Langsung ke konten utama

Bocah Pinggir Kali yang Tak Kenal Kata Dermaga

Bulan Ramadhan, tanggal dua belas, kira-kira duapuluh tahun yang lalu. Tepatnya tahun 1979 Masehi tapi sampai sekarang aku tetap tidak hafal tahun hijriyahnya. Aku juga tidak hafal waktu, itu hari apa dan pasarannya apa. Entah jam berapa aku juga tidak begitu ingat. Maksudku bukan ingat akan kejadian itu. Tentu saja aku tidak bisa mengingat kejadian 27 yang lalu. Saat itu hanya bayi yang hanya bisa menangis bila lapar atau haus. Aku hanya tahu dari catatan yang digoreskan bapak di punggung lemari kaca. Begitulah keluarga kami menyebut lemari jati itu karena pintunya yang besar dilapisi cermin besar. Setelah aku sekolah di MI, entah kelas berapa saat itu, aku bisa membaca coretan kapur putih di punggung lemari itu. Namaku tertulis di situ beserta tanggal lahirku.

Tapi maaf aku sampai sekarang tidak ingat tahun hijriyahnya. Apalagi tahunnya, tanggal dan bulannya saja samapi aku kuliah belum aku hafal dengan benar. Beberapa kali aku kebingungan ketika mengisi formulir yang menanyakan tempat tanggal lahir. Aku tidak mau mengulang kesalahan saat mau ujian akhir MI, waktu itu aku salah memberikan tanggal lahirku. Waktu mau ujian akhir MTs aku juga hampir salah menulis tanggal lahir dalam formulir kotak-kotak itu. Maka kalau ada formulir yang menanyakan tanggal lahir, aku merasa lebih baik melihat kembali catatanku yang lama.

Maka ketika di kampus, seorang teman bertanya tentang tanggal lahirku, aku tidak bisa menjawabnya dengan pasti. Dia tidak begitu terkejut karena sebelumnya sudah tahu kebodohannku itu. Dia pernah bertanya berapa umur orang tuaku. Aku tidak bisa menjawab. Aku sama sekali tidak pernah tahu kapan mereka lahir. Aku juga tidak begitu tahu kapan kakak-kaka dan adikku lahir walaupun aku pernah membacanya. Ya di rumah kami ada lemari besi, Di situlah kami menyimpan berkas-berkas penting seperti ijazah, surat nikah, kartu keluarga dan sebagainya. Salah satu yang disimpan adalah kertas tebal berwarna coklat. Kertas itu dibungkus plastik yang sudah tidak begitu bening lagi. Dalam kertas itulah ada nama kakak pertamaku, kakak kedua, kakak ketiga, aku dan nama adikku. Di bawah masing-masing nama itu ditulis juga hari lahir kami, lengkap dengan hari pasaran, tanggal dan bulan, baik masehi maupun hijriyah. Bahkan lengkap dengan waktunya. Aku pernah membacanya tapi aku tidak bisa mengingatnya. Ingatanku payah. Aku tidak tahu apakah aku lahir di hari Rabo Pon atau Kamis dini hari. Ah mungkin itu memang tidak penting. Tapi ternyata menurut temanku itu sangat penting sekali. Menurutnya konyol sekali seorang kakak tidak tahu tanggal lahir adiknya. Lalu temanku itu menuding hidung dan berkata, Sampeyan pasti selalu terlambat memberikan hadiah ulang tahun kalau ada keluarga yang ulang tahun. Ulang tahun? Kami tidak pernah merayakannya. Jadi tidak pernah ada hadiah atau kado-kadoan. Aku kenal kado saat khitanan. Sampai sekarang aku baru sekali menerima hadiah ulang tahun. Dia tahu tanggal lahirku dengan benar karena rela bertanya pada pegawai bagian kemahasiswaan di kampus. Aku tidak tahu bagaimana cara menerima sebuah kado. Maka kuterima kotak yang terbungkus kertas warna itu. Dengan ragu-ragu kurobek dan kuambil isinya; sebuah topi yang aku suka. Kotak dan kertas yang sudah robek itu aku kembalikan padanya karena aku tidak tahu letak tempat sampah di kosnya. Dan aku masih ingat, saat itu aku tidak lupa mengucapkan terima kasih lalau pamit pulan.

