Satu hal yang paling
kutakutkan akhirnya terjadi juga; Aku jatuh cinta. Entah mengapa
Tuhan seakan tidak mendengar doaku. Di atas cermin kamar kosku
kutulis besar-besar "Ya Allah, Aku berlindung padamu dari jatuh
cinta yang menyakitkan." Ya aku tidak mau setan cinta
menyiksaku. Aku tidak sudi seperti Qois yang tergila-gila pada Layla
hingga jadi gila sungguhan. Aku tidak mau menjadi si konyol Romeo,
yang bunuh diri demi Yuliet. Untuk apa bercinta kalau ternyata
menyiksa diri. Setidaknya aku telah melihat dengan mataku sendiri
teman-teman kosku tersiksa karena jatuh cinta. Tapi meraka
menertawakan doaku. Ah terserah, mereka mau bilang apa. Aku tidak
peduli.
Biar
saja mereka mengejekku dengan melantukan lagunya Doel Sumbang dengan
suara yang dimerdu-merdukan.
Jangan
berkata tidak kalau kau jatuh cinta
Terus
terang sajalah, buat apa berdusta
Cinta
itu anugerah maka berbahagialah…
Mungkin
kau juga seperti mereka; menuduhku munafik. Tidak. Aku tidak munafik.
Terus terang saja, memang sering kali aku tertarik pada wanita.
Bahkan kadang tidak sekedar tertarik. Em… ya kadang ada rasa aneh
seperti… mungkin itulah benih cinta. Kuakui itu. Banyak sekali
wanita di sekitarku yang menarik, baik kepribadiannya ataupun bentuk
tubuhnya. Tapi selama ini aku selalu berhasil mengendalikan diri. Aku
selalu bisa menjaga jarak. Aku selalu berhasil membunuh rasa itu.
Bahkan waktu masih SMA aku sudah punya sesumbar itu.
Ketika
itu temanku yang sudah berkali-kali mengirim surat cinta membuat
slogan ‘Pacarku seribu tapi istriku tetap satu’ Kurang ajar, kan
?! Enak saja dia gonta ganti pacar untuk kemudian ditinggalkan begitu
saja. Eh ternyata aku salah. Yang kusaksikan bukan meninggalkan pacar
lamanya dengan begitu saja tapi dengan siksaan. Kulihat dia, pendekar
seribu pacar itu benar-benar tersiksa. Tiba-tiba dia menjadi pelamun.
Sebabnya tidak lain hanyalah karena pacarnya pindah sekolah dan sudah
tiga bulan surat-suratnya tidak pernah dibalas. Sebagai gantinya aku
balas slogan cintanya ‘Pacar, aku tidak punya, tapi istriku
selaksa, ha ha ha’ Ya buat apa punya pacar kalau ujung-ujungnya
hanya menyiksa diri.
Kawanku
ini seperti pemburu wanita saja. Sasarannya tidak hanya satu. Sialnya
sering kali dia minta tolong aku merangkaikan kata-kata indah untuk
merayu sasaran baru.
Oh,
Pengecut ! Ternyata selama ini aku pengecut. Diam-diam aku sesumbar
‘Tidak akan pernah pacaran’ tapi diam-diam juga kubantu temanku
menjerat para wanita. Tidak ! Mau tidak mau, akhirnya kutolak
permintaannya. Aku tidak akan membuatkannya surat cinta atau sekedar
puisi rayuan. Bahkan untuk diriku sendiri. Tidak. Tidak akan pernah
lagi kubuat surat cinta.
Alhamdulillah,
sejak saat itu sampai tamat SMA dan tiga tahun kuliah aku selalu
berhasil lolos dari serangan Virus Merah Jambu. Nyatanya aku
tidak mati walau hanya aku sendiri di kos ini yang tak punya pacar.
Nyatanya hidupku tidak kurang bahagia dari pada mereka yang pacaran.
Aku bahagia jadi manusia merdeka. Tapi… Satu hal yang paling
kutakutkan akhirnya terjadi juga. Aku jatuh cinta. Sialan ! Sialan…
!!!
Aku
melihatnya tiga tahun yang lalu. Ya ketika pertama kali aku menapaki
kampus untuk menyerahkanb berkas registrasi mahasiswa baru ke
fakultas. Penampilannya yang anggun memaksaku menatapnya beberapa
saat. Di kemudian hari kuketahui dia satu jurusan denganku. Perempuan
manis itu kakak angkatanku. Sial ! Aku tidak bisa mengabaikannya
begitu saja. Kehadirannya begitu menggoda. Entah kebetulan atau
disengaja; ada satu mata kuliah yang mengumpulkan kami dalam satu
ruang. Terpaksa kutinggalkan mata kuliah itu.
