Langsung ke konten utama

Metodologi Fikih Nusantara

Metodologi Fikih Nusantara
(Kamis, 06/08/2015 21:12)
Oleh: Zainul Mun’im Hasan

Muktamar ke-33 NU yang diselenggarakan di empat pesantren Jombang yang menjadi cikal-bakal dan saksi atas lahirnya Nahdlatul Ulama, yakni pesantren Tebuireng, Tambak Beras, dan Denanyar mengangkat sebuah tema yang. NU sengaja memilih tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia” sebagai modal awal mengkampanyekan Keislaman ala Nusantara yang sedang diupayakan akhir-akhir ini.

Terlepas dari diskusi dan perdebatan panjang tentang status epistemologis dan ontologis Islam Nusantara tersebut secara umum, tulisan ini hendak mendiskusikan tentang metodologi fikih-nya; fikih ala Nusantara. Penulis beranggapan hal ini penting untuk didiskusikan karena metodologi fikih (usulul fiqh) dan produk hukumnya (fiqh) merupakan manifestasi Islam yang paling empiris dan dinamis sampai saat ini, khususnya dalam masalah sosial-keagamaan. Hal ini dapat dipahami dari penjelasan para ulama seperti Wahbah Zuhaili dalam al-Usul al-fiqh al-Islami, bahwa aspek aksiologis (kegunaan) metodologi fikih (usulul fiqh) di antaranya adalah untuk mengetahui hukum-hukum dan mengamalkannya di tengah realitas sosial yang akan selalu berkembang di setiap wilayah. Oleh karena itu, ia niscaya bersifat dinamis yang selalu menyesuaikan terhadap kemaslahatan umat di berbagai daerah yang memiliki realitas sosial yang beragam. Keniscayaan tersebut termanifestasikan dalam konsep ‘urf, kearifan lokal, atau adat-istiadat yang menjadi salah satu teori dalam metodologi fikih yang menjadikan adat-istiadat –selama tidak bertentangan dengan prinsip syari’at- sebagai salah satu pertimbangan dalam menetapkan hukum.

Konsep dan pertimbangan inilah yang di kemudian hari melahirkan kaidah fikih al-‘adatu muhakkamah (pertimbangan adat-istiadat dapat menjadi dasar hukum atas suatu peristiwa) dan kaidah al-hukmu yataghayyar bi taghayyuril azminah wal amkinah wal ahwal wal ‘adat (pertimbangan hukum berubah mengikuti perubahan waktu, tempat, kondisi, dan adat-istiadat). Maka, tidak berlebihan bila para pakar berpandangan bahwa yang menjadikan Islam tetap relevan di sepanjang zaman (salihun likulli zaman wa makan) adalah nilai-nilai dan norma-norma yang dihasilkan dari metodologi fikih yang selalu menyesuaikan dengan kebutuhan zaman tersebut.

Dengan demikian, mendiskusikan tentang Islam tidak mungkin terselesaikan bila kajian fikih dan metodologinya tidak diikutsertakan. Begitu juga dalam tataran yang lebih spesifik; konsep Islam Nusantara terasa tidak akan “sempurna” bila tidak mengikut-sertakan kajian tentang bagaimana metodologi fikih ala Nusantara di dalamnya dikonstruksi. Sebut saja bagaimana Islam Nusantara dengan metodologi fikihnya merespon dan menyikapi asas tunggal Pancasila? Bagaimana Islam Nusantara menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada dalil validnya dalam al-Qur’an dan Sunnah? Apakah Islam Nusantara akomodatif terhadap kearifan lokal yang hidup di tengah realitas sosial masyarakat Nusantara itu sendiri? Dan yang jarang dipertanyakan dan didiskusikan oleh berbagai kalangan, yaitu bagaimana Islam Nusantara dengan metodologi fikihnya menyikapi permasalahan lingkungan dan sumber daya alam (SDA) di Indonesia yang semakin hari semakin dieksploitasi oleh pihak kapitalis? Semua pertanyaan tersebut wajar untuk diajukan selama Islam Nusantara belum memiliki atau minimal belum menjelaskan bagaimana metodologi fikihnya diaplikasikan untuk kemudian diterapkan.