Tapi topi itu sudah hilang. Topi itu hanyut ke laut selatan saat aku dan teman-teman seangkatanku bermain di Parang tritis.

Sekarang aku sudah duapuluh tujuh tahun hidup di dunia ini dan belum pernah sekalipun merayakan ulang tahun. Seingatku hanya sekali aku beli beberapa bungkus makan siang untuk teman-teman kerjaku di warnet. Tapi bosku yang membayar karena dia tahu aku tidak punya uang. Dan jengkelnya teman-teman sedang tidak berselera makan. Mereka minta pizza. Tidak ada pizza. Dan di hari yang lain, sehari setalah hari kelahiranku, pernah sekali aku sengaja membelikan makan siang seorang teman perempuan. Sebenarnya ulang tahunku hanya sebagai alasan saja. Intinya aku sudah lama ingin makan bersamanya. Dia perempuan yang sangat cantik, tentu saja. He he he.

Dua puluh tujuh tahun yang lalu aku dilahirkan di rumah spanyolan yang terletak tidak jauh dari sungai. Ketika aku masih anak-anak aku tahu sungai itu namanya Kali Gede. Dan ketika aku remaja aku tahu sungai itu di dalam peta tertulis dengan nama sungai Serang. Di sungai inilah aku pernah bermain bersama teman-teman. Kulihat teman-teman begitu asyik duduk manis di atas gedebok alias batang pisang lalu teman yang lain mendorong gedebok denga sekuat tenaga. Maka meluncurlah ke arah tengah sungai. Aku ingin mencobanya. Aku pinjam gedebok teman. Aku coba duduk di atasnya. Ternyata tidak mudah. Tiba-tiba gedebok itu sudah didorong dan meluncur dengan cepat ke tengah sungai padahal aku belum bisa menyeimbangkan badanku agar bisa duduk dengan nyaman di atas gedebog. Maka tubuhku roboh ke kanan. Aku jatuh ke air. Byur dan glek. Air keruh masuk tenggorokan. Maka akhirnya aku harus kuakui bahwa aku cah nggir kali sing raiso nglangi. Ya aku anak tepi sungai yang tak mahir berenang. Bahkan sungai pernah menjadi dunia yang menakutkanku.

Pernah seorang temanku bercerita tentang kakaknya yang mati tenggelam di sungai serang ini karena terjatuh dari jembatan bambu. Kali gede iki, sungai serang ini setiap musim penghujan airnya akan membesar hingga ladang-ladang di tepinya hilang. Baru beberapa tahun yang lalu aku bisa mengatakan bahwa setidaknya setahun sekali banjir datang dan lewat sungai ini. Bila banjir datang, jembatan bambu akan roboh karena tiang-tiang-tiangnya dibuat berpegangan oleh sampah-sampah yang hanyut, ada batang pisang, ranting-ranting pohon dan patang-batang bambu. Bercampur dengan plastik-plastik dan berbabagai jenis barang. Kami menyebutnya sarahan. Sarahan itu ada yang tersangkut di tiang-tiang jembatan. Lama-lama menumpuk sehingga tekanan aliran air semakin kuat. Dan akhirnya jembatan itu roboh pelan-pelan disertai teriakan bunyi gemletak dan kemrutuk batang-batang bambu yang besar-besar itu retak lalu patah dan hanyut ke barat, ke muara laut jawa.

