Langsung ke konten utama

Menyambung Nyawa dari Pameran ke Pameran

Faiq dan Pameran
Bazar Buku di dalam kampus FIB UGM saat aku wisuda S1

Tahun 1997 adalah tahun pertamaku di Jogja sebagai mahasiswa. Bagi lulusan MA (Madrasah Aliyah) di desa sepertiku, istilah pameran belum begitu populer. Pada minggu pertama kuliah, aku diajak Pak Ayub dan teman beliau naik taksi dari bunderan UGM menuju ke tempat tinggal sang teman. Pak Ayub adalah guruku waktu di MA. Rencananya aku 'dititipkan' pada teman pak Ayub yang -kalau aku tidak salah ingat- tinggal di semacam 'rumah dinas' sebuah pondok. Ketika perjalanan kami mampir mengunjungi pameran komputer. Itulah pameran pertama yang pernah aku kunjungi. Dengan mengunjungi pameran, setidaknya aku menjadi tahu sesuatu yang sebelumnya belum aku tahu. Yang masih kuingat sampai sekarang adalah benda kecil kira-kira sekepalan telapak tangan yang berbentuk monitor CRT. Belum lama ini baru aku tahu bahwa benda semacam itu ternyata adalah speaker portable. Saat itu aku mengira bahwa dunia teknologi sudah sedemikian canggih sehingga sudah ada komputer sekecil itu. Tahun 1997 adalah tahun pertamaku menyentuh komputer.

Pameran dan Makan Malam Gratis
Karena suatu dan lain hal, akhirnya aku tidak jadi tinggal bersama teman pak Ayub. Karena keterbatasan dana, aku tinggal di ruang sekretariat HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) di dalam kampus. Mungkin karena sering bermalam di kampus, aku jadi kenal dan akrab dengan kak Luthfi. Beliau mengenalkanku dengan berbagai pameran. Kalau ada acara pembukaan pameran di Bentara Budaya, Purna Budaya, Lembaga Indonesia Perancis, Karta Pustaka, Benteng Vanderburg, atau tempat yang lain, aku berusaha mengingat dengan benar jadwalnya. Aku akan merasa sangat rugi kalau ada acara pembukaan pameran seni rupa yang aku lewatkan. Biasanya pada acara pembukaan pameran lukisan, fotografi, atau seni yang lain, selalu ada snacknya. Maka pembukaan pameran seni bagiku adalah makan malam gratis sehingga dapat 'menyambung nyawa' atau 'memperpanjang hidup'. Selain dapat ikut rebutan snack, pada acara pembukaan pameran biasanya aku juga mendapat buku katalog pameran yang berisi tulisan dan beberapa foto karya seni yang dipamerkan. Selain mendapat makanan untuk mengenyangkan perut, aku mendapat tambahan pengetahuan tentang seni apalagi kalau mau mendengarkan dengan serius pidato sambutan dan membaca uraian-uraian pada katalog pameran.

Bertahan Hidup dengan Bazar Buku
Selain pameran seni, pameran buku juga sangat berjasa pada kelangsungan hidupku di perantauan. Pameran buku pada awalnya lebih kukenal sebagai bazar buku. Aku kenalan dengan bazar buku dari kegiatan KMIS (Keluarga Muslim Sastra); sebuah organisasi mahasiswa Islam di fakultas tempat aku kuliah. Biasanya teman-teman KMIS meminjam buku-buku dari toko buku dan penerbit untuk dijual di dekat pintu masuk tempat acara seminar dan sejenisnya.

