Syahr al Ihsân Ramadân karya Syekh Salim Alwan
▪️ Tuhfah ath Thullâb karya Syekh Zakariyya al Anshâri
▪️ Fath al Qarîb al Mujîb karya Syekh Muhammad bin Qâsim al Ghazzi
Bersambung
17. Beberapa Permasalahan Seputar Hal yang Membatalkan Puasa
Makan dan minum walaupun hanya sedikit membatalkan puasa.
📝 Catatan:
Makan dan minum yang membatalkan puasa adalah yang dilakukan dalam keadaan:
1️⃣Sengaja, artinya ingat sedang berpuasa.
2️⃣Mengetahui keharamannya.
3️⃣Tidak dipaksa.
Seseorang yang makan atau minum dalam keadaan lupa walaupun yang dimakan banyak, maka puasanya --baik puasa wajib ataupun sunnah-- tidak batal.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ (رواه البخاري)
Maknanya: “Barangsiapa lupa bahwa ia sedang berpuasa lalu makan atau minum, maka hendaklah ia sempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah memberikan makan dan minum kepadanya” (HR al Bukhari)
Seseorang yang sedang berpuasa lalu ia makan atau minum, dan tidak mengetahui keharamannya, maka puasanya tidak batal.
Seperti orang yang baru masuk Islam dan tidak mencukupi baginya waktu untuk mempelajari hal-hal pokok dalam bab puasa.
Juga seperti seseorang yang hidup di suatu daerah, yang jauh dari ulama. Ulama dalam pembahasan ini maksudnya adalah orang yang minimal memiliki ilmu tentang puasa.
⛔Apabila ada seseorang yang hidup di suatu daerah yang banyak ulamanya atau banyak orang yang mengajarkan ilmu tentang puasa, akan tetapi ia tidak mau belajar, lalu ia makan atau minum sewaktu berpuasa karena ketidaktahuannya mengenai keharaman hal itu, maka puasanya batal. Karena ketidaktahuannya bukan karena jauh dari ulama, tapi karena keteledorannya yang tidak mau belajar.
Seseorang yang makan atau minum karena dipaksa oleh orang lain, maka tidak batal puasanya.
Pemaksaan itu misalkan dengan ancaman akan dipukul dengan keras kalau tidak mau makan atau minum.
Dan orang yang dipaksa tahu bahwa orang yang memaksa itu tidak sedang bercanda.
Referensi:
▪️ Irsyâd al Anâm li Ma'rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil asy Syarif
▪️ Syarh Aujaz al Mukhtasharât karya Syekh Samir al Qadli
▪️ Anwâr al Îmân fî Syahr al Ihsân Ramadân karya Syekh Salim Alwan
▪️ Tuhfah ath Thullâb karya Syekh Zakariyya al Anshâri
▪️ Fath al Qarîb al Mujîb karya Syekh Muhammad bin Qâsim al Ghazzi
Bersambung
18. Beberapa Permasalahan Seputar Hal yang Membatalkan Puasa
Seseorang yang makan setelah terbit fajar karena meyakini fajar belum terbit, maka akibatnya:
1️⃣Puasanya batal
2️⃣Berdosa
3️⃣Dia tetap wajib menahan diri dari seluruh hal yang membatalkan puasa pada hari itu hingga terbenamnya matahari karena keteledorannya
4️⃣Dia wajib mengqadla’nya langsung pada hari kedua Syawal, tidak boleh ditunda
Jika seseorang berijtihad kemudian dia makan, lalu terbukti fajar telah terbit maka dia tidak berdosa, tapi puasanya batal dan wajib mengqadla’nya. Ijtihad itu seperti apabila dia berpedoman pada suara kokok ayam jago yang mujarrob (teruji selalu berkokok saat terbit fajar).
Seseorang makan sesaat sebelum terbenamnya seluruh bulatan matahari karena meyakini bahwa matahari telah terbenam, kemudian terbukti bahwa matahari ternyata belum tenggelam, maka akibatnya:
1️⃣Puasanya batal
2️⃣Berdosa
3️⃣Dia wajib mengqadla’nya langsung pada hari kedua Syawal, tidak boleh ditunda
Seseorang yang makan sesaat sebelum terbenamnya matahari tanpa udzur (tanpa sebab yang dibenarkan oleh syariat), maka akibatnya:
1️⃣Puasanya batal
2️⃣Berdosa
3️⃣Dia wajib mengqadla’nya langsung pada hari kedua Syawal, tidak boleh ditunda
Allah ta’ala berfirman:
ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ (البقرة: 187)
Maknanya: “Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam hari” (QS al Baqarah: 187)
Terbenamnya matahari adalah tanda masuknya waktu malam.