Kalau datang banjir maka para pedagang sebagian besar libur. Mereka tidak bisa pergi ke warung di desa tetangga yang sudah masuk kecamatan dan kabupaten lain. Anak-anak sekolah berjalan di bawah payung, ujung celana dilipat tinggi. Lebih repot lagi anak perempuan. Ujung meksi itu tak bisa dilipat dan tak pantas diangkat tinggi-tinggi. Sepasang sepatu dicangking seperti kepiting dengan tangan kiri. Ada juga yang memasukkannya ke dalam tas kresek lalu memasukkannya ke dalam tas bersama buku-buku pelajaran dan rukuh. Banyak juga yang tidak punya tas. Buku-buku kertas tentu takut air. Maka kami disembunyikan di balik baju, terjepit di antara kolor celana dalam dan perut atau punggung. Seingatku saat itu aku masih beberapakali memakai celana dalam. Sekarang tidak lagi. He he he.

Ya saat aku masih MI, aku hanya melihat kakakku dan teman-teman yang sekolah MTs begitu repot untuk berangkat sekolah saat musim hujan. Di desaku tidak ada MTs. Sampai sekarang juga tidak ada padahal kata ibu, dulu sebelum di desa tetangga ada sekolah, di desa kami sudah ada Tsanawiyah. Dulu, di desa kamilah pusat persekolahan. Aku tidak tahu kapan mulai robohnya madarasah-madrasah itu. Mengapa sekarang hanya tinggal MI, SD, dan TK.

Seperti kebanyakan anak yang laian, setelah lulus MI, aku melanjutkan ke MTs di desa tetangga, di seberang sungai. Kami menyebutnya brang lor. Itu singkatan dari Seberang Lor alias seberang utara. Desa kami di sebelah selatan sungai. Namanya Tedunan kecamatan Wedung, kabupaten Demak. Orang-orang menyebutnya Dunan Kidul. Tambahan kata kidul tentu untuk membedakan dengan Dunan Lor. Dunan Lor alias Tedunan Lor adalah brang lor itu sendiri. Dia adalah desa di sebelah utara sungai. Ya namanya desa tedunan, kecamatan Kedung kabupaten Jepara. Kami sering iri dengan dengan Brang lor. Kelihatannya tanahnya lebih subur, sumber airnya tawar sehingga cukup banyak pohon mangga bahkan rambutan tumbuh di pekarang-pekarang rumah. Brang lor juga kelihatan lebih maju. Jalannya sudah berasapal entah sejak kapan. Seingatku sejak aku kecil jalan itu sudah bersapal. Di jalan itulah orang-orang desaku bisa menunggu angkutan untuk pergi ke kota atau setidaknya ke kecamatan. Kalau mau beli tivi ke sanalah arahnya.

Waktu masih kecil, aku dan adikku diajak bapak pergi ke Pecangaan. Aku senang sekali karena itu berarti makan enak. Hari itu hari libur. Kami naik sepeda motor bebek merah. Tapi sayang saat melewati tanjakan tanggul roda sepeda tergelincir. Sepeda motor roboh ke kiri dan kami jatuh semua. Bapak luka-luka. Jadi hari itu tidak jadi makan enak di pecangaan. Aku tidak tahu mengapa makan di luar, saat bepergian, saat itu terasa sangat nikmat. Tapi aku sudah tidak bisa menikmatinya lagi saat aku sudah sekolah di Aliyah.

Di kesempatan yang lain aku dan adik diajak ke kota. Kali ini ke Semarang. Saat itu bapak sudah tidak punya sepeda motor lagi. Tivi juga sudah tidak punya. Bapak sudah tidak dipecat dari jabatannnya sebagai kepala sekolah di MTs Pecangaan. Usaha Sablon kami juga berhenti. Saat itu bapak jadi karyawan di PT. Kami hanya menyebutnya pe-te. PT itu di sebelah barat desa. Mereka punya tambak udang windu yang luas sekali. Sepertinya bapakku bekerja di bagian administrasi. Aku tidak begitu tahu. Bapak tidak pernah cerita.