Penulis tidak berkeyakinan dengan melalui tulisan ini akan lahir metodologi fikih yang telah mapan dan dapat diterapkan di Nusantara, akan tetapi paling tidak, tulisan ini sedikit banyak dapat berperan dalam membentuk metodologi fikih yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan muslim Nusantara (Indonesia) dan tetap berkhaskan keislaman Nusantara.

Status Quo Fikih Syafi’iyyah
Cendekiawan Muslim Indonesia yang sekaligus Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Azyumardi Azra dalam tulisannya di Republika pada tanggal 25 Juni lalu menjelaskan bahwa Islam Nusantara merupakan Islam distingtif dengan Islam di daerah lainnya, yang dalam teologi bermazhab Asy’ariyah, dalam tasawuf mengikuti tokoh al-Ghazali, dan dalam fikih mengikuti mazhab Syafi’iyyah. Apa yang dijelaskan oleh Azyumardi tersebut bukan tanpa bukti. Dalam tradisi pesantren yang dianggap sebagai basis Islam Nusantara, kita dapat ‘merasakan’ bagaimana pendapat-pendapat hukum (ulama) mazhab Syafi’iyyah menjadi rujukan utama dalam bahtsul masail atau diskusi hukum sampai saat ini. Hal ini dapat dipahami dari metode yang paling dominan digunakan ketika ditemukan dua pendapat hukum yang berbeda dalam sebuah diskusi hukum, yakni metode tarjih (memilih satu pendapat hukum dari berbagai pendapat hukum yang saling bertentangan dalam satu masalah yang sama).

Ketika dihadapkan pada beragam pendapat hukum antar mazhahib (mazhab-mazhab) yang saling bertentangan, para santri diharuskan memilih pendapat hukum dari para ulama Syafi’iyyah. Ketika pertentangan pendapat tersebut terdapat di antara ulama Syafi’iyyah, maka pendapat Imam Nawawi dan Imam Rafi’i menjadi pendapat yang paling valid. Begitu juga seterusnya, ketika pertentangan hukum tersebut terjadi di antara Imam Nawawi dan Imam Rafi’i, maka pendapat Imam Nawawi yang diunggulkan. Pemilihan Imam Nawawi bukan tanpa alasan, ia dipilih karena dianggap sebagai muharrir mazhab Syafi’i. Di tangan ulama ini pikiran-pikiran Imam Syafi’i dan pakar-pakar pengikutnya terseleksi. Bahkan, Zayn al-Iraqi berpendapat bahwa Imam Nawawi merupakan orang pertama yang menerapkan kajian kritis terhadap sebuah hadits dalam karya-karyanya. Hal ini merupakan salah satu kontribusi Imam Nawawi yang dinilai penting melebih kontribusi Imam Rafi’i. Selain itu, Imam Suyuti berpendapat bahwa salah satu karya al-Nawawi, Rawdah dan Minhaj di kemudian hari dijadikan sebagai salah satu rujukan para ahli hukum Syafi’iyyah dalam mengkaji doktrin hukum yang memiliki perbedaan dengan mazhab lainnya.

Metode Tarjih (pengunggulan) ini menunjukkan bahwa dalam tradisi pesantren, hierarki kevalidan sebuah pendapat hukum bergantung kepada tokoh yang menyatakan pendapat tersebut (mujtahid). Metode tarjih ini juga menjadi tradisi dalam bahtsul masail Nahdlatul Ulama. Meskipun NU mengakui Al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang utama, akan tetapi dalam prakteknya penetapan hukum banyak berdasarkan pendapat hukum para fuqaha’ (ahli hukum).

