Tiba-tiba kepala ini dipaksa
menunduk, mata menyapu. Langkah terhenti. Badan membungkuk, lengan
menjulur, tangan memungut dan buru-buru menyelipkannya ke dalam saku.
Lumayan bisa buat makan. Mengisi perut, Mengusir lapar. Menyambung
nafas. Agar tetap kuat bergerak, berjalan dan melihat. Untuk apa
kalau hidup dengan tubuh lemas tidak kuat jalan, bahkan membuka
matapun tidak sanggup.
Mungkin seperti inilah
kira-kira yang dimaksudkan oleh para pengkhotbah sebagai rezeki dari
Tuhan yang taktersangka. Benar, aku memang tidak menyangka kalau
ternyata kudapatkan uang tanpa mengeluarkan keringat setetes pun.
Tinggal sedikit membungkuk dan mengulurkan tangan. Itu saja, dan
langsung menerima ‘gaji’ lima ribu rupiah. Tidak perlu menunggu
sampai akhir bulan. Begitu ujung jari menyetuh benda itu berarti
hasil sudah di tangan. Mudah kan ?! Aku tak menyangka akan begini
mujur nasibku hari ini. Berbeda sekali dengan kemarin dan hari-hari
yang lalu.
Minggu-minggu ini aku harus
sering bertamu ke kos, kontrakan, atau rumah teman dan berharap
dijamu dengan sangat layak atau setidaknya bisa ngutang beberapa
rupiyah. Kemarin sangat sial. Sudah tiga kali bertamu tapi tak
membuahkan hasil. Walau begitu sialnya aku tidak putus asa. Aku
mencobanya lagi. Kuseret langkah menuju padang perburuan berikutnya.
Aku yakin kali ini berhasil. Teman yang satu ini anak orang kaya.
Kubayangkan tuan rumah
menyambutku dengan sangat ramah, Tersenyum manis sambil menyajikan es
buah dan kue legit. Setelah ngobrol sebentar kami makan malam bersama
semua anggota keluarga dengan menu istimewa. Nasi uduk, Ayam goreng
lengkap dengan sambel dan lalapan. Air putih, dan minuman bersoda.
Ada juga sirup merah rasa strawbery. Pencuci mulutnya tinggal pilih;
pisang, anggur, melon, jeruk, pear, atau nanas. Sungguh makan malam
yang istimewa.
Keluarganya sangat ramah.
Makan malam meriah, diselingi obrolan ringan dan canda tawa. Hilang
sudah kesedihan diganti kebahagiaan. Dan ada satu hal lagi yang
sangat penting; ternyata adiknya yang cantik itu sepertinya sejak
tadi memperhatikanku. Setelah makan malam aku dan dia serta adiknya
yang manis jalan-jalan dengan mobil keliling kota……. Lengkap
sudah kebahagiaan malam ini.
Semoga tidak sekedar
khayalan. Tinggal beberapa langkah lagi. Kebetulan sekali dia di luar
rumah. Sepertinya sedang suntuk. Dia butuh teman. Semoga kedatanganku
bisa menghilangkan kesuntukannya. Tumpahkan persoalanmu padaku
kawan ! Mari kita hadapi persoaalan bersama-sama. Itulah gunanya
teman. Dari wajahnya aku bisa membaca dia senang sekali dengan
kedatanganku. Awal yang baik semoga menghasilkan keberuntungan.
Kedatanganku memang sangat tepat. Aku datang saat dia butuh bantuan.
Dia sekeluarga akan berangkat ke puncak, tapi mobil itu mogok. Perlu
di dorong. Aku dan dia mendorong dengan sekuat tenaga. Sudah beberapa
kali didorong hingga keringat bercucuran tapi belum berhasil. Wajah
mereka semakin cemas. Hari semakin sore kalau mobil masih ngambek
mereka bisa kemalaman dan acara yang sudah direncanakan bisa mundur
tidak sesuai jadwal. Sekali lagi aku harus mendorong bersamanya
sedangkan cowok itu enak saja duduk dan memberi aba-aba dan setelah
berhasil dialah yang mendapat pujian manis dari gadis manis yang
memandang sinis padaku. Mereka segara naik ke mobil dan berangkat
begitu saja. Asap knalpot mengentuti hidungku. Tapi tiba-tiba mobil
itu berhenti di ujung kelokan. Dia turun, melambaikan tangan,
meneriakkan terimakasih yang tidak sampai ke daun telingaku, lalu
pergi begitu saja.
Usahaku ternyata salah. Untu
menanggulangi bencana laten kelaparan yang menimpaku kali ini tidak
perlu capek-capek jauh berjalan dan mengharap-harap jamuan tuan rumah
atau setidaknya bisa pinjam uang ke tuan kamar kos. Semuanya sia-sia
bahkan merugikan. Tidak dapat apa-apa kecuali bertambahnya keletihan
dan kelesuan tubuh. Tapi mungkin semua ini hanya kebetulan yang
kebetulan saja tidak menguntungkan. Tiga kali bertamu ke tiga tujuan
yang berjauhan dan tidak bertemu karena kebetulan mereka sedang
keluar semua adalah kebetulan yang tidak menguntungkan. Mungkin suatu
kali kebetulan itu berubah menjadi kebetulan yang menguntungkan.