Siang itu mobil pimpinan PT mau ke Semarang. Bapak mengajak aku dan adik ikut numpang ke semarang. Kali ini tidak lewat brang lor. Kami menyusuri jalan tak bersapal ke arah timur. Kalau musim penghujan mobil tentu tidak akan bisa lewat jalan ini. Hari itu kalau tidak hari Senin, pasti hari kamis. Bapak mengajakku ke toko buku untuk membelikanku buku-buku pelajaran. Tapi di toko buku semarang tidak ada. Sepertinya kami terlalu jauh, karena ternyata di Pcangaan buku itu malah ada. Teman-temanku biasanya beli di toko buku Pecangaan. Hari semakin siang dan saatnya makan siang. Bapak mengajak kami ke warung soto. Tapi saat itu aku sedang rajin puasa. Dan aku sama sekali tidak tertarik untuk membatalkan puasa demi menikmati makan di luar rumah, di warung makan, yang dulu, saat kecil terasa begitu nikmat.

Dari perjalanan semacam itulah aku akhirnya berkenalan dengan puisi secara lebih intim. Suatu kali, berjalan-jalan di kota ke sana kemari, kami, aku, bapak dan adik, istirahat dan sholat dhuhur di masjid. Di situlah aku melihat pengumuman lomba membaca puisi. Aku tunjukkan bapak pengumuman itu tapi bapak tidak tertarik. Aku membacanya sekali lagi dan mengingat-ingat tempat pendaftarannya. Ternyata salah satu tempat pendaftarannya di stasiun radio di Jepara.

Hari berikutnya, kucuri uang kakakku yang disimpan di bawah kasur tempat tidurnya. Kutinggalkan tulisan di sesobek kertas; maaf aku ambil uang untuk ke Jepara mendaftar lomba puisi. Aku berangkat ke Jepara. Begitu jam sekolah berakhir aku tidak pulang tapi langung berangkat ke Jepara sendirian. Tidak teman yang tahu rencanaku bahkan bapak dan ibu juga tidak tahu. Begitulah aku saat itu. Mungkin sekarang juga masih begitu, he he he. Ya suka pergi diam-diam.

Jepara adalah kota yang belum aku kenal. Aku tidak tahu di sebelah mana stasiun radio RSPD. Ada pepatah bilang malu bertanya sesat di jalan. Dan seorang guru pernah menambahi pepatah itu dengan Besar kemaluan, susah berjalan. Sebenarnya aku orang yang malas atau tidak begitu tahu cara bertanya pada orang lain. Tapi akhirnya aku bisa bertanya dan kutemukan stasiun radio itu. Ternyata salah. Bukan radio itu yang menjadi salah satu tempat pendaftaran lomba puisi. Pegawai radio itu bilang mungkin di Radio Kartini. Dia dengan baik hati memberi tahuku tempat Radio kartini. Jadi, aku harus naik bus lagi, turun di terminal Jepara lalu mbecak. Sampai di stasiun aku bertanya pada tukang becak. Mereka malah menawarkan sebuah harga yang bagiku mahal saat itu. Aku hanya bawa uang pas-pasan. Lagian aku khawatir jangan-jangan aku salh lagi. Aku tidak yakin Radio kartini juga menerima pendaftaran lomba puisi itu. Maka kuputukan naik bus lagi. Nekad ke kudus. Aku sangat ingat bahwa panitia penyelenggara lomba itu adalah remaja masjid kudus.

Kudus lebih aku kenal dari pada jepara. Sudah beberpa kali bapak mengajakku ke kudus. Aku juga tahu masjid kudus yang teletak di sebalah barat simpang tujuh itu. Hari sudah sore ketika aku sampai di simpang tujuh. Setelah sholat Ashar aku mencari-cari kantor panitia lomba atau kantor remaja masjid. Semua pintu-pintu itu tetutup. Aku bertanya pada beberapa orang tapi tidak ada yang tahu. Akhirnya ada seorang yang rumah salah satu panitia loma itu. Tidak begitu jau dari masjid. Rumahnya berpagar tinggi. Aku bingung bagaiamana cara masuknya. Orang yang mengantarku, menunjuk bel di sela-sela tembok. Dia memberi isyarat agar aku menekannya lalu dia pergi. Aku sendirian, di depan pagar. Aku mulai bertanya-tanya dengan apa sebenarnya yang sedang aku lakukan. Aku mau menemui orang yang tidak aku kenal, di rumah yang demikian besar.