Hal ini dapat dilihat dari proses fatwa pada Muktamar pertama tahun 1926, ulama NU sepakat menjawab pertanyaan “Apakah wajib bagi seorang Muslim untuk mengikuti mazhab yang empat?” dengan jawaban: “Sekarang, wajib bagi seorang Muslim untuk mengikuti salah satu dari Imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.” Jawaban ini berdasarkan pada kitab al-Mizanusy Sya’rani, al-Fatwa al-Kubra, dan Nihayatul Usul. Lebih lengkapnya, proses fatwa bahtsul masail Nahdlatul Ulama dapat dilihat dalam buku Ahkamul Fuqaha: Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004).

Metode tersebut menyimpulkan bahwa mayoritas fikih di Nusantara lebih bercorak ijtihad qauli, yakni upaya penemuan hukum dengan berdasarkan langsung kepada pendapat-pendapat para ulama, khususnya dalam mazhab Syafi’iyyah. Ijtihad ini semakin menunjukkan bahwa mazhab Syafi’iyyah memiliki status quo dalam dunia fikih Nusantara. Pada akhirnya, bermazhab Syafi’iyyah dalam fikih menjadi karakteristik baku Islam Nusantara. Padahal, dalam perdebatan para ushuliyyin (para pakar metodologi fikih), mazhab qauli ini tidak lepas dari berbagai permasalahan, khususnya dewasa ini. Di antaranya adalah produk hukum yang dihasilkan dari ijtihad para ulama terdahulu belum tentu sesuai untuk kemaslahatan saat ini.

Secara kultural, fikih klasik (khususnya mazhab Syafi’iyyah) yang cenderung menjadi rujukan utama dalam dunia fikih Nusantara lahir dari kebutuhan masyarakat abad pertengahan dalam wilayah dan konteks budaya tertentu (Timur Tengah dan Asia Barat), sedangkan kita (Muslim Nusantara) hidup dan tumbuh di wilayah dan konteks budaya lain yang bisa jadi berbeda. Maka sangat niscaya bila sebagian dari produk-produk hukumnya merupakan cerminan kepentingan dari wilayah dan masa tersebut, bukan untuk wilayah dan masa saat ini.

Hal ini juga yang membuat Imam Syafi’i memiliki pendapat hukum yang berbeda yang dikenal dengan istilah qaul qadim (pendapat lama) yakni pendapat Imam Syafi’i ketika masih Baghdad, Irak, dan qaul jadid (pendapat baru) yakni pendapat Imam Syafi’i ketika sudah pindah ke Mesir, meski sebagian para ulama seperti Nahrawi Abdus Salam dalam kitabnya al-Imam al-Syafi’i fi Madzabihi al-Qadim wa al-Jadid berpendapat bahwa qaul qadim merupakan pendapat yang terpilih karena dihasilkan melalui pengembaraan panjang selama 25 Tahun. Namun sebagian ulama lainnya, seperti yang dijelaskan oleh Abu Zahrah dalam al-Syafi’i: Hayatuhu wa ‘Ashruhu wa Ara`uhu wa Fiqhuhu, berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara pendapat Imam Syafi’i di Mesir dengan pendapatnya ketika masih di Baghdad, Irak. Dengan demikian, Secara sosiologis, tidak dapat dielakkan bahwa salah satu faktor perubahan pandangan hukum Imam Syafi’i adalah faktor budaya.

Dewasa ini, telah terjadi transformasi metodologis fikih dalam dinamika Islam Nusantara. Bahtsul Masail dan diskusi hukum tidak lagi selalu berdasarkan kepada nash fuqaha (pendapat para ahli hukum) yang termaktub dalam kitab-kitab otentik (kutubul mu’tabarah), akan tetapi para ulama Nusantara lebih berani dengan berijtihad secara kolektif (ijtihad ijtima’i) dengan menggunakan seperangkat metode-metode mazhab yang empat. Dengan kata lain, meski masih minim, namun telah terjadi transformasi dari proses mazhab qauli (bermazhab secara leterlek) menuju proses mazhab manhaji (bermazhab secara metodologis).