Sama seperti saat ada pameran komputer dan seni, aku juga hampir tidak tidak pernah menjadi pembeli pada pameran buku. Setelah sekali ikut membantu teman-teman KMIS berjualan buku, aku langsung mempraktekkan pengalaman jualan buku tapi untuk kepentingan pribadi bukan untuk KMIS. Alhamdulillah saat itu ada toko buku dan penerbit yang mau meminjamkan buku dengan sistem konsinyasi tanpa syarat yang ribet. Kadang aku menyerahkan kartu mahasiswaku kepada toko atau penerbit. Bazar buku tentu tidak seperti stand pameran buku pada umumnya. Kadang aku dapat meminjam meja untuk diletakkan di dekat pintu masuk ruangan seminar. Di atas meja itulah kujajar buku-buku yang kupinjam dari toko buku atau penerbit. Bila tidak ada meja, buku-buku daganganku dijajar diatas kain bekas spanduk yang dibetangkan di tepi jalan dekat pintu masuk ruangan seminar. Bila nasib lagi mujur, banyak peserta seminar dari luar jogja yang beli buku seperti ibu-ibu belanja di pasar. Buku ini dan itu ditumpuk dan diserahkan kepadaku untuk ditotal berapa rupiah yang harus dibayar. Semula aku belum punya kalkulator, maka harus aku hitung dengan mencorat-coret kertas seperti saat mengerjakan soal pelajaran Matematika saat masih sekolah. Jadi, dari bazar buku, selain dapat keuntungan berupa uang, aku juga dipaksa mengasah otak untuk menghitung dengan cepat dan tepat. Tapi kadang juga tidak ada satupun peserta seminar nasional yang membeli buku. Saat itulah aku berubah dari penjaga bazar buku menjadi pembaca buku. Saat itu buku belum banyak yang dibungkus plastik sehingga baanyak buku yang dapat aku baca dengan gratis sampai puas. Jadi, dari bazar buku, selain dapat uang dan paksaan mengasah otak dengan hitung cepat, aku juga dapat motivasi untuk membaca buku. Bila tidak ada acara yang pantas untuk dibuat alasan bazar buku, dan kebutuhan uang sudah mendesak, aku buka bazar buku di dalam kampus. Kadang di fakultas tetangga, tapi lebih sering di fakultas sendiri. Awalnya sebagian teman mengira bazar bukuku adalah bazar buku yang biasanya diadakan oleh HJM atau organisasi mahasiswa lain untuk penggalangan dana organisasi. Dari pengalaman bazar buku ini aku juga jadi kenal beberapa penerbit dan distributor.

Menggadaikan Nyawa Demi Bazar Buku
Suatu hari ada yang menceritakan kisah sukses mas Anas (kakak angkatan tapi beda jurusan) dan temannya dalam jualan buku di Jember. Akhirnya aku ingin mencoba dan sangat berharap bisa sukses dan dapat banyak untung seperti mas Anas. Aku datang ke distributor dan menceritakan rencanaku. Pemilik distributor menanyakan jaminan apa yang akan aku berikan. Aku terkejut dan baru sadar bahwa memang sudah sewajarnya bila pinjam buku dalam jumlah yang banyak dan waktu yang cukup lama serta dibawa ke luar daerah, tentu memerlukan jaminan. Saat itu tanpa berpikir panjang aku bilang bahwa jaminannya dalah nyawaku. Aku tidak menyangka bila akhirnya aku boleh membawa beberapa kardus besar yang berisi buku-buku untuk kami jual ke Malang. Dalam perjalanan ke Malang, saat itu aku sangat dibantu dan ditolong oleh Kak Luthfi dan temannya. Sebenarnya hasil bazar bukuku di Malang lumayan banyak. Tapi mungkin karena aku tidak belum terbiasa mengelola uang yang banyak maka saat pulang ke Jogja, aku tidak bisa melunasi tagihan sejumlah buku-buku yang sudah terjual. Selain uang, dari bazar buku di malang aku dapat kenalan dengan mas Ragil dan teman-teman teater, mbak Lisa dan kawan-kawan. Saat itu Kak Luthfi juga sering mengajakakku jalan-jalan keliling dan blusukan di Malang, bahkan sampai naik bukit Sindoro segala. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan. Selain uang, tambah teman, dan pengalaman, saat bazar buku di Malang aku bisa membaca novel BUMI MANUSIA dari awal hingga hampir tamat.