Seorang perempuan tua muncul. Sebelum dia bertanya aku sudah bertanya duluan. Kusebut nama perempuan yang aku cari. Dipersilahkannya aku masuk. Aku berjalan lalu berhenti, menunggu perempuan itu menutup pintu. Aku tidak tahu harus berjalan ke mana. Perempuan itu berjalan dan aku mengikutinya dengan langkah lemas dan ragu-ragu. Kami menyusuri jalan pendek berbatu yang membelah taman rerumputan dan bunga-bunga. Aku tidak dipersilahkan masuk rumah atau ruang tamu. Ada kursi-kursi di teras. Di situlah aku duduk. Menunggu dengan ragu-ragu dan menghitung-hitung dalam angan sisa uang yang ada di kantong.

Seorang gadis berjilbab keluar, tersenyum lalu bertanya dengan nada heran. Dia memang salah satu panitia lomba itu tapi dia tidak bertugas menerima pendaftaran. Dia sarankan aku ke toko Jenang kudus. Jenang kudus adalah salah satu sposnsor acara itu. Di salah satu tokonya yang tidak begitu jauh dari rumah ini juga digunakan sebagai tempat pendaftaran. Aku sudah capek. Aku ingin mendaftar pada mbak saja. Dia keberetan tapi akhirnya mau menerima tapi masalahnya dia tidak punya naskah-naskah puisi sebagai bahan lomba. Jadi, mau tidak mau aku harus ke toko jenang kudus. Memang tidak jauh tapi aku sudah malas untuk mencari-cari tempat lagi. Dia menyarankan naik becak saja. Tidak. Uangku hanya tinggal tiga ribu. Itu untuk biaya pendaftaran. Jadi, aku jalan kaki sesuai petujukknya. Jalan lurus, belok kiri, lalu belok kanan dan jalan terus sampai kutemukan toko jenang kudus di sebelah kanan jalan.

Kwitansi pendaftaran sudah ditangan. Naskah puisi yang dilombakanm sudah di tangan. Aku sudah menjadi salah satu peserta lomba baca puisi. Ini sangat menyenangkan. Ini adalah pengalaman pertamaku. Aku sangat senang. Tapi lalu bagaimana caranya pulang. Hari sudah sangat sore dan aku di Kudus. Perut kosong. Kantong kosong. Aku mulai berpikir apa yang bisa aku jual. Tak ada barang yang kubawa selain seragam yang kupakai dan ada cicin tembaga. Bisakah cicin ini dijual, kemana, laku berapa.

Aku berjalan ke arah selatan, ke arah simpang lima. Setahuku ke sanalah arah pulang. Aku berjalan di trotoar. Karyawan-karyawan pabrik rokok berbondong-bondong keluar meninggalkan pabrik. Sebagian naik sepeda, sebagian yang lain berjalan, sebagian yang lain rebutan angkutan. Aku berjalan sendirian. Sesekali kutimang-timang naskah puisi bahan lomba. Akankah aku jadi juara. Aku tidak tahu cara membaca puisi. Guru bahasa indoesiaku tidak pernah membacakan puisi.

Saat aku kelas enam, guru bahasa indonesia pernah memberi tuga murid-murid menghafalkan puisi yang bercerita tentang anak yang mengorek-ngorek tong mencari nasi. Kami maju satu persatu untuk membacakan puisi itu di depan kelas, sementara dia berbaring di atas meja minta dipijit beberapa temanku. Tapi aku merasa tahu cara membaca puisi. Kukira tidak jauh beda dengan membaca sari tilawah di pengajian-pengajian umum. Aku bisa. Aku pasti bisa. Dan aku pasti juara. Tapi sekarang aku harus pulang.