Dari Mazhab Qauli menuju Mazhab Manhaji
Mazhab manhaji berarti bermazhab secara metodologis. Artinya produktif berijtihad, akan tetapi tetap dalam garis-garis metodologis yang telah ditetapkan dalam mazhab tersebut. Hakikatnya, gagasan untuk hijrah dari mazhab qauli (bermazhab secara leterlek) menuju mazhab manhaji (bermazhab secara metodologis) bukan merupakan ide baru dalam dunia fikih internasional. Gagasan ini telah dipraktekkan oleh Imam Nawawi pada abad ke 7 Hijriyah atau bertepatan pada abad ke 13 Masehi, hanya saja pada saat itu mazhab manhaji hanya digunakan sebagai solusi masalah perbedaan pendapat hukum dari para ulama Syafi’iyyah. Pada saat itu, Imam Nawawi hendak mendamaikan berbagai pandangan dan aliran metodologi dalam mazhab Syafi’iyyah (aliran Khurasan dan aliran Irak). Dalam rangka untuk melakukannya, ia mengkaji karya-karya setiap aliran/madrasah, lalu mengkaji metodologi dan analisis hukumnya, lalu kemudian memberikan kesimpulan dan pendapatnya sebagai representasi mazhab Syafi’iyyah. Adapun tokoh yang oleh Imam Nawawi dianggap sebagai representasi dari kelompok Khurasan adalah Imam Ghazali dan dari kelompok Irak adalah Imam Shirazi. Hal ini juga dapat dilihat dari karya Imam Nawawi yang berjudul al-Majmu’ Sharh al-Muhadhdhab dan Tashih al-Tanbih yang berisi komentar terhadap karya Imam Shirazi yang berjudul al-Muhadhdhab dan al-Tanbih. Sedangkan karyanya yang berjudul Rawda dan Minhaj berisi komentar terhadap dasar hukum tokoh-tokoh Khurasan. Guna menganalisis metode penalaran antara aliran Irak dan Khurasan, Imam Nawawi menggunakan ijtihad manhaji (bermazhab secara metodologis). Pemahamannya yang mendalam atas metodologi fikih Imam Syafi’i menjadi dasar menganalisis perbedaan kedua pendapat hukum aliran tersebut untuk kemudian mencari solusi yang paling sesuai dengan metodologi fikih Imam Syafi’i, bukan produk hukumnya.

Baru akhir-akhir ini ide untuk beralih pada ijtihad manhaji tidak hanya sebagai metode tarjih, akan tetapi juga sebagai metodologi penetapan hukum Islam atas berbagai permasalahan, muncul. Di Indonesia, diawali dengan gagasan fikih sosial KH Sahal Mahfudz dengan buku Metodologi Fikih Sosial. Dalam pidato pengukuhan gelar Doktor Honoris Causa di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, KH. Sahal Mahfudz menyampaikan bahwa fikih sosial yang beliau gagas memiliki lima ciri pokok. Salah satunya adalah transformasi dari bermazhab secara tekstual (madzhab qauli/ ijtihad qauli) ke bermazhab secara metodologis (madzhab manhaji/ijtihad manhaji).

Penulis berpandangan bahwa berijtihad secara metodologis atau manhaji merupakan upaya untuk membentuk fikih Nusantara, yakni fikih yang lebih adaptif terhadap kearifan lokal Nusantara/Indonesia dan sesuai dengan kemaslahatan Muslim Indonesia. Ada beberapa alasan untuk pandangan ini: Pertama, untuk tujuan pengembangan fikih, para ulama klasik, khususnya Mazhab yang empat (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanbaliyyah) telah menyediakan seperangkat metode-metode ijtihad yang kokoh dan kaidah-kaidah ushuliyyah dan fiqhiyyah yang teruji. Metodologi fikih atau ushul fikih yang ditawarkan oleh para ulama klasik terbukti mampu menjadi solusi penetapan hukum berbagai persoalan baik yang terkait dengan sosial-politik dan budaya, bahkan lingkungan hingga kini. Semisal mazhab Hanafiyyah dengan metodologi istihsan, mazhab Malikiyyah dengan metodologi istislah atau maslahah mursalah, Mazhab Syafi’iyyah dengan metodologi qiyas, dan Mazhab Hanbaliyyah dengan metodologi istihsab-nya. Terlepas dari perbedaan di antara keempat mazhab tersebut, sampai saat ini belum ada yang mampu menyamai metodologi-metodologi tersebut dalam hal produktifitas hukum yang mereka hasilkan.

