Langsung ke konten utama

Islam Nusantara, Jaran Kepang, dan Logika Soto

Islam Nusantara, Jaran Kepang, dan Logika Soto
(Ahad, 19/07/2015 09:00)
Oleh: Fariz Alniezar*

--Akhir-akhir ini media massa riuh dihiasi perdebatan sengit seputar Islam Nusantara. Ada banyak pihak yang pro, tak sedikit pula yang kontra dan bahkan menuding secara sepihak agenda tersembunyi di balik Islam Nusantara. 

Pada tataran ini, saya sungguh teringat perkataan Cak Nur (2002). Dengan sangat jelih dan analitik, ia mengatakan bahwa dalam kurun waktu sepuluh sampai lima belas tahun yang akan datang—dari ucapan itu dikeluarkan tahun 2002—anak-anak muda NU akan menguasai wacana. Dan nyatanya sekarang ucapan itu benar belaka, wacana Islam nusantara hari ini didominasi dan digulirkan oleh anak-anak muda NU.

Tulisan pendek ini ingin memberikan sumbangsih gagasan kepada para pengkritik Islam Nusantara. Sebab dari serangkaian kritik yang dilayangkan untuk wacana Islam Nusantara selama ini, menurut saya kerap dan masih sering terjebak dan berkutat pada perdebatan terminologik, bukan epistemik.

Salah satu artikel yang mempertanyakan Islam Nusantara adalah milik saudara Faisal Ismail bertajuk “Problematika Islam Nusantara”. Artikel tersebut pada dasarnya tidak memiliki pijakan epistemologik yang kuat untuk kemudian dengan gegabah menyimpulkan bahwa istilah Islam Nusantara itu kurang tepat, dan bahkan tidak benar. Ibarat seorang koboi, saudara Faisal Ismail nampaknya baru belajar bagaimana memegang pistol sehingga arah bidikan mata pistolnya tak keruan sekaligus tidak jelas sasaran.

Sebelum masuk ke dalam ranah epistemologik, sebaiknya kita periksa dahulu apa maksud dan arti Islam dan juga Nusantara itu sendiri. Hal ini sangat vital sebagai pijakan dikursif bahwa Islam dan Nusantara yang kita maksudkan dalam terma Islam Nusntara memiliki definisi yang sama antara kita.

Islam adalah Agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang berpedoman kapada Al-Quran dan Hadist. Atau dalam bahasa yang lebih kontekstual, Islam berarti sebuah substansi nilai dan seperangkat metodologi yang bisa saja ia memiliki kesamaan atau juga pertemuan dengan substansi nilai yang berasal-muasal dari agama, ilmu atau bahkan tradisi lain di luarnya.

Sementara itu, Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi IV mencatat bahwa lema Nusantara berarti sebutan (nama) bagi seluruh wilayah kepulauan Indonesia. Maka merujuk pada dua definisi tersebut, dan jika kita berdisiplin dengan kamus, maka Islam Nusantara adalah Islam Indonesia itu sendiri.

Setelah jelas duduk terminologisnya, maka persoalan selanjutnya adalah mendudukkan Islam Nusantara secara epistemik. Dan pada persoalan inilah apa yang di sampaikan oleh para pengkritik Islam Nusantara, termasuk Saudara Faisal Ismail, mempunyai masalah yang serius.

Para pengkritik mula-mula mengutip pendapat Abdul Ala Al-Maududi dalam bukunya Toward Understanding Islam (1966) yang mengatakan bahwa Islam tidak bisa dinisbatkan kepada pribadi atau kelompok manusia manapun karena Islam bukan milik pribadi, rakyat atau negeri manapun. Islam bukan produk akal seseorang, bukan pula terbatas pada masyarakat tertentu, dan tidak diperuntukkan untuk negeri tertentu.