Aku ingat cerita guru antropologiku. Dia pernah bercerita tentang petulangannya. Katanya saat kehabisan ongkos dia menyetop mobil yang lewat dan bilang dengan baik-baik mau numpang. Dengan ragu-ragu aku berdiri di tepi jalan. Setiap kali ada mobil yang lewat -selain angkutan, tentu saja- aku lambaikan tangan tapi tidak pernah ada yang mau berhenti. Maka kuputuskan untuk berjalan. Ah sangat tidak mungkin berjalan kaki dari simpang tujuh Kudus sampai rumahku di Tedunan. Apalagi sebentar lagi malam. Apalagi aku tidak tahu jalan.

Aku bertanya pada orang kalau mau Sub Terminal jenak naik angkutan yang mana, ke arah mana? Ternyata tidak ada angkutan ke sana yang lewat jalan itu. Aku harus naik angkutan dua kali. Aku bingung. Benar-benar bingung. Aku tetap berjalan ke arah yang ditunjukkan orang itu.

Entah bagaimana tiba-tiba ada angkutan berhenti di sampingku. Aku terkejut. Pintu angkutan itu pas di depanku. Aku tinggal mengangkat kaki kanan sedikit, membungkukkan badan, maka masuklah aku ke angkutan kecil itu. Duduk dengan ragu dan bertanya apakah angkutan ini lewat Matahari. Benar tapi aku tidak punya untuk bayar ongkosnya. Apakah kernet itu mau kubayar dengan cincin ini. Ah tidak mungkin. Apakah dia akan marah-marah padaku karena naik angkutan tapi tidak punya uang untuk membayar. Maka setiap kali ada penumpang turun aku ingin juga ikut turun. Tapi kernet itu bilang belum sampai. Kalau mau ke Jenak turunnya di depan sana. Akhirnya sampai juga, aku turun dan kurogoh sakuku. Tentu saja tetap kosong. Tidak ada yang bisa kugenggam selain kain kantong. Kutarik saja kain kantong yang kosong itu. Kurogoh kantong yang lain. Kernet itu tak sabar menunggu. Dia buru-buru. Angkutan itu pergi membiarkanku yang berlagak seperti orang baru kecopetan.

Aku sampai di tempat yang tidak aku kenal. Ternyata aku belum sampai di Matahari. Aku bertanya pada penjaga peron. Ternyata aku harus jalan menyeberang jalan dan melintasi lapangan. Di sanalah Matahari itu. Angkutan yang menuju jenak lewat jalan di depan Matahari itu. Sebelum aku pergi aku bertanya berapa ongkosnya dari Matahari sampai ke Jetak. 400. Lalu dia langsung bertanya apakah aku punya uang. Aku menggelelng dan segera menadahkan telapak tangan kiriku di depan lubang loket kaca itu. Empat keping ratusan tergenggam erat di tangan.

Aku sampai di sub Terminal Jetak. Hari sudah mulai gelap. Aku khawatir sudah tidak ada bus jurusan Jepara. Ternyata masih ada banyak penumpang ke arah jepara. Ada satu bus penuh sesak dengan orang. Katanya bus terkahir. Aku masuk saja. Aku tidak tahu harus membayar dengan apa. Yang penting aku ikut ke utara, ke arah Pecangaan. Bus melaju dan aku sudah tidak bisa melihat kanak kiri jalan yang kami lewati. Hari sudah malam. Gelap sekali bagi mataku yang rabun ayam ini.

