Selama
ini, penerbit-penerbit di Indonesia berada dalam naungan Ikatan
Penerbit Indonesia (IKAPI). Apakah pembaca sudah kenal IKAPI? Berikut
adalah rangkuman dari berbagai sumber hasil googling tentang Ikapi
dan Perbukuan Indonesia
.
Sejarah
IKAPI dan Perbukuan Indonesia
Pada
wikipedia disebutkan Ikatan pada Penerbit Indonesia (IKAPI) didirikan
tanggal 17
Mei 1950 di Jakarta atas prakarsa dan kesepakatan beberapa
penerbit nasional
. Selain didorong semangat untuk menggantikan
posisi penerbit asing,
khususnya Belanda, yang masih memonopoli
kegiatan penerbitan buku di
Tanah Air, lahirnya IKAPI juga dijiwai
hasrat yang besar untuk membantu
pemerintah dalam membangun
masyarakat Indonesia yang cerdas.
Tahun
1950-an adalah periode kemunculan penerbit swasta nasional. Sebagian
besar
berada di pulau Jawa dan selebihnya di Sumatera. Pada awalnya,
mereka bermotif politis dan
idealis. Mereka tergerak untuk mengambil
alih dominasi para penerbit Belanda yang setelah penyerahan
kedaulatan di tahun 1950 masih diijinkan beroperasi di Indonesia.
Pemerintah
orde lama waktu itu mendirikan Yayasan Lektur. Yayasan tersebut
memiliki
dua fungsi utama yaitu untuk mengatur bantuan pemerintah
kepada penerbit dan mengendalikan
harga buku. Dengan adanya yayasan
ini, pertumbuhan dan perkembangan penerbitan nasional
dapat
meningkat dengan pesat. Perkembangan industri penerbitan buku, telah
mendorong
pendirian Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) pada 17 Mei
1950 yang pada waktu itu hanya
beranggota 13 penerbit.
Pada
tahun 1955, pemerintah Republik Indonesia mendorong
pertumbuhan dan
perkembangan usaha penerbitan buku nasional dengan jalan memberi
subsidi
dan bahan baku kertas bagi para penerbit buku nasional
sehingga penerbit diwajibkan menjual
buku-bukunya dengan harga
murah. Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) penerbit yang
menjadi anggota IKAPI yang semula berjumlah 13 melonjak naik menjadi
600-an lebih. Sejak akhir tahun 1965, subsidi bagi penerbit dihapus.
Akibatnya,
hanya 25% penerbit yang bertahan sehingga situasi
perbukuan mengalami kemunduran.
Tahun
1978, Pemerintah membentuk Badan Pertimbangan dan
Pengembangan Buku
Nasional (BPPBN) yang bertugas melakukan berbagai kajian dan
merumuskan konsep-konsep kebijakan di bidang perbukuan nasional.
BPPBN
dirasakan kurang fungsional dalam mengatasi berbagai masalah
serta lebih berfokus pada kajian-
kajian dan rekomendasi kebijakan
serta tidak melakukan kegiatan operasional. Pada tahun 1999
sesuai
dengan salah satu rekomendasi hasil Kongres Perbukuan Nasional tahun
1995, dibentuk
Dewan Buku Nasional (DBN) namun dewan ini juga tidak
berfungsi dengan
optimal dan dibubarkan pada November 2011 oleh
Kementrian
Pendayagunaan Aparatur Negara.
Sebelumnya,
pada tahun 1987 pemerintah membentuk Pusat Perbukuan di lingkungan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang kemudian disatukan menjadi
Pusat kurikulum dan Perbukuan yang lebih banyak melaksanakan
penilaian buku-buku pendidikan yang layak masuk ke sekolah
.
Penandatanganan
perjanjian perdagangan bebas oleh Indonesia, General Agreement on
Tariff
and Trade pada tahun 1994, dan ASEAN Free Trade Area pada tahun 1995,
membawa
konsekuensi pengurangan peran pemerintah dalam bisnis
penyediaan barang dan jasa, termasuk
pengadaan buku pelajaran.
Pemerintah menyerahkan pengadaan buku pelajaran kepada mekanisme
pasar. Sejak saat itu jumlah penerbit
baru terus bertambah dan
bertumbuh bak jamur di musim hujan. Pada saat itu pula mulai muncul
berbagai masalah dalam bisnis perbukuan. Misalnya tentang distribusi
buku pelajaran, para
penerbit menghubungi langsung para guru
pengampu pelajaran agar menyuruh siswanya membeli buku tersebut.
Selanjutnya para guru tersebut mendapatkan imbalan tertentu dari
penerbit.