Referensi:
▪️ Irsyâd al Anâm li Ma'rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil asy Syarif
▪️ Syarh Aujaz al Mukhtasharât karya Syekh Samir al Qadli
▪️ Anwâr al Îmân fî Syahr al Ihsân Ramadân karya Syekh Salim Alwan
▪️ Tuhfah ath Thullâb karya Syekh Zakariyya al Anshâri
▪️ Fath al Qarîb al Mujîb karya Syekh Muhammad bin Qâsim al Ghazzi
Bersambung
19. Beberapa Permasalahan Seputar Hal yang Membatalkan Puasa (lanjutan)
Seseorang yang mencium bau minyak wangi, apakah batal puasanya?. Tidak, karena yang masuk ke rongga kepala melalui hidung bukanlah benda yang memiliki bentuk, tapi hanya bau.
Seseorang meminum kopi yang sangat pahit rasanya pada waktu sahur, lalu ia gosok gigi dan berkumur-kumur. Setelah shalat Shubuh, ia masih merasakan rasa pahit di lidahnya lalu ia telan, apakah puasanya batal?. Tidak, karena yang ia telan bukanlah benda yang memiliki bentuk, tapi hanya rasa.
Seseorang yang mencicipi makanan, lalu ia muntahkan kembali dan tidak ia telan, apakah puasanya batal?. Tidak, karena benda yang berbentuk –yaitu makanan—hanya ia masukkan ke dalam mulut lalu ia muntahkan kembali, dan tidak sampai ke jauf, yaitu tempat keluarnya huruf هـ dan ء
Referensi:
▪️ Irsyâd al Anâm li Ma'rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil asy Syarif
▪️ Syarh Aujaz al Mukhtasharât karya Syekh Samir al Qadli
▪️ Anwâr al Îmân fî Syahr al Ihsân Ramadân karya Syekh Salim Alwan
▪️ Tuhfah ath Thullâb karya Syekh Zakariyya al Anshâri
20. Beberapa Permasalahan Seputar Hal yang Membatalkan Puasa
Meneteskan obat mata pada mata, apakah membatalkan puasa?. Tidak, karena mata tidak termasuk manfadz maftuh (lubang terbuka) yang jika dimasuki benda yang memiliki bentuk membatalkan puasa.
Meskipun terasa di tenggorokan, tetap tidak membatalkan puasa.
Seseorang yang berjalan di jalanan yang berdebu, lalu ada butiran-butiran debu yang tertelan, apakah batal puasanya?. Tidak, karena sulit menjaga diri darinya.
Begitu juga seseorang yang melewati tukang ayak tepung. Jika sebagian dari butiran-butiran tepung itu tertelan, maka tidak membatalkan puasa karena sulit menjaga diri dari hal itu.
Seseorang yang berkumur-kumur ketika berwudlu’, lalu air yang ada di mulutnya tertelan sedikit tanpa sengaja, apakah batal puasanya?. Hukumnya dirinci:
1️⃣ Jika ia berlebihan dalam berkumur-berkumur lalu tertelan, meskipun tidak disengaja, puasanya batal.
2️⃣Jika ia berkumur-kumur dengan sewajarnya dan tidak berlebihan lalu tertelan, maka puasanya tidak batal.
Referensi:
▪️ Irsyâd al Anâm li Ma'rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil asy Syarif
▪️ Syarh Aujaz al Mukhtasharât karya Syekh Samir al Qadli
▪️ Anwâr al Îmân fî Syahr al Ihsân Ramadân karya Syekh Salim Alwan
▪️ Tuhfah ath Thullâb karya Syekh Zakariyya al Anshâri
▪️ Fath al Qarîb al Mujîb karya Syekh Muhammad bin Qâsim al Ghazzi
21. Beberapa Permasalahan Seputar Hal yang Membatalkan Puasa
Mencium istri bagi orang yang sedang berpuasa, apakah boleh dan tidak membatalkan puasa?