Mengapa
kehadirannya begitu mengganggu mataku. Tidak mudah mengabaikan
kehadirannya bahkan kepergiannya. Apa yang harus kulakukan ? Apakah
aku harus nyerah ? Tidak. Aku tidak boleh nyerah. Aku tidak mau jatuh
cinta. Tuhan… bolehkah aku puasa untuk kepentingan wanita ? Guru
agamaku bilang puasa bisa membantu mengendalikan nafsu. Entah benar
atau tidak, setidaknya dengan puasa aku punya alasan menolak
ajakannya untuk makan siang bersama.
Apa
yang terjadi sebenarnya ? Teryata aku hanya ge er. Aku merasa dia
memberi perhatian lebih padaku. Salah. Aku harus yakin kalau aku
salah. Dia menganggapku sebagai teman biasa seperti taman-temannya
yang lain. Ya, kebetulan saja kami satu jurusan jadi wajar kalau kami
sering bertemu dan kadang dia main ke kos untuk pinjam buku atau
kepentingan yang lain. Jadi… aku harus yakin bahwa selama ini aku
hanya ge er. Semoga saja aku bisa menganggapnya sebagai teman biasa.
Aku pun sesumbar di depan temanku; ‘Paling lama, seminggu lagi aku
akan menganggapnya seperti teman-teman yang lain.’
Alhamdulillah
berhasil. Dua tahun berlalu dengan aman-aman saja. Walau tentu saja
beberapa wanita menarik biji mata ini untuk mengikutinya, lalu hadir
sejenak di hati, dan kemudian kucekik. Ya, kubunuh rasa itu. Situasi
kembali aman. Dua tahun kemudian dia hadir lagi memecah kesunyian di
suatu siang.
Entah
dari mana datangnya. Tiba-tiba dia duduk di sampingku dan menyerangku
dengan senyum manis. Aku tergagap. Lalu …. obrolan kata-kata basa
basi. Aku tidak tahu mengapa kuterima tawaran main ke kosnya padahal
aku tahu tawaran seperti itu mungkin hanya basa basi untuk pamitan
pulang. Aku tidak tahu mengapa saat itu aku berpikir dia sedang butuh
teman padahal sebenarnya akulah yang benar-benar butuh teman. Dari
pada melamun kupikir lebih baik main ke kosnya. Siapa tahu kesuntukan
yang menjajah kepala bisa hilang.
Benar
sekali. Di kosnya kutemukan kedamaian. Nyaman sekali duduk di teras
kamar yang teduh. Halaman yang cukup
luas ini dipenuhi dengan bunga-bungaan. Melati, mawar, dan yang besar
ini kamboja. Di sudut sana ada bunga matahari dan yang di sebelahnya
itu… entah bunga apa. Maaf aku tidak tahu namanya. Aku benar-benar
menikmati keteduhan surga kecil ini.
Kenikmatan
tak cukup dinikmati sekali. Makanya… jangan salahkan aku bila
beberapa kali aku main ke taman bunga ini. Tapi aku rela disalahkan
karena tidak menyadari akan datangnya melata petaka. Mungkin benar
kata orang ‘tresno jalaran soko kulino’ Cinta tumbuh
karena biasa. Sedikit demi sedikit aku merasa dia punya perhatian
lebih padaku dan mungkin aku juga.
Ya
Aku harus menyalahkan diriku sendiri. Aku sendiri yang melompat ke
lembah asmara. Aku tidak tahu mengapa. Satu hal yang paling
kutakutkan akhirnya terjadi juga. Aku jatuh cinta. Bencana !! Oh
Tuhan. Tiap pagi kuberdo'a agar Kau bebaskan dari siksaan jatuh
cinta, tapi mengapa sekarang tidak Kau kabulkan. Tuhan.. Tolonglah
hambamu ini.
Lihat
di batang kamboja itu. Seekor nyamuk kurus itu diam tak bergerak,
tersangkut di rumah laba-laba tua yang sudah putus di sana sini.
Sangat rapuh. Sepertinya aku lebih lemah dari nyamuk kasihan itu.
Jadi tidaklah berlebihan kalau kukatakan ini adalah bencana yang
memalukan. Tidak keliru, kan ?! Mungkin benar kata teman-teman ;
'wanita memang kejam'. Bayangkan, aku masih bingung
mencari-cari cara untuk meloloskan diri, eh…. Tiba-tiba dia
menodongku. Dia tidak sungkan-sungkan mengungkapkan cintanya padaku.
Oh Tuhan ampunilah hamba. Apa yang harus kukatakan.
Haruskah aku berbohong.