Aku putuskan untuk ngebon
lagi di angkringan, langkah sudah menuju ke sana. Belum sampai
pantatku menyentuh bangku, pertanyaan kasar menonjokku. Aku merasa
terusir. Keadaan memaksaku hanya bisa minta maaf dan secepatnya
pergi. Walaupun hati ini sangat dongkol aku tidak boleh menyalahkan
dia. Biarpun mulut ini kering dan kerongkongan sangat haus aku tidak
berani minta seteguk air putih atau sekedar numpang duduk sebentar
melepas lelah. Aku harus bisa memahami bagaimana orang sebaik dia
tiba-tiba berubah sangat galak. Sebenarnya aku tahu bahwa modalnya
sebagai pedagang angkringan juga tidak besar. Mungkin hutangku sudah
melebihi modal itu. Aku harus memahami kemarahannya kepadaku yang
sealu datang hanya untuk menambah daftar penghutang. Di antara sekian
pengutang akulah juaranya, akulah yang paling lama menunggak. Maka
sudah selayakknya aku menerima piala penghargaan ini. Lengkap sudah
kebetulan yang tidak menguntungkan. Mungkin aku harus percaya hari
sial. Selama ini aku hanya percaya pada adanya hari baik. Semua hari
baik, selalu ada kebetulan yang menguntungkan. Rezeqi tidak akan
lari. Tapi kemana larinya rezeki tuhan malam ini ?
Aku tidak berani lagi
mengaharap kebetulan yang menguntungkan. Aku tidak tahu harus
berjalan ke mana lagi untuk mendapatkan ganjal perut. Yang pasti aku
harus mencari persembunyian agar kesialan malam ini tidak bisa
menemukan aku lagi. Tidur mungkin jalan terbaik. Tapi di mana.
Beginilah nasibku. Hidup seperti manusi pra sejarah; nomaden,
berburu, dan meramu. Yah, Aku tidak punya kos. Kadang tidur di
kampus, kadang numpang di kos atau kontaran atau rumah teman. Malam
ini aku tidak berani numpang tidur di kos teman. Aku takut dia malah
menagih hutangku. Sepertinya tidak seorang temanku yang belum pernah
aku hutangi. Tidur di kampus justru lebih berbahaya. Di sana bisa
bertemu dengan banyak teman yang mungkin juga menagihku bersama-sama
kemudian menghajarku hingga babak belur. Mereka tinggalkan aku
terkapar tak berdaya setelah mereka kencingi wajah ini rame-rame
sambil tertawa tebahak-bahak. Ah Mengapa aku berpikir begitu. Ada apa
dengan hari ini. Malang benar nasibku malam ini sampai-sampai
membayangkan hal-hal yang mengerikan. Benarkah teman-teman sudah
membenciku ? Yah mungkin aku memang orang yang tak pantas hidup.
Hidupku hanya merusuhi orang lain. Tuhan …. Benarkah aku sudah
tidak berguna di dunia ini ?
Kaki ini terseok-seok menuju
Mushola. Mungkin rumah tuhan bisa menyelamatkanku. Sial gerbangnya
dikunci. Yah Aku harus lompat. Untung tidak diteriakki : Maling, ada
maling!! Lalu dihajar ramai-ramai. Sial !! Pintu jelas dikunci. Aku
mau tidur diserambi. Kaki segera melangkah, ingin segera istirahat.
Tiba-tiba kurasakan sesuatu menyentuh kulit jempol kakiku.
Aku tak habis pikir mengapa
begini jadinya. Dicari sampai muter-muter ke mana-mana ternyata hanya
di sini. Ternyata untuk mengambilnya tidak memerlukan tenaga yang
banyak. Cukup sedikit membungkukkan badan dan mengulurkan lengan.
Begitu jari-jari menyetuh benda itu, berarti hasil sudah tergenggam
di tangan tak bisa lepas, pasti dapat. Seandainya saja ada kerja
seringan ini pasti pelamarnya antri panjang sekali.
Mungkinkah ini benar-benar
kiriman dari tuhan sebagaimana janjinya yang tidak akan membiarkan
hambanya kelaparan. Benarkah ini pemberian dari tuhan untuk yang tak
terduga. Sebegitu baikkah tuhanku ? Tapi mengapa aku baru kali ini
aku ditolong dengan cara ini. Mengapa sebelumnya aku harus mencari
orang yang mau berbelas kasihan kepadaku sehingga ketika aku bilang
‘pinjam uang dulu’ dia paham bahwa yang kumaksud adalah ‘minta
uang’ sehingga dia tidak akan pernah menagihnya. Atau jangan-jangan
ini hanya cobaan. Mungkin tuhan sedang mencoba kepercayaanku.
Masihkah aku percaya dengan pertolongannya. Maukah aku mengambil dan
memakan uang orang lain. Kalau memang demikian hanya ada dua pilihan;
membiarkannya atau mengambilnya lalu mengembalikan kepada pemiliknya.