Hukumnya dirinci sebagai berikut:
1️⃣Jika tidak membangkitkan syahwat, hukumnya boleh.
2️⃣Jika dapat merangsang syahwat, hukumnya makruh.
3️⃣Jika ia khawatir akan keluar mani, hukumnya menjadi haram.
Jika tidak sampai keluar mani, maka puasanya tidak batal.
Jika keluar mani, puasanya batal.
Menurut pendapat ulama yang lain, hukumnya dirinci sebagai berikut:
1️⃣Jika tidak membangkitkan syahwat, hukumnya makruh.
2️⃣ Jika dapat merangsang syahwat, hukumnya haram.
Jika tidak sampai keluar mani, maka puasanya tidak batal.
Jika keluar mani, puasanya batal.
Referensi:
▪️ Irsyâd al Anâm li Ma'rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil asy Syarif
▪️ Syarh Aujaz al Mukhtasharât karya Syekh Samir al Qadli
▪️ Anwâr al Îmân fî Syahr al Ihsân Ramadân karya Syekh Salim Alwan
▪️ Tuhfah ath Thullâb karya Syekh Zakariyya al Anshâri
▪️ Fath al Wahhab karya Syekh Zakariyya al Anshâri
▪️ Fath al Qarîb al Mujîb karya Syekh Muhammad bin Qâsim al Ghazzi
22. Beberapa Permasalahan Seputar Hal yang Membatalkan Puasa
Seseorang yang mengeluarkan mani dengan sebab onani (mengeluarkan mani dengan tangan atau semacamnya), apakah puasanya batal?
Puasanya batal dan berdosa, baik dengan tangannya sendiri, tangan istrinya atau tangan orang lain, baik dengan kain penghalang atau pun tanpa kain penghalang.
Seseorang yang berpuasa memeluk istrinya dengan penghalang kain baju, dan sama sekali tidak terjadi sentuhan kulit dengan kulit, lalu mengeluarkan mani, apakah puasanya batal?
Hukumnya dirinci sebagai berikut:
1️⃣ Jika ia melakukan itu dengan tujuan agar mengeluarkan mani, maka puasanya batal.
2️⃣ Jika ia melakukan itu tanpa tujuan mengeluarkan mani, tapi pada akhirnya maninya keluar, maka puasanya tidak batal.
Seseorang yang mimpi basah pada siang hari bulan Ramadlan, apakah puasanya batal?
Tidak batal dan tidak berdosa.
Seseorang yang keluar mani dengan sebab melihat, bukan karena sentuhan kulit dengan kulit, apakah batal puasanya?
Tidak batal, tapi ia berdosa.
Seseorang yang keluar mani dengan sebab melamun dan membayangkan sesuatu, bukan karena sentuhan kulit dengan kulit, apakah puasanya batal?
Tidak batal, tapi ia berdosa.
Referensi:
▪️ Irsyâd al Anâm li Ma'rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil asy Syarif
▪️ Syarh Aujaz al Mukhtasharât karya Syekh Samir al Qadli
▪️ Anwâr al Îmân fî Syahr al Ihsân Ramadân karya Syekh Salim Alwan
▪️ Tuhfah ath Thullâb karya Syekh Zakariyya al Anshâri
▪️ Fath al Wahhab karya Syekh Zakariyya al Anshâri
▪️ Fath al Qarîb al Mujîb karya Syekh Muhammad bin Qâsim al Ghazzi
23. Beberapa Permasalahan Seputar Hal yang Membatalkan Puasa
Seorang perempuan yang sedang keluar darah haidl atau nifas di malam hari, lalu berhenti darahnya pada siang hari bulan Ramadlan, apakah ia wajib menahan diri dari makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa lainnya?
Tidak wajib baginya menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa. Dia boleh makan dan minum sampai terbenamnya matahari.
Seseorang yang menjima’ (menyetubuhi) istrinya di siang hari bulan Ramadlan, apakah puasanya batal?
Puasanya batal, jika:
1. Ingat bahwa ia sedang berpuasa.
2. Tidak dalam keadaan dipaksa.
3. Mengetahui keharamannya.
Seseorang yang junub dengan sebab mimpi basah, jima’ atau yang lain di malam hari, lalu ia tidur dan bangun tidur setelah terbit fajar, apakah puasanya sah?