Dengan mengutip pendapat Abul Ala Al-Maududi tersebut sesungguhnya para pengkritik Islam Nusantara terjebak pada pemaknaan bahwa Islam tidak bisa dilokalisirkan dalam bentuk apapun. Pelokalisiran Islam, baik dalam bentuk ekspresi, budaya, dan juga penerjemahan ritus ibadah menurutnya sama sekali tidak benar.

Pelokalisiran tersebut, lebih lanjut, menurut mereka akan melahirkan aneka varian Islam yang tidak terbilang jumlanya. Jika ada Islam Nusantara, maka kemudian hari akan muncul Islam Jawa Timur, Islam Lamongan, Islam Jawa Tengah, dan tentu saja Islam Betawi. 

Logika semacam ini sesungguhnya sangat mudah untuk dipatahkan. Sebab argumentasinya tidak berpijak pada pemahaman yang jernih pada sebuah persoalan dan cenderung membabi buta asal main kritik semata.

Para pengkritik Islam Nusantara mungkin sedikit lupa bahwa Islam adalah Agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW yang memiliki sumber utama berupa suci Al-Quran dan Hadis. Al-Quran dan Hadis di hadapan umat Islam, jika meminjam analogi istilah sehari-hari, ia ibarat segenggam padi.

Padi adalah bahan mentah. Al-Quran dan Hadis pun juga bahan mentah. Dibutuhkan sebuah kreativitas tingkat tinggi untuk mengolah bahan mentah tersebut supaya kemudian bisa dimakan. Kreativitas tersebut kemudian hari dikenal dengan istilah memasak. Dengan dimasak, padi yang mentah tadi menjelma menjadi beras dan nasi yang matang dan siap untuk kemudian dimakan.

Kreativitas dalam beragama adalah ekspresi keagamaan itu sendiri. Sebuah ekspresi keberagamaan tentu saja bersumber dari pemaknaan atas sebuah agama itu sendiri. Perbedaan menafsirkan diktum agama inilah yang kemudian hari menjelma menjadi “model” keberagamaan. Nah, model keberagamaan ini sangat banyak, dan salah satunya adalah yang berbasis kesamaan lokus dan juga kebudayaan. 

Maka dengan alur kronologis seperti itu sesungguhnya Islam Nusantara bukanlah barang baru. Ia ada secara alamiah sebagai model dan cara beragama sebuah masyarakat. Itu saja tidak lebih.

Jauh daripada itu, penting untuk dicatat bahwa bahan mentah seperti padi di atas bukan berarti tidak bisa dimakan. Kita tahu, padi bisa dimakan oleh para pemain jaran kepang yang identik dengan perangai “edan dan ngamukan”.

Oleh karena itu, di tangan masyarakat yang miskin kerativitas dalam beragama, Islam menjadi sedemikian garang dan “ngamukan”. Ciri-ciri masyarakat Jaran Kepang adalah sensitif dan reaktif dalam menerima perbedaan. Masalah pada masyarakat yang demikian ini sesungguhnya hanya satu, yakni sebab mereka memakan barang mentah bernama Al-Quran dan Hadis tersebut.

Para pengkritik Islam Nusantara nampaknya juga harus belajar dari kearifan kuliner bernama soto. Di seluruh wilayah, soto adalah sebuah makanan yang basis bahan bakunya sama. Dengan bahan baku yang sama tersebut, di tangan orang-orang yang memiliki krativitas dan kebetulan lokusnya juga berbeda soto bisa di-ijtihadi dan kemudian menjelma menjadi beraneka macam dan varian.

Soto Lamongan, soto Kudus, soto Betawi, dan juga soto Bogor kita tahu tentu saja berbeda satu dengan yang lainnya, namun percayalah pada soto-soto tersebut bahan bakunya sama, dan yang begitulah juga sebetulnya yang terjadi pada Islam Nusantara. 