Kondektur mulai bergerak dari depan ke belakang. Para penumpang merogoh saku membayar ongkos. Kudekati seorang penumpang dan kutanya dia turun di mana. Aku minta tolong dia membayarkan ongkosku tapi dia bilang uangnya pas. Aku dekati penumpang lain yang juga tidak berdiri karena tidak kebagian kursi. Kutanya dia turun di mana dan kuminta membayarkan ongkosku sampai di Pecangaan. Dia diam saja. Saat kondektur menarik ongkos dia ulurkan uang. Dan aku bilang kembaliannya buat ongkosku. Kondektur itu bilang, Kurang tapi lalu meninggalkanku karena aku memakai seragam sekolah. Dia bilang, Cah sekolah kok pulang jam segini, abis nglayap dari mana, heh? Aku diam saja. Kutimang-timang gulungan kertas berwarna kuning; naskah puisi bahan lomba.

Aku adalah penumpang yang turun terakhir. Penumpang yang lain sudah turun sebelum sampai pertigaan Pecangaan. Satu titik telah terlewati sekarang tinggal satu perjalanan lagi. Bagaimana aku bisa pulang dari Pecangaan ke Tedunan. Angkutan sudah tidak ada. Ojek sangat mahal. Setelah solat magrib di masjid, aku berjaan dengan langkah lemas dan bingung. Lalu ada sebuah kebetulan. Kulihat pamanku sedang berdiri di depan salah satu toko. Akhirnya sampai juga aku di rumah dengan selamat saat terdengar lantunan lagi-lagu arab dari albarjanzi. Saat malam jumat.

Ah kirinya ini sudah terlalu panjang untuk dikirim di milis. Padahala cerita ini belum selesai. Sebenarnya aku mau bercerita tentant perkenalankku dengan puisi, tapi cerita di atas sebagai pembuka sepertinya terlalu panjang dan melebar ke sana ke mari. Jadi, begini singkat ceritanya. Ya dulu aku pernah ikut lomba baca puisi dan aku tidak tahu hasilnya, itu berarti aku tidak juara. Saat latihan, aku sangat pusa dan heran dengan kemampuanku sendiri dalam membaca puisi dengan indah, tapi saat sebelum diundang dewan juri untuk naik panggung dan membaca puisi aku sudah tidak yakin bisa menang. Ternyata peserta lain lebih hebat dariku. Tapi aku tidak begitu berkecil hati, ada juga yang cara membaca puisinya lebih jelek dariku.

Setelah itu aku pernah dipinjami kaset pembacaan puisi. Aku dengar rendra dan para penyair yang lain membaca puisi. Aku setel kaset itu berulang-ulang. Akhirnya kutulis puisi-puisi yang mereka bacakan dalam buku tulis bergaris. Semuanya tentang bosnia, tentang bangsa yang terjajah. Sesekali aku coba membaca puisi-puisi itu dengan menirukan gaya baca dalam kaset itu.

Di saat yang lain, saat ada peringatan hari besar Islam di madrasah, aku tampil ke depan untuk membacakan beberapa puisi Gus Mus di saat istirahat. Di saat yang lain aku bersama beberapa murid MTs, tampil pada acara peringatan hari besar Islam yang lain. Saat itu kami bacakan satu puisi panjang karya suami bibiku.

Saat-saat itulah (masa-masa Aliyah) aku mencoba menulis puisi. Lalu saat kuliah beruntung sekali bertemu dengan Luthfi dan teman-teman KPKP yang lain. Di situlah aku belajar menulis puisi. Tapi saat itu aku semakin tidak percaya diri. Aku merasa tidak bisa menulis puisi. KPKP alias kelompok pencinta kabeh-kabeh puisi akhirny berubah menjadi namanya menjadi pondoh. Tapi akhirnya pondoh seakan mati padahal aku merasa belum bisa menulis puisi. Berkali-kali kupinjam buku kumpulan puisi, seringkali aku tidak bisa menikmatinya. Tapi mengapa aku tetap ingin bisa menulis puisi? Aku tidak tahu.

Di saat yang lain aku punya kesempatan bisa bertemu dengan Iman Budhi Santoso, Asa Jatmiko dan kawan-kawan, tapi aku tidak sempat belajar bagaimana cara menulis puisi dari mereka. Akhirnya aku bertemu dengan Hasta Indriyana. Aku sempat bertanya padanya. Dia bilang menulis puisi seperti membuat kursi. Itu saja. Kubaca bukunya yang berjudul, Tuhan, aku lupa menulis sajak cinta. Tidak semuanya bisa kunikmati tapi setelah membaca beberapa puisinya, kucoba menulis puisi lagi.