Puasanya sah jika ia telah berniat puasa. Dan wajib baginya mandi besar sebelum melaksanakan shalat Shubuh.
Diriwiyatkan oleh sayyidah ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terbangun dari tidur --sedangkan fajar telah terbit-- dalam keadaan junub karena telah berhubungan badan dengan istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa (HR al Bukhari)
Referensi:
▪️ Irsyâd al Anâm li Ma'rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil asy Syarif
▪️ Syarh Aujaz al Mukhtasharât karya Syekh Samir al Qadli
▪️ Anwâr al Îmân fî Syahr al Ihsân Ramadân karya Syekh Salim Alwan
▪️ Tuhfah ath Thullâb karya Syekh Zakariyya al Anshâri
▪️ Fath al Wahhab karya Syekh Zakariyya al Anshâri
▪️ Fath al Qarîb al Mujîb karya Syekh Muhammad bin Qâsim al Ghazzi
24. Beberapa Permasalahan Seputar Hal yang Membatalkan Puasa
Seseorang sedang menjima’ istrinya, lalu terdengar suara adzan Shubuh, bagaimana hukum puasanya?
Jika adzan Shubuh itu bertepatan dengan terbitnya fajar, maka wajib bagi orang tersebut untuk menahan diri dari seluruh yang membatalkan puasa.
Karenanya, begitu terdengar “Allahu Akbar” yang pertama, wajib baginya untuk menghentikan jima’ seketika.
✔Jika ia langsung mencabut dzakarnya seketika, maka puasanya sah.
✔Jika ia meneruskan jima’, maka puasanya batal dan wajib baginya mengqadla’ dan kaffarah.
(penjelasan mengenai kaffarah pada materi berikutnya). Sedangkan istrinya hanya wajib qadla’ dan tidak wajib baginya kaffarah.
Referensi:
Al Majmû' Syarh al Muhadzdzab Karya Imam an Nawawi
25. Beberapa Permasalahan Seputar Hal yang Membatalkan Puasa
Seseorang sedang makan sahur, lalu terdengar suara adzan Shubuh, bagaimana hukum puasanya?
Jika adzan Shubuh itu bertepatan dengan terbitnya fajar, maka wajib bagi orang tersebut untuk menahan diri dari seluruh yang membatalkan puasa.
Karenanya, begitu terdengar “Allâhu Akbar” yang pertama, wajib baginya untuk langsung memuntahkan makanan yang ada di mulutnya.
Jika ia muntahkan seketika itu juga, maka puasanya sah.
Dan jika ia meneruskan makan, maka puasanya batal dan wajib mengqadla'.
Referensi:
Al Majmû' Syarh al Muhadzdzab Karya Imam an Nawawi
26. Beberapa Permasalahan Seputar Hal yang Membatalkan Puasa
Di antara perkara yang membatalkan puasa adalah riddah (kufur).
Riddah adalah memutus Islam dengan keyakinan, perbuatan atau perkataan. Pelakunya atau Orangnya disebut murtad (kafir).
Riddah (kufur) ada tiga:
1️⃣ Kufur keyakinan.
Seperti orang meyakini bahwa Allah adalah benda yang tersusun dari bagian-bagian,
Orang meyakini bahwa Allah adalah cahaya,
Orang meyakini bahwa Allah adalah roh,
Orang meyakini bahwa Allah menempati suatu arah atau suatu tempat,
Orang meyakini bahwa Allah duduk di atas ‘arsy,
Orang meyakini bahwa Allah bertempat tinggal di langit,
dan lain sebagainya.
2️⃣ Kufur perkataan.
Seperti orang mencaci Allah,
Orang Mencaci al Qur’an,
Orang Mencaci Islam,
Orang Mencaci/menghina shalat,
Orang Mencaci Ka’bah,
Orang Mencaci puasa, (syariat islam)
Dan lain sebagainya.
3️⃣ Kufur perbuatan.