Alasan kedua adalah adaptif terhadap kearifan lokal dan tradisi dalam setiap proses ijtihadnya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ijtihad manhaji adalah ijtihad dengan berdasarkan kepada metodologi-metodologi mazhab empat, oleh karena ia disebut juga dengan mazhab manhaji, yakni bermazhab secara metodologis. Dengan demikian, bermazhab atau berijtihad semacam ini meniscayakan sebuah ijtihad murni terhadap persoalan-persoalan yang terjadi di Nusantara dengan mempertimbangkan kearifan lokal, tradisi, atau adat-istiadat. Hal ini karena metodologi yang digunakan adalah metodologi fikih mazhab yang empat (madzahibul arba’ah) yang secara sosiologis sangat adaptif terhadap anasir-anasir budaya sebagai salah satu pertimbangan lokal sebuah hukum. Semisal metode ‘urf yang dimiliki oleh semua mazhab empat, meski dengan konsep yang berbeda. Dengan demikian, bermazhab secara metodologis atau manhaji merupakan upaya untuk melahirkan produk hukum (fiqh) yang lebih bermaslahat bagi Muslim Nusantara dan lebih bercorak Nusantara, bukan bercorak Arab.

Alasan ketiga adalah metodologi yang dipakai tetap mencirikan keislaman Muslim Nusantara, yakni salah satunya dalam fikih mengikuti mazhab Syafi’iyyah atau lebih umumnya mengikuti mazhab yang empat (madzahibul arba’ah). Pertimbangan ini penting, karena dengannya, upaya untuk melahirkan fikih yang lebih sesuai dengan realitas Nusantara tidak lantas harus menegasikan karakteristik keislaman Nusantara yang sudah dikenal di dunia Internasional sebagai pengikut mazhab Syafi’iyyah.

Dengan pertimbangan-pertimbangan di atas semua, transformasi dari pola bermazhab dan berijtihad qauli (tekstual) menuju pola manhaji (metodologis) merupakan upaya untuk mengkontekstualkan ajaran-ajaran Islam dalam kondisi sosial di berbagai tempat dan zaman. Bermazhab secara metodologis di China, maka akan melahirkan produk fikih yang bercorak China. Begitu juga di Nusantara, maka akan melahirkan produk fikih yang penuh dengan nuansa budaya Nusantara, tentunya dengan tetap melihat aspek kemaslahatannya. Berbeda dengan bermazhab secara manhaji, bermazhab qauli atau secara tekstual tidak adaptif dan hampa budaya, karena kita akan selalu berdasarkan langsung kepada pendapat-pendapat para ahli hukum (fuqaha) klasik yang sebagian dianggap sudah tidak relevan dengan budaya dan aspek kemaslahatan yang kita tuntut saat ini, karena perbedaan letak geografis, waktu, dan tentu budaya yang tumbuh di dalamnya. Dengan demikian, bermazhab secara manhaji atau metodologis merupakan cara dan upaya paling kuat untuk melahirkan fikih Nusantara, yakni fikih yang mempertimbangkan kemaslahatan di Nusantara tanpa harus menegasikan karakteristiknya. Waallahu ‘alam bisshawab...