Haruskah aku berepot-repot
memasang pengumuman; Bagi yang kehilangan uang harap menghubungi
nomor sekian sekian. Tapi mungkin beberapa yang menelpon malah
menggerutu, menyindir bahkan ada yang memaki. Uh uang segitu saja
diumumkan. untuk apa ? paling yang kehilangan juga tidak tahu dan
seandainya tahu pasti tidak akan mencarinya. Uang segitu kan tidak
ada artinya. Kalau aku yang kehilangan uang itu aku tidak akan
mencarinya.
Benarkah begitu. Bagaimana
bila ternyata yang kehilangan adalah orang yang nasibnya tidak lebih
baik dari aku. Jangan-jangan dia orang yang baru saja meminjam uang
ini untuk membayar hutang lamanya yang sudah lama menunggak.
Jangan-jangan dia orang yang sudah kelaparan selama dua hari dan hari
ini tuhan memberinya rezeki entah dari mana, tapi ternyata dia
teledor dan tidak tahu kalau uangnya jatuh di sini. Jangan-jangan
setelah dia tahu uangnya hilang dia menangis sangat sedih kemudian
kembali menyusuri jalan dengan mata melotot mencari-cari uang
satu-satunya yang hilang.
Haruskah aku gunakan uang ini
atau harus kupasang pengumuman. Tapi aku tidak punya nomor telepon
apalagi HP. Kos juga tidak punya. Apakah harus kutulis; Bagi yang
kehilangan uang harap hubungi saya di manapun saja. Ah sebaiknya aku
berharap pada yang kehilangan uang harap diikhlaskan saja. Daripada
bingung sebaiknya aku segara saja ke warung angkringan terdekat,
nangkring alias di atas bangku, memesan wedang jeruk hangat,
menyantap dua bungkus nasi sambel teri dengan lauk mendoan dua,
kemudian ngrokok. Lima ratus, seribu, seribu empat ratus, seribu
sembilan ratus. Ah masih sisa tiga ribu seratus. Lumayan bisa buat
sarapan besok pagi.
Menemukan selembar limaribuan
saat perut dan kantong saku sudah benar-benar kempes adalah sebuah
kebetulan. Sesuai dengan rencana, aku memesan wedang jeruk hangat
kemudian menyantap dua bungkus nasi sambel teri dengan lauk mendoan
dua. Setelah itu ngerokok. Nikmat sekali. Tidak lama kemudian kulihat
temanku sedang berjalan pelan. Wajahnya lesu. Pasti belum makan.
Nasibnya dari hari ke hari tidak berbeda jauh dengan nasibku. Hampir
tak pernah punya uang. Dia juara penghutang. Kupanggil dia dan
kutawari makan. Kuberbisik ditelinga sambil tersenyum. Aku masih
punya sedikit rezeki, makan saja. Mari kita lupakan kesedihan.
Kulihat wajahnya berkeringat. Keringat di malam hari. Tanpa basa basi
dia langsung mengambil nasi bungkus sambil memaki-maki dengan nada
menggerutu. Pesan teh anget kentel. Sambil menyantap nasi
sambel dan gorengan dia bercerita. Katanya barus saja
kehilangan uang limaribuan. Padahal uang itu bukan punya dia. Hanya
titipan. Dia yakin jatuhnya pasti di sekitar mushola. Dia tidak
percaya orang yang baru saja sholat di mushola tega menemukan uang
dan tidak mengumumkannya.
Mushola ? Jangan-jangan uang
yang kutemukan tadi adalah uangnya. Bukan uangnya tapi uang temannya.
Ya. Berarti dia harus menggantinya. Kalau dia tahu…….. Ah ini
bisa gawat. Aku harus bagaimana. Aduh aku harus bagaimana. Haruskah
aku berterus terang dan sisa uang setelah digunakan bayar angkringan
kuberikan kepadanya ? Berapa sisanya ? Tidak lebih dari dua ribu.
Paling hanya seribu lebih berapa ratus. Tapi kalau aku berterus
terang berarti aku harus mengembalikan semua. Tidak mungkin. Mengapa
aku jadi kejam begini……….? Sialnya lagi temannya temanku ini
nasibnya tidak jauh berbeda dengan kami berdua. Hampir tidak pernah
punya uang. Itu dia datang.
Seperti yang aku duga dia
pasti marah-marah tidak lupa memaki-maki. Kemarahan itu ditujukan
kepada temanku tapi aku merasakan kemarahan itu juga tertuju
kepadaku. Akulah biang kerok malapetaka ini.
Kamu enak-enak makan di sini.
Ditunggu-tunggu malah………… dasar !! Mana uangku ? Hilang ?!
………..
Lima ribu untuk makan
bertiga.
Kutunggu mereka pulang lebih
dulu tapi ternyata mereka mengajakku pulang bersama. Sudah jenak. Aku
bayar. Matanya melototi uang itu. Merebutnya. Ha ini kan uangku. Ini
ada tulisannya. Dapat dari mana. Ah dasar pencuri !!
Komentar