Walhasil, sebagai penutup tulisan ini, izinkanlah saya mengutip secara serius petikan status facebook Gus Yahya Staquf ihwal mereka yang phobia terhadap Islam Nusantara: “Karena kau cuma tiang yang dipancang tergesa-gesa kemarin sore dan pangkalmu cuma dangkal-dangkal saja ditanam, maka engkau jadi takut setengah mati pada angin. Bahkan semilir yang segar pun kau caci dan kau kutuki. Kami pohon berakar tunjang mencengkeram jauh ke jantung ibu pertiwi kami dan menjalar memenuhi mukanya. Maka kami menyapa angin dengan senang hati. Menitipinya serbuk-serbuk sari untuk menyuburi putik-putik bunga yang indah. Demi buah-buah yang berguna bagi seluruh dunia.”Wallahu a’lam bisshawab.

*Fariz Alniezar, mengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta 

Sumber: nu online

Artikel terkait:

Quraish Shihab dan Islam Nusantara (Jum'at, 24/07/2015 14:01)
Lebaran, Bareskrim, dan Islam Nusantara (Selasa, 21/07/2015 13:33)

Islam Nusantara dan Islam Sehari-hari: Potret Respon dan Tantangan Gagasan Islam Nusantara di Desa (Senin, 20/07/2015 16:01)

Memahami Islam Nusantara dalam Bingkai Ilmu Nahwu (Kamis, 16/07/2015 07:01)

Kesalahpahaman Islam Nusantara (Selasa, 14/07/2015 07:01)

Metodologi Islam Nusantara (Ahad, 12/07/2015 12:01)

Upaya Memahami Islam Nusantara (Ahad, 12/07/2015 07:01)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKOKOHLAH BAHTERAMU

🌹Ramadhan ke-7 PERKOKOHLAH BAHTERAMU, KARENA SAMUDRA ITU DALAM 🍃🌾Rasulullah pernah berpesan pada Abu Dzar tentang tiga hal. Kata Rasul, “Wahai Abu Dzar, perkokohlah bahteramu, karena samudra itu dalam. Perbanyaklah bekalmu karena perjalanan itu panjang. Ikhlaskanlah amalmu, karena pengintaimu sangat jeli.” ⛵️⛵️Pertama, perkokohlah bahteramu karena samudra itu dalam. Dalamnya samudra itu mengandung resiko. Jika tenggelam, kita bisa mati. Samudra yang dalam itu juga penuh rahasia. Kita tidak pernah tahu ada apa saja di dalamnya. Karang yang besar atau ikan yang buas, sewaktu-waktu bisa mencelakai kita. Karena itu, pengarung samudra yang dalam memerlukan bahtera yang kuat, yang bisa melindungi penumpangnya dari resiko tersebut. ⛵️⛵️Inilah analogi hidup manusia. Hidup manusia di dunia ibarat hidup di tengah samudra yang dalam tersebut. Mempersiapkan bahtera yang kuat berarti mempersiapkan segala hal yang bisa membuatnya bertahan dan mudah mencapai tujuan hidupnya, yaitu akhirat. Tan
Minggu 1 Agustus  2004 yuli dah pergi dan aku merasa belum memberinya apa-apa.  sayang kami tidak akan pernah bertemu lagi. Aku hanya ada satu kemungkinan untuk bertemu dengan kembarannya... aku harus menunggu setahun lagi. padahal bisa saja besok pagi aku mati. Kau tahu semakin banyak kendaraan yang melaju dengan cepat di jalan. setiap kali menyebrang jalan maka aku harus bersiap untuk masuk ke duani kematuian. Kau juga tahu semakin banyak pisau yang diasah untuk melukai dan membunuh orang lain dengan berbagai tujuan....kau lihat tubuhku.... kurus, trinkih... sebuah sasaran yang mudah ditaklukan hanya dengan pelototan mata yang menyeramkan... bisa saja saat aku menyapamu tiba-tiba ada peluru nyasar yang bisa membunuhku seketika... yang pasti aku tidak bisa melawan serangan-serangan kematian itu. Dari pada aku ketakutan dan tidak berani kemanan-mana maka mau ngagka mau aku harus membunuh rasa takut itu... sembunyi se aman apapun tidak akan memberikan jaminan keselamatan dari i