Daun kering
Tersepak-sepak, teinjak-injak lari kaki-kaki buru-buru
Remuk

Aku daun kering rindu angin
Sepoi meniupku melayang menari meninggi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKOKOHLAH BAHTERAMU

🌹Ramadhan ke-7 PERKOKOHLAH BAHTERAMU, KARENA SAMUDRA ITU DALAM 🍃🌾Rasulullah pernah berpesan pada Abu Dzar tentang tiga hal. Kata Rasul, “Wahai Abu Dzar, perkokohlah bahteramu, karena samudra itu dalam. Perbanyaklah bekalmu karena perjalanan itu panjang. Ikhlaskanlah amalmu, karena pengintaimu sangat jeli.” ⛵️⛵️Pertama, perkokohlah bahteramu karena samudra itu dalam. Dalamnya samudra itu mengandung resiko. Jika tenggelam, kita bisa mati. Samudra yang dalam itu juga penuh rahasia. Kita tidak pernah tahu ada apa saja di dalamnya. Karang yang besar atau ikan yang buas, sewaktu-waktu bisa mencelakai kita. Karena itu, pengarung samudra yang dalam memerlukan bahtera yang kuat, yang bisa melindungi penumpangnya dari resiko tersebut. ⛵️⛵️Inilah analogi hidup manusia. Hidup manusia di dunia ibarat hidup di tengah samudra yang dalam tersebut. Mempersiapkan bahtera yang kuat berarti mempersiapkan segala hal yang bisa membuatnya bertahan dan mudah mencapai tujuan hidupnya, yaitu akhirat. Tan

Jangan Marah, Ya!

Jangan Marah, Ya! Sebuah Naskah Pidato Singkat untuk siswa MI Assalamu’alaikum Wr. Wb. Bapak-Ibu Guru yang saya hormati, Adik, Kakak, dan teman-teman semua yang saya sayangi. Pertama, Marilah kita berterima kasih kepada Allah Yaitu dengan membaca Hamdalah. Alhamdu.....lillah. Terima kasih Ya. A....llah. Telah kau beri kami A....kal. Sehingga kami dapat bela...jar. Bukan kurang a... jar. Alhamdu....lillah. Kedua, Mari kita membaca sholawat. Allahumma Sholli Ala Muhammad! Bapak-Ibu Guru yang saya hormati, Adik, Kakak, dan teman-teman semua yang saya sayangi. Siapakah yang ingin masuk surga? Ya. Kita semua, pasti, ingin masuk surga. LA TAGHDHOB WALAKAL JANNAH Janganlah marah, maka kamu akan masuk sur...ga. Orang yang ingin masuk surga, maka dia tidak boleh ma..... rah. Walaupun tidak naik kelas, tidak boleh ma.... rah Walaupun tidak dibelikan seragam baru tidak boleh ma.... rah Walaupu

Doa Mohon Belas Kasihan Allah

رَبِّ إِنِّىٓ أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَسْـَٔلَكَ مَا لَيْسَ لِى بِهِۦ عِلْمٌ ۖ وَإِلَّا تَغْفِرْ لِى وَتَرْحَمْنِىٓ أَكُن مِّنَ ٱلْخَٰسِرِينَ Rabbi innii a'uudzu bika an as-alaka maa laysa lii bihi 'ilmun wa-illaa taghfir lii watarhamnii akun mina alkhaasiriin Ya Tuhanku, sungguh aku berlindung kepada-Mu untuk memohon kepada-Mu sesuatu yang aku tidak mengetahui hakikatnya. Kalau Engkau tidak mengampuniku, dan tidak menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku akan termasuk orang-orang yang merugi (Hud 47) Aamiin