Aduuuh. Ayo dong. Mana? Ke sini . Ayo. Ayolah. Nunggu apa sih. ayo. kemarilah. datang. datanglah kemari. mendekatlah........
Seorang bocah bertanya-tanya tentang beras menumpuk di sudut rumah. Beras itu bukan hasil panen dari sawah. Kali ini gagal panen. Tiga kali tanam, kobong sekali, dan kebanjiran dua kali. Yang nggarap bukan aku. bukan pula kakak apalgi ibuku. Sebenarnya aku ingin juga nggarap sawah sendiri, ya dari pada disuruh nnggarap orang lain dengan sistem maro. Aku kasihan dengan yang nggarap. Mereka harus keluar biaya padahal panennya sangat sulit ditebak. Coba kalau seperti sekarang ini gimana. Penggarap sudah keluar biaya dan tenaga untuk ngluku, nyebar bibit dan tandur. Ibu paling hanya membantu membelian pupuk. Tapi apa hasilnya? tidak ada sama sekali. Semua hilang.
Dan sekarang, di malam lebaran, orang-orang datang ke rumahku untuk memberikan zakat fitrahnya. Mengapa fitrah itu dibawa ke sini. Mengapa diberikan kepada ibu? Bukankah lebih tepat kalau diberikan pada para tetangga yang lebih miskin. Aku yakin mereka ke sini bukan karena ibuku adalah janda. Ini terjadi sebelum bapak meninggal. Ketika bapak jadi guru toriqot, para muridnya setiap lebaran memberikan zakatnya kepada bapak. dan setelah bapak meninggal masih ada sebagian dari mereka yang memberikan zakat kepada ibu.
Aku merasa ini kurang tepat. Begitu juga permintaan madrasah-madrasah pada murid-muridnya untuk memberikan pada salah seorang guru yang nantinya akan mensedekahkan hasil penerimaan zakat itu kepada madrasah. Ya, madarasah butuh sumber dana. tapi kukira tidak boleh mengahalalkan segala cara. Apa lagi dengan main kucing-kucingan dengan tuhan macam gini. bukankah tuhan tidak pernah bilang berikanlah zakatmu ke madrasah?
Madrasah butuh dana, tapi kalau ada orang wakaf tanah kebanyakan kepada masjid. Mengapa ya orang-orang lebih sering bersedekah pada masjid atau kyai. Para ustadz juga gelisah dengan ini. Mengapa hampir tidak ada orang yang waqaf tanah pada madrasah? Mengapa selalu saja kalau ada yang wakaf pasti diserahkan pada masjid. Begitu juga sedekah. Masjid diam-diam saja, hampir tiap jumat selalu ada orang yang sedekah seratus ribu bahkan lebih. Di madarasah hampir tidak pernah.
Masjid sangat dilihat atau dianggap punya hubungannya yang jelas dengan agama, dengan tuhan. Sementara madarasah tidak. Apalagi orang biasa. Ada yang salahkah dengan firman tuhan? Atau jangan-jangan penyampaian para kyai itu yang kurang tepat. Kalau kyai hanya mempromosikan masjid dan ustad mempromosikan madrasahnya lalu siapa yang mempromosikan para faqir miskin?
mana microfonnya. mana mimbarnya. ayo berikan pada mereka. biar mereka yang bicara.
He apa yang dilakukan oleh kepala desa? Ah dia hanya sibuk memerintah warga bersih-bersih ketika ada kunjungan pejabat je desa. Para pamong ribut sendiri bila ada jatah bantuan untuk desa. Kalau ada bantuan, semua mengaku miskin. Kalau ada penarikan sumbangan semua juga mengaku miskin. Jadi kaya kok nggak mau.
Repoooot. Membagi sesuatu yang gratis memang repot.
ayo yang salah apanya. heh siapa yang salah. Tentunya bukan hanya orangnya. Mengapa mereka jadi begini? Apa penyebabnya? Salahkah mungkin pedoman hidupnya salah. Mereka mau hidup kaya. Semua serba enak. Semua orang tentu ingin bahagia. bahagia itu seperti apa? ya bebas. mau berbuat apa saja bisa. mau beli apa saja mau. mau apa saja tinggal ambil tidak usah beli. tidak perlu repot. kalau bisa ada yang melayani.
Para priyayi gadungan. Antri beras saja diambilkan tetangga. Apa-apaan ini. Manja.
Terkutuklah aku. bangsat.
hei apa yang kau berikan pada mereka. pada para tetanggamu yang snagat baik hati itu?
Kau jual kemiskinananya?
ayo. ayo. ayo kampret!!!!!!!!!
Bahagia yang masuk surga. kalau mau masuk surga ya rajin ibadah rajin sodakoh. Tapi mereka kadang lupa dengan tetangga yang tidak bisa makan.
iki piyeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee????????????????????????????????????????????????????????