Ada Apa di Balik Buku
Mungkin berkat sering jualan buku juga, aku ditawari jadi distributor sebuah penerbitan sastra indie yang merupakan bagian dari LSM. Di sKetana ada Mas Puthut EA, Ali Mumu, Anas, Faiz Ahshoul, Astrid Reza, dan kawan-kawan. Di sini aku menjadi lebih tahu bahwa ternyata ada banyak kepentingan dalam sebuah buku. Buku tidak sekedar barang dagangan. Sebagai barang dagangan saja, buku sudah mempunyai sejarah hidup yang rumit untuk aku telusuri. Aku tidak begitu paham. Yang masih aku agak ingat adalah bahwa harga jual buku itu ternyata berkali-kali lipat dari biaya produksinya. Yang banyak menikmakti keuntungan dari perdagangan buku malah bukan para penulisnya. Dan ternyata menjual buku juga tidak mudah. Saat itu penerbit baru mulai bermunculan. Sebagian aktivis berpendapat bahwa mendirikan penerbit tanpa punya toko buku adalah tindakan yang kurang tepat. Bila kita hanya mendirikan penerbit saja, itu sama dengan membesarkan toko buku orang lain, terutama toko buku besar yang sudar terlanjur memonopoli dunia industri buku. Maka salah satu obsesiku ketika ketika masih jualan buku bersama dik Uyung adalah membuat toko buku. Itu semua cerita masa lalu yang aku alami ketika aku kuliah di Jogja. Kira-kira sepuluh tahun yang lalu aku sudah pulang kampung. Salah satu oleh-oleh yang aku bawa dari jogja adalah buku-buku sisa bazar buku. Dan tujuh tahun yang lalu aku menikah. Mertuaku punya toko. Salah satu dagangannya adalah buku. Dan aku dan istriku juga mencoba membuka toko di samping rumah ibuku. Salah satu dagangannya adalah buku. Akhir-akhir ini sudah sering aku baca informasi tentang acara pameran buku tidak hanya di kota-kota besar tapi sudah sampai di kota-kota kabupaten di dekat desaku seperti Jepara, Kudus dan Demak. Mengunjungi pameran buku, -bagiku sekarang- adalah bernostalgia, dan masih berburu buku murah untuk perpustakaan madrasah.

Jadi, dari pameran buku aku mendapat tambahan uang, teman, pengalaman, pengetahuan, dan buku untuk merintis perpustakaan.[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERKOKOHLAH BAHTERAMU

🌹Ramadhan ke-7 PERKOKOHLAH BAHTERAMU, KARENA SAMUDRA ITU DALAM 🍃🌾Rasulullah pernah berpesan pada Abu Dzar tentang tiga hal. Kata Rasul, “Wahai Abu Dzar, perkokohlah bahteramu, karena samudra itu dalam. Perbanyaklah bekalmu karena perjalanan itu panjang. Ikhlaskanlah amalmu, karena pengintaimu sangat jeli.” ⛵️⛵️Pertama, perkokohlah bahteramu karena samudra itu dalam. Dalamnya samudra itu mengandung resiko. Jika tenggelam, kita bisa mati. Samudra yang dalam itu juga penuh rahasia. Kita tidak pernah tahu ada apa saja di dalamnya. Karang yang besar atau ikan yang buas, sewaktu-waktu bisa mencelakai kita. Karena itu, pengarung samudra yang dalam memerlukan bahtera yang kuat, yang bisa melindungi penumpangnya dari resiko tersebut. ⛵️⛵️Inilah analogi hidup manusia. Hidup manusia di dunia ibarat hidup di tengah samudra yang dalam tersebut. Mempersiapkan bahtera yang kuat berarti mempersiapkan segala hal yang bisa membuatnya bertahan dan mudah mencapai tujuan hidupnya, yaitu akhirat. Tan
Minggu 1 Agustus  2004 yuli dah pergi dan aku merasa belum memberinya apa-apa.  sayang kami tidak akan pernah bertemu lagi. Aku hanya ada satu kemungkinan untuk bertemu dengan kembarannya... aku harus menunggu setahun lagi. padahal bisa saja besok pagi aku mati. Kau tahu semakin banyak kendaraan yang melaju dengan cepat di jalan. setiap kali menyebrang jalan maka aku harus bersiap untuk masuk ke duani kematuian. Kau juga tahu semakin banyak pisau yang diasah untuk melukai dan membunuh orang lain dengan berbagai tujuan....kau lihat tubuhku.... kurus, trinkih... sebuah sasaran yang mudah ditaklukan hanya dengan pelototan mata yang menyeramkan... bisa saja saat aku menyapamu tiba-tiba ada peluru nyasar yang bisa membunuhku seketika... yang pasti aku tidak bisa melawan serangan-serangan kematian itu. Dari pada aku ketakutan dan tidak berani kemanan-mana maka mau ngagka mau aku harus membunuh rasa takut itu... sembunyi se aman apapun tidak akan memberikan jaminan keselamatan dari i