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta dan Anggota Komunitas Islam Nusantara Indonesia

Lihat Komentar

Artikel terkait:
Kegembiraan Muktamar Ke-33 NU (Senin, 03/08/2015 14:30)
Mabadi ‘Asyrah Islam Nusantara (Sabtu, 01/08/2015 16:00)
Islam Merangkul Nusantara (Jum'at, 31/07/2015 06:00)
Mengaji Islam Nusantara Sebagai Islam Faktual (Kamis, 30/07/2015 14:00)
Membangun Epistemologi Islam Nusantara (Rabu, 29/07/2015 10:30)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKOKOHLAH BAHTERAMU

🌹Ramadhan ke-7 PERKOKOHLAH BAHTERAMU, KARENA SAMUDRA ITU DALAM 🍃🌾Rasulullah pernah berpesan pada Abu Dzar tentang tiga hal. Kata Rasul, “Wahai Abu Dzar, perkokohlah bahteramu, karena samudra itu dalam. Perbanyaklah bekalmu karena perjalanan itu panjang. Ikhlaskanlah amalmu, karena pengintaimu sangat jeli.” ⛵️⛵️Pertama, perkokohlah bahteramu karena samudra itu dalam. Dalamnya samudra itu mengandung resiko. Jika tenggelam, kita bisa mati. Samudra yang dalam itu juga penuh rahasia. Kita tidak pernah tahu ada apa saja di dalamnya. Karang yang besar atau ikan yang buas, sewaktu-waktu bisa mencelakai kita. Karena itu, pengarung samudra yang dalam memerlukan bahtera yang kuat, yang bisa melindungi penumpangnya dari resiko tersebut. ⛵️⛵️Inilah analogi hidup manusia. Hidup manusia di dunia ibarat hidup di tengah samudra yang dalam tersebut. Mempersiapkan bahtera yang kuat berarti mempersiapkan segala hal yang bisa membuatnya bertahan dan mudah mencapai tujuan hidupnya, yaitu akhirat. Tan
Minggu 1 Agustus  2004 yuli dah pergi dan aku merasa belum memberinya apa-apa.  sayang kami tidak akan pernah bertemu lagi. Aku hanya ada satu kemungkinan untuk bertemu dengan kembarannya... aku harus menunggu setahun lagi. padahal bisa saja besok pagi aku mati. Kau tahu semakin banyak kendaraan yang melaju dengan cepat di jalan. setiap kali menyebrang jalan maka aku harus bersiap untuk masuk ke duani kematuian. Kau juga tahu semakin banyak pisau yang diasah untuk melukai dan membunuh orang lain dengan berbagai tujuan....kau lihat tubuhku.... kurus, trinkih... sebuah sasaran yang mudah ditaklukan hanya dengan pelototan mata yang menyeramkan... bisa saja saat aku menyapamu tiba-tiba ada peluru nyasar yang bisa membunuhku seketika... yang pasti aku tidak bisa melawan serangan-serangan kematian itu. Dari pada aku ketakutan dan tidak berani kemanan-mana maka mau ngagka mau aku harus membunuh rasa takut itu... sembunyi se aman apapun tidak akan memberikan jaminan keselamatan dari i

Jangan Marah, Ya!

Jangan Marah, Ya! Sebuah Naskah Pidato Singkat untuk siswa MI Assalamu’alaikum Wr. Wb. Bapak-Ibu Guru yang saya hormati, Adik, Kakak, dan teman-teman semua yang saya sayangi. Pertama, Marilah kita berterima kasih kepada Allah Yaitu dengan membaca Hamdalah. Alhamdu.....lillah. Terima kasih Ya. A....llah. Telah kau beri kami A....kal. Sehingga kami dapat bela...jar. Bukan kurang a... jar. Alhamdu....lillah. Kedua, Mari kita membaca sholawat. Allahumma Sholli Ala Muhammad! Bapak-Ibu Guru yang saya hormati, Adik, Kakak, dan teman-teman semua yang saya sayangi. Siapakah yang ingin masuk surga? Ya. Kita semua, pasti, ingin masuk surga. LA TAGHDHOB WALAKAL JANNAH Janganlah marah, maka kamu akan masuk sur...ga. Orang yang ingin masuk surga, maka dia tidak boleh ma..... rah. Walaupun tidak naik kelas, tidak boleh ma.... rah Walaupun tidak dibelikan seragam baru tidak boleh ma.... rah Walaupu