Seperti membuang mush-haf Al Quran ke tempat-tempat yang menjijikkan,
Orang Sujud kepada berhala,
Orang Sujud kepada Iblis,
Orang Menulis al Qur’an dengan air kencing atau darah haidl,
Dan lain sebagainya
Oleh karena imannya seseorang yang berpuasa adalah syarat sahnya puasa, maka kufur adalah perkara membatalkan puasa.
Seseorang yang melakukan salah satu dari tiga macam kufur:
🔹️bukan karena salah ucap,
🔹️walaupun bercanda,
🔹️walaupun dalam keadaan marah,
🔹️tidak dalam keadaan dipaksa di bawah ancaman akan dibunuh atau semisalnya,
🔹️baik ingat bahwa ia sedang berpuasa ataupun lupa,
maka puasanya batal, Karena sebuah ibadah tidaklah sah dilakukan oleh orang yang kafir.
Referensi:
▪️ Irsyâd al Anâm li Ma'rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil asy Syarif
27. Kewajiban bagi orang yang membatalkan puasa atau tidak berpuasa di bulan Ramadlan:
1️⃣Ada yang hanya wajib qadla’
2️⃣Ada yang wajib qadla’ dan fidyah
3️⃣Ada yang hanya wajib fidyah
4️⃣Ada yang wajib qadla’ dan kaffarah
Referensi:
▪️ Irsyâd al Anâm li Ma'rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil asy Syarif
28. Yang hanya wajib qadla’:
1️⃣Orang yang meninggalkan puasa karena sakit dan sakitnya ada harapan sembuh.
2️⃣ Orang yang meninggalkan puasa karena perjalanan jauh (kurang lebih 80 Km) yang membolehkan untuk tidak berpuasa.
3️⃣ Perempuan yang haidl dan nifas.
4️⃣ Orang yang meninggalkan puasa Ramadlan tanpa udzur (sebab yang dibenarkan oleh syariat), atau orang yang berpuasa lalu melakukan salah satu perkara yang membatalkan puasa selain jima’.
Selain wajib qadla’, wajib juga baginya bertaubat.
5️⃣Perempuan yang hamil dan menyusui jika khawatir akan kondisi dirinya
Referensi:
▪️ Irsyâd al Anâm li Ma'rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil asy Syarif
▪️ Anwâr al Îmân fî Syahr al Ihsân Ramadân karya Syekh Salim Alwan
29. Yang wajib qadla’ dan fidyah:
1️⃣ Perempuan hamil dan menyusui jika mengkhawatirkan kondisi anaknya lalu meninggalkan puasa.
Fidyah adalah satu mudd (satu cakupan dua telapak tangan yang berukuran sedang) dari makanan pokok masyarakat pada umumnya di daerah setempat.
1 mudd adalah seukuran kurang lebih 6 ons (jika lebih dari yang semestinya, diniatkan sedekah)
Ada beberapa pendapat dalam madzhab Syafi'i terkait waktu pembayaran fidyah:
1️⃣ Boleh setiap hari mulai terbit fajar sampai terbenam matahari di hari ketika meninggalkan puasa.
2️⃣ Boleh diawalkan pada malam hari untuk puasa yang ditinggalkan keesokan harinya. Tidak boleh dibayarkan sebelum itu.
3️⃣ Boleh diakhirkan seluruhnya di akhir bulan Ramadlan.
Dalam madzhab Hanafi, perempuan hamil dan menyusui yang meninggalkan puasa karena mengkhawatirkan kondisi anaknya hanya diwajibkan qadla’ tanpa fidyah.
30. Yang hanya wajib fidyah:
1️⃣ Orang tua renta yang tidak mampu berpuasa, atau terkena kepayahan yang sangat berat jika berpuasa.
2️⃣ Orang sakit yang tidak ada harapan sembuh.
Catatan:
Perempuan hamil atau menyusui yang meninggalkan puasa Ramadlan, hukumnya dirinci sebagai berikut:
1️⃣ Wajib qadla’ saja jika mengkhawatirkan kondisi dirinya.
2️⃣ Wajib qadla’ saja jika mengkhawatirkan kondisi dirinya dan anaknya.
3️⃣ Wajib qadla’ dan fidyah jika mengkhawatirkan kondisi anaknya.