Praktik tersebut membuat persaingan antarpenerbit semakin
sengit. Mereka berlomba-
lomba menurunkan harga buku atau menaikkan
komisi untuk tenaga pendidik di sekolah agar buku mereka yang
digunakan. Praktik tersebut merusak harga pasaran buku pelajaran
dan menurunkan kualitas isi buku pelajaran.
Tren
Perbukuan Indonesia
Selain
buku pelajaran, ada beberapa fenomena menarik dalam pasang surut
bisnis
perbukuan di Indonesia paska reformasi.
Pertama, tren buku
motivasi pada dekade 90-an seperti Rich Dad Poor Dad. Kedua, tren
fiksi Islami seperti novel Ayat-Ayat Cinta karya
Habiburrahman
El-syirazi. Ketiga, tren fiksi sejarah pendidikan dan petualangan
seperti Laskar Pelangi. Keempat tren buku elektronik.
Tantangan
Perbukuan Indonesia
Bisnis
perbukuan semakin berkembang seiring dengan meningkatkan minat baca
dan
kemampuan ekonomi masyarakat. Bagi penerbit, industri buku,
terutama buku pelajaran, masih
memiliki prospek yang cerah. Karena
pasar buku pelajaran akan selamanya ada sebagai prasyarat
pendidikan
yang berkualitas. Masyarakat membtuhkan buku-buku yang berkualitas
dengan harga yang terjangkau. Dengan begitu bisnis perbukuan turut
serta dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tapi untuk
mewujudkan cita-cita tersebut bukanlah hal yang mudah. Ada sejumlah
tantangan yang menuntut kesadaran bersama dan kemauan untuk
bersinergi dari pelaku usaha
perbukuan, pemerintah, dan masyarakat
untuk mengatasinya. Beberapa tantangan dalam industri
perbukuan
antara lain Harga Buku
dan Keberpihakan Pemerintah
.
Era
Baru Perbukuan Indonesia
Thomas Meyer memperdiksikan bahwa
industri cetak akan mati
. Senada dengan Meyer, Tilaar menyarankan
intervensi pemerintah untuk menggalakkan gerakan buku murah, dan
pemasyarakatan buku elektronik. Hal ini akan mendorong lahirnya
generasi baru (Next generation/N-gen) yang lebih kreatif dan
interaktif. Secara khusus, hal ini juga akan mendorong para
pendidikan untuk lebih terampil dalam penguasaan teknologi informasi.
Hal-hal
yang perlu dilakukan.
Pertama, peningkatan peran pemerintah
dalam mengembangkan industri
perbukuan. Perlu dekonstruksi
mindset, bahwa industri buku selain bisnis juga
idealisme.
Dengan mindset itu menjadi keharusan meninjau kembali jenis-jenis
pajak ataupun besaran persentase yang dikenakan pada industri buku.
Kedua, terus dikembangkan dan diperluas strategi 3M yakni multimedia,
multichannel, dan
multiplatform.
Strategi 3M diperlukan, selain
sebagai bagian dari jurus terus bertahan agar tidak cepat mati, juga
bagian
dari memberikan sumbangan besar industri ilmu pengetahuan
sebagai bagian
dari peradaban manusia.
Ketiga, penghargaan pada
pemangku profesi keilmuan.Keempat, perlindungan pada para pemegang
hak cipta intelektual, dan memberikan sanksi yuridis bagi para
pelanggar
ataupun pelaku pembajakan.
Harapan Besar Pada IKAPI
Peran seperti apa yang diharapkan dari
IKAPI dalam mengembangkan dunia baca tulis? Setelah membaca berbagai
tulisan tentang IKAPI dan perbukuan Indonesia, maka sudah sewajarnya
bila kita menaruh harapan besar pada IKAPI. Harapan itu adalah semoga
IKAPI dapat berjalan dan berfungsi sesuai dengan idealisme
pendiriannya sehingga dapat menyelesaikan berbagai permasalah
perbukuan Indonesia.
Salah satu unsur utama dunia
penerbitan adalah buku pelajaran. Maka IKAPI harus bisa ikut
mengontrol pemerintah dalam menentukan kebijakan kurikulum. Kebijakan
kurikulum sangat berpengaruh pada kebijakan tentang buku pelajaran.
Masyarakat tentu sangat berharap agar tersedia buku pelajaran yang
murah dan bermutu.
Andai Aku Jadi pengurus IKAPI
Jika teman-teman menjadi pengurus
IKAPI, reformasi apa yang akan dilakukan teman-teman dalam
mengembangkan dunia baca tulis di Indonesia.
- Saya akan mengajak para penerbit terutama penerbit buku pelajaran untuk beralih menjadi penerbit e-book.
- Saya akan mendorong pemerintah untuk melanjutkan program BSE dengan disertai subsidi dan kampanye penggunaan gadget sebagai pegangan siswa.
Komentar