Cintakah aku padanya ? Kurasa tidak! Aku telah membunuh rasa cinta
untuk wanita. Tapi bagaimanapun harus kuakui aku tertarik pada wanita
yang satu ini. Dia hebat. Aku menyebutnya melati putih. Nyaris
sempurna. Tanpa cacat, tanpa cela. Terus terang saja, aku kagum
padanya. Kalau dibayangkan, asyik juga pacaran dengan dia. Dia, gadis
berkacamata itu, enak diajak bicara, pengertian, tidak banyak
menuntut… Betapa bahagianya punya pacar sebaik ini. Tidak akan
pernah ada lagi hari kelabu. Langit akan selalu biru. Biru jernih,
cerah hingga kita hidup penuh gairah. Segar….pokoknya tidak ada
kesuntukan…
Tapi
maaf, aku harus tetap setia memagang kalimat itu; Tidak akan pernah
punya pacar. Aku tidak mau tertipu dengan kebahagiaan semu. Memang
pada awalnya terasa nikmat; pergi ke mana selalu bersama, Selalu
ditemani wanita pujaan hati, Tidak ada lagi kata sepi, Dan kalau mau
aku bisa menikmati kulitnya yang halus dan lekuk-lekuk tubuhnya…Tapi
semua itu hanya jebakan. Aku tak mau disiksa kerinduan. Ya, Pada
akhirnya kerinduan pasti akan membantaiku bila aku sudah terlanjur
mencicipi sesuatu yang berhubungan dengan wanita. Aku tidak mau
menghabiskan umur untuk urusan wanita. Aku harus tetap menjaga jarak
dengan wanita karena wanita pasti akan merampas seluruh perhatianku.
Ah…. Yang pasti tidak ada alasanuntuk pacaran. Titik !
Bapak
pernah berpesan ‘Hati-hati dengan wanita. Hormatilah mereka,
jangan kau goda, jangan kau rayu. Bahaya !!! Tidak perlu pacaran.
Pacaran hanya akan membuatmu semakin sering lupa Tuhan. Pacaran
membuatmu sibuk berkaca, menyisir rambut, mengurus sebutir jerawat di
jidat, pilah-pilih pakaian, dan sebagainya dan sebagainya. Percayalah
pada Bapak ; Pacaran tidak ada gunanya.’
Jadi aku tidak punya alasan untuk
pacaran. Mungkin menurutmu Bapak terlalu berlebihan. Masak anak muda
tidak boleh pacaran. Tapi aku sepakat. Mau bukti ? Aku yakin di
sekitarmu banyak sekali buktinya. Aku sendiri telah membuktikannya.
Aku melihat sendiri temanku sibuk berdandan ketika mau apel malam
minggu. Yang lain bingung mencari pinjaman sepeda motor untuk kecan
pertama. Bahkan ada yang rela ngutang untuk mentraktir pacar baru
atau calon pacar. Belum lagi yang punya pacar pengatur; jangan
merokok, jangan makan kacang, potongan rambutnya jangan seperti itu,
jangan kelompok ini, dan berbagai larangan yang lain. Belum lagi yang
diusir bapak sang pacar. Atau ditantang berkelahi oleh lelaki yang
merasa tersaingi. Atau tiba-tiba pacarnya bilang; "Mas,.. aku
hamil."
Jadi…
apa enaknya pacaran ??? Sepertinya pacaran termasuk penyiksaan diri
dan pengungkungan kebebasan. Aku sepakat wanita adalah salah satu
keindahan dunia. Tapi haruskah kita menjadi budak wanita pujaan hati.
Ada yang bilang pacaran untuk menenangkan hati. Baik sekali itu. Tapi
nyatanya kulihat para pecinta tersiksa. Melamun berjam-jam. Waktu
tidur bergulang-guling sampai larut malam. Makan tidak enak hanya
gara-gara memikirkan wanita. Lebih parah lagi mereka yang cintanya
ditolak atau pacarnya tiba-tiba menikah dengan orang lain.
Mungkin
ada yang menganggap kekonyolan adalah kenikmatan. Aku tidak tahu apa
yang dinikmati dengan tidak mandi dan ganti baju selama
berminggu-minggu karena masih teringat wanita yang tidak mau menjadi
pacarnya. Adakah kenikmatan ketika hidup tiba-tiba terasa hampa,
semangat lenyap hanya gara-gara ‘wanita penggangu’-mu sedang
pulang kampung selama sebulan. Entah apa rasanya air mata yang
mengalir saat pacarmu selingkuh.
Sudah seminggu aku
menghindari wanita itu. Dan senja itu dia datang ke kosku. Dia
menyeretku ke kamar dan mengunci pintu lalu menyerangku dengan
pertanyaan yang itu-itu juga. Dia tidak bosan-bosannya menanyakan
jawabanku. Apa yang harus kujawab. Ah mengapa jadi sangat menyebalkan
begini ?