Referensi:
▪️ Fath al Wahhab karya Syekh Zakariyya al Anshâri
▪️ Anwâr al Îmân fî Syahr al Ihsân Ramadân karya Syekh Salim Alwan
31. Fidyah
Catatan:
Dalam madzhab Syafi'i, fidyah harus berupa makanan pokok dan tidak sah jika yang diberikan adalah uang senilai makanan pokok.
Sedangkan dalam madzhab Hanafi, fidyah adalah salah satu dari hal-hal sebagai berikut:
🔹️ Memberi makan kepada seorang fakir/miskin setengah sha’ gandum atau uang senilai itu untuk setiap harinya,
🔹️ Memberi makan kepada seorang fakir/miskin satu sha’ kurma atau uang senilai itu untuk setiap harinya,
🔹️ Memberi makan kepada seorang fakir/miskin satu sha’ sya’ir atau uang senilai itu untuk setiap harinya, atau
🔹️ Memberi fakir/miskin dua kali makan yang mengenyangkan untuk setiap harinya.
Referensi:
▪️ Anwâr al Îmân fî Syahr al Ihsân Ramadân karya Syekh Salim Alwan
32. Yang wajib qadla’ dan kaffarah
Yang wajib qadla’ dan kaffarah adalah
Seseorang yang merusak dan membatalkan puasanya dengan jima’,
✓dilakukan dengan sengaja (ingat bahwa ia sedang berpuasa),
✓tidak dalam keadaan dipaksa,
✓mengetahui keharamannya,
✓tidak memiliki rukhshah (keringanan) untuk meninggalkan puasa (bukan musafir misalkan),
✓Meskipun tidak mengeluarkan mani,
Maka wajib baginya qadla’ puasa hari tersebut dan wajib baginya kaffarah.
Kaffarah yang wajib baginya adalah berurutan sebagai berikut:
1️⃣ Memerdekakan budak yang mukmin. Jika tidak mampu, maka:
2️⃣ Berpuasa dua bulan berturut-turut (selain puasa qadla’).
Jika belum genap dua bulan berturut-turut, ia meninggalkan puasa walaupun karena sakit, maka ia harus memulai lagi dari pertama.
Jika tidak mampu, maka:
3️⃣ Memberi makan enam puluh orang fakir/miskin, masing-masing satu mudd dari makanan pokok pada umumnya di daerah setempat.
Terkait poin No. 3, dalam madzhab Hanafi, dapat memilih salah satu dari hal-hal sebagai berikut:
🔹️Memberi makan enam puluh fakir/miskin, masing-masing diberi makan pagi dan makan malam yang mengenyangkan
🔹️Memberi makan pagi kepada mereka dan memberikan uang kepada mereka untuk makan malam
🔹️Memberi uang kepada mereka untuk makan pagi dan memberi makan malam kepada mereka
🔹️Memberi setiap fakir/miskin setengah sha’ gandum atau satu sha’ kurma atau satu sha’ sya’ir atau satu sha’ anggur kering
🔹️Memberi setiap fakir/miskin uang senilai setengah sha’ gandum atau satu sha’ kurma atau satu sha’ sya’ir atau satu sha’ anggur kering
📝 Jika ia tidak mampu melakukan itu semua, maka kaffarah itu akan terus menjadi tanggungannya. Tidak ada lagi ganti dan pilihan lainnya.