Seorang bocah bertanya-tanya tentang beras menumpuk di sudut rumah. Beras itu bukan hasil panen dari sawah. Kali ini gagal panen. Tiga kali tanam, kobong sekali, dan kebanjiran dua kali. Yang nggarap bukan aku. bukan pula kakak apalgi ibuku. Sebenarnya aku ingin juga nggarap sawah sendiri, ya dari pada disuruh nnggarap orang lain dengan sistem maro. Aku kasihan dengan yang nggarap. Mereka harus keluar biaya padahal panennya sangat sulit ditebak. Coba kalau seperti sekarang ini gimana. Penggarap sudah keluar biaya dan tenaga untuk ngluku, nyebar bibit dan tandur. Ibu paling hanya membantu membelian pupuk. Tapi apa hasilnya? tidak ada sama sekali. Semua hilang.
Dan sekarang, di malam lebaran, orang-orang datang ke rumahku untuk memberikan zakat fitrahnya. Mengapa fitrah itu dibawa ke sini. Mengapa diberikan kepada ibu? Bukankah lebih tepat kalau diberikan pada para tetangga yang lebih miskin. Aku yakin mereka ke sini bukan karena ibuku adalah janda. Ini terjadi sebelum bapak meninggal. Ketika bapak jadi guru toriqot, para muridnya setiap lebaran memberikan zakatnya kepada bapak. dan setelah bapak meninggal masih ada sebagian dari mereka yang memberikan zakat kepada ibu.
Aku merasa ini kurang tepat. Begitu juga permintaan madrasah-madrasah pada murid-muridnya untuk memberikan pada salah seorang guru yang nantinya akan mensedekahkan hasil penerimaan zakat itu kepada madrasah. Ya, madarasah butuh sumber dana. tapi kukira tidak boleh mengahalalkan segala cara. Apa lagi dengan main kucing-kucingan dengan tuhan macam gini. bukankah tuhan tidak pernah bilang berikanlah zakatmu ke madrasah?
Madrasah butuh dana, tapi kalau ada orang wakaf tanah kebanyakan kepada masjid. Mengapa ya orang-orang lebih sering bersedekah pada masjid atau kyai. Para ustadz juga gelisah dengan ini. Mengapa hampir tidak ada orang yang waqaf tanah pada madrasah? Mengapa selalu saja kalau ada yang wakaf pasti diserahkan pada masjid. Begitu juga sedekah. Masjid diam-diam saja, hampir tiap jumat selalu ada orang yang sedekah seratus ribu bahkan lebih. Di madarasah hampir tidak pernah.
Masjid sangat dilihat atau dianggap punya hubungannya yang jelas dengan agama, dengan tuhan. Sementara madarasah tidak. Apalagi orang biasa. Ada yang salahkah dengan firman tuhan? Atau jangan-jangan penyampaian para kyai itu yang kurang tepat. Kalau kyai hanya mempromosikan masjid dan ustad mempromosikan madrasahnya lalu siapa yang mempromosikan para faqir miskin?
mana microfonnya. mana mimbarnya. ayo berikan pada mereka. biar mereka yang bicara.
He apa yang dilakukan oleh kepala desa? Ah dia hanya sibuk memerintah warga bersih-bersih ketika ada kunjungan pejabat je desa. Para pamong ribut sendiri bila ada jatah bantuan untuk desa. Kalau ada bantuan, semua mengaku miskin. Kalau ada penarikan sumbangan semua juga mengaku miskin. Jadi kaya kok nggak mau.
Repoooot. Membagi sesuatu yang gratis memang repot.
ayo yang salah apanya. heh siapa yang salah. Tentunya bukan hanya orangnya. Mengapa mereka jadi begini? Apa penyebabnya? Salahkah mungkin pedoman hidupnya salah. Mereka mau hidup kaya. Semua serba enak. Semua orang tentu ingin bahagia. bahagia itu seperti apa? ya bebas. mau berbuat apa saja bisa. mau beli apa saja mau. mau apa saja tinggal ambil tidak usah beli. tidak perlu repot. kalau bisa ada yang melayani.
Para priyayi gadungan. Antri beras saja diambilkan tetangga. Apa-apaan ini. Manja.
Terkutuklah aku. bangsat.
hei apa yang kau berikan pada mereka. pada para tetanggamu yang snagat baik hati itu?
Kau jual kemiskinananya?
ayo. ayo. ayo kampret!!!!!!!!!
Bahagia yang masuk surga. kalau mau masuk surga ya rajin ibadah rajin sodakoh. Tapi mereka kadang lupa dengan tetangga yang tidak bisa makan.
iki piyeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeee????????????????????????????????????????????????????????
Komentar