Kalau
saja dia mau memahami tentu tidak akan seruwet ini. Boleh saja
mulutnya membisikkan ‘aku cinta kamu’ berkali-kali…tapi dia
tidak punya hak memaksaku untuk mencintanya. Cinta itu kan bukan
untuk diterima, dibalas atau ditolak. Sebenarnya diapun sudah tahu.Ya
aku sudah pernah bilang bahwa aku ‘tidak akan pernah punya pacar’
"Kau
mencintaiku. Boleh saja. Terserah kamu. Aku tidak akan melarang
siapapun untuk mencintai siapapun, atau apapun. Jadi… "
"Bolehkah aku
menjadi kekasihmu ?" Oh tolooong…!! Apa yang harus kukatakan
lagi. Brengsek ! Sialan ! Pusing, pusing, pusiiiing ! Kalau kau
jadikan aku kekasihmu itu boleh-boleh saja. Tapi apakah kau kekasihku
? Aku tidak bisa menjawabnya. Bingung. Aku masih ingat janji suci ;
Tidak akan pernah punya pacar. Jadi….. “Kau tentu masih
ingat. Ya aku sudah pernah bilang padamu bahwa…”
"Ya. Aku ingat. Kau
memang munafik. Tapi, baiklah. Kalau begitu kita tidak perlu pacaran.
Kita langsung menikah saja. Bagaimana menurutmu ?"
Menikah
? Pacaran saja aku tunda. Eh.. bukan kutunda, tapi memang aku merasa
tidak perlu pacaran. Menikah ? Waaaah… maaf. Aku belum berpikir
sejauh itu. Untuk memilih seorang wanita sebagai calon pendamping
hidup tentu butuh waktu yang lama. Ah… “Tidak. Aku belum berpikir
sejauh itu. Dan mana mungkin aku menikah dengan wanita yang tidak aku
cintai ?
"Benarkah
? Benarkah kamu tidak mencintaiku. Awas. Kamu jangan bohong.
Baiklah, sekarang kumohon kau jawab pertanyaanku dengan jujur, Apakah
kamu mencintaiku ?" Bencana. Bencana. Haruskah kukatakan
kepadanya ; Sebenarnya aku memang tertarik dan kagum dengan dia….
Oh tidak. Sebaiknya tidak perlu kuungkapkan rasa itu. Kalau sekedar
tertarik dan kagum pada wanita, sejak dulu juga sering seperti itu.
Yah. Banyak sekali wanita yang kukagumi, tentu saja termasuk dia.
Apakkah aku mencintai mereka ? kurasa tidak. Aku telah membunuh rasa
itu.
"Sekali
lagi, Apakah kau mencintaiku. Tolong katakan… ?" Oh.
Jangan-jangan dia sudah tahu isi hatiku. Kata orang, wanita sangat
perasa. Peka sekali perasaanya. Benarkah dia sudah tahu apa
sebenarnya perasaanku ? Ini bisa gawat… Oh semoga saja tidak.
Mungkin sebaiknya aku balik bertanya.
“Em…Bagaimana
menurutmu. Apakah aku mencintaimu. Apakah kau merasakannya ?"
"Aku
sangat yakin kau juga sayang dan cinta padaku makanya tak perlu lagi
kau tutup-tutupi. Katakan saja. Kau pasti mencintaiku. Iya kan ?!…”
Haruskah aku membantah dan menyalahkan keyakinannya. Apakah aku harus
mengakui… Oh. Benarkah aku mencintainya ? Kurasa tidak Bukankah aku
telah membunuh rasa itu ?! Persetan dengan cinta. Cinta adalah
bencana…
"Aku
hanya ingin tahu apakah kau punya keberanian untuk mengungkapkan isi
hatimu. Aku hanya ingin tahu apakah kau bisa jujur dengan dirimu
sendiri. Ayolah katakan saja. Apakah kau mencintaiku, sayang ?"
Aku
hanya bisa menggeleng ragu. Di juga.
Kudengar di kamar sebelah
temanku menyanyi
Marilah
sayang
mari
sirami
cinta
yang tumbuh
di
dalam hati
Jangan
berkata tidak kalau kau jatuh cinta
Terus
terang sajalah buat apa berdusta…
Cinta
itu anugrah maka berbahagilah
Sebab
kita sengasara bila…
Samar-samar kulihat
wanita ini menjadi buas. Dia berdiri sambil merenggut kerah bajuku.
Aku tersentak. Aduh… sialan, lututnya menendang selangkangan lalu
menghempaskan badan ini tempat tidur. Belum sempat aku memaki dan
meludahi wajahnya, dia sudah menyumpal mulutku dengan celana
dalamnya.
“Mungkin cara ini akan
membuatmu jujur sayang.”
Dilempar Bhnya ke wajahku
lalu melorot celanaku.
Aku mau bangkit dan
menampar wajahnya tapi keburu dia menindihku dengan tubuhnya yang
putih merangsang…..
Yogyakarta,29 Jan--27 Jun ‘03
Komentar