Referensi:
▪️ Anwâr al Îmân fî Syahr al Ihsân Ramadân karya Syekh Salim Alwan
33. Hal-hal yang Disunnahkan Ketika Puasa
- Menyegerakan berbuka jika bulatan penuh matahari telah benar-benar dipastikan tenggelam seluruhnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ (متفق عليه)
Maknanya: “Orang-orang senantiasa dalam kebaikan selagi mereka menyegerakan berbuka” (Muttafaq ‘alaihi). - Berbuka dengan kurma sebelum melakukan shalat Maghrib. Jika tidak ada, maka disunnahkan berbuka dengan air.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا أَفْطَرَ أَحَدُكُمْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى تَمْرٍ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُفْطِرْ عَلَى مَاءٍ فَإِنَّهُ طَهُورٌ (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ)
Maknanya: “Apabila salah seorang di antara kalian berbuka, hendaklah berbuka dengan kurma, dan jika tidak menemukan kurma, maka hendaklah berbuka dengan air karena sesungguhnya air itu suci dan menyucikan” (HR Abu Dawud) - Sahur walaupun hanya dengan seteguk air putih, dan mengakhirkannya sampai akhir malam. Waktu sahur adalah mulai pertengahan malam sampai dengan terbit fajar. Makan atau minum yang dilakukan sebelum pertengahan malam tidak terhitung sebagai sahur.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السَّحُورِ بَرَكَةً (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
Maknanya: “Makanlah sahur karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat barakah” (HR Muslim)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أمرنا معاشر الأنبياء بتعجيل الفطر وتأخير السحور (رواه البيهقي)
Maknanya: “Kami segenap para nabi diperintahkan untuk menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur” (HR al Baihaqi) - Berdoa ketika berbuka puasa dengan doa:
اللهم لك صمت وبك ءامنت وعلى رزقك أفطرت
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
Dan doa-doa yang lain.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
للصائم عند فطره دعوة ما ترد (رواه ابن ماجه)
Maknanya: “Seseorang yang berpuasa ketika ia berbuka memiliki doa yang tidak akan ditolak” (HR Ibnu Majah) - Memberi makanan atau minuman untuk orang yang berbuka puasa, atau mengajak mereka untuk berbuka bersama kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا (رواه الترمذي)
Maknanya: “Barangsiapa memberi makan berbuka kepada orang yang berpuasa maka ia memperoleh pahala yang menyerupai pahalanya, tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang berpuasa tersebut” (HR at Tirmidzi)
Artinya, kita memperoleh pahala yang menyerupai pahala orang yang berpuasa tersebut. Bukan pahala yang sama persis dengan pahalanya dari semua segi, karena orang yang berpuasa Ramadhan tengah melakukan puasa wajib dan kita yang memberinya makan berbuka tengah melakukan perkara sunnah. Perkara sunnah tentu tidak akan menyamai perkara yang wajib. - Menahan diri dari perbuatan keji, pertengkaran, percekcokan dan perdebatan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنَّمَا الصَّوْمُ جُنَّةٌ فَإِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِمًا فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ، وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ إِنِّي صَائِمٌ (رواه الشيخان)
Maknanya: “Sesungguhnya puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa maka janganlah bersikap keji dan jangan bertindak bodoh, jika ada orang yang mengganggunya atau mencacinya maka hendaklah ia berkata: aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa” (HR al Bukhari dan Muslim) - Ketika berpuasa, sangat ditekankan untuk menahan dan mencegah lisan, mata, telinga dan seluruh anggota badan dari ucapan dan perbuatan dosa.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الطَّعَامِ وَالشَّرَابِ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ (رواه الحاكم والبيهقي وابن خزيمة وابن حبّان)
Maknanya: “Puasa yang sempurna tidak hanya menahan diri dari makanan dan minuman, melainkan menahan diri dari perkataan-perkataan dan perbuatan yang diharamkan atau dimakruhkan” (HR al Hakim, al Baihaqi, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Referensi:
▪️ Irsyâd al Anâm li Ma'rifat Ahkâm ash Shiyâm karya Syekh Nabil asy Syarif
Dan lain-lain
34. Menggapai Keutamaan Lailatul Qadr
Apa itu Lailatul Qadr?
Lailatul Qadr adalah di antara kekhususan yang Allah anugerahkan kepada umat Nabi Muhammad.
Lailatul Qadr adalah malam yang penuh kemuliaan. Ibadah di dalamnya lebih utama daripada ibadah yang dilakukan selama seribu bulan yang tidak ada Lailatul Qadr-nya. Seribu bulan sama dengan 83 tahun lebih 4 bulan.
Umat-umat para nabi terdahulu bisa beribadah di dunia ini dalam jangka waktu yang lama karena Allah menjadikan usia mereka panjang-panjang.
Sedangkan umat Nabi Muhammad, meskipun usia mereka rata-rata hanyalah antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun, akan tetapi Allah menganugerahkan lailatul qadr kepada mereka.
Dengan adanya lailatul qadr, umat Nabi Muhammad berkesempatan mendapatkan pahala yang besar meskipun hidup mereka tidak lama di dunia ini.
Referensi:
▪️ Anwâr al Îmân fî Syahr al Ihsân Ramadân karya Syekh Salim Alwan
Dan lain-